Langsung ke konten utama

Pasrah pada pengetahuan ?

Al-Quran yang mulia, sesudah Al-Fatihah dibuka dengan ayat ini:


ِ الم * ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
[Surat Al-Baqarah 1 - 3]


Allah SWT menyebut Al-Quran sebagai "kitab tanpa keraguan, adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa". 

Pada ayat lain memang terdapat indikasi bahwa selain orang yang bertakwa juga bisa mendapat petunjuk dari sebagian ayat Al-Quran. Akan tetapi secara mutlak petunjuk Al-Quran diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.

Kemudian Allah SWT menjabarkan ciri-cirinya. 

Amat mengejutkan bahwa, ternyata ciri yg disebut paling awal bukanlah "orang yg baik" atau "orang yang sholat" atau "bersedekah" atau "berperang di jalan Allah" atau yg terasa lebih spektakuler dari itu. 

Ciri pertama orang bertakwa yang disebut adalah percaya pada hal gaib. Baru kemudian cir-ciri yang lain menyusul setelahnya.

Hal gaib meliputi segala yang tidak / belum diketahui hakikatnya, baik berupa zat materi, non materi, hukum, kejadian dan lainnya. Puncak dari hal gaib adalah Allah SWT.

Kembali pada ayat di atas, kita menemui "keanehan" lain. Kitab petunjuk tanpa keraguan itu dimulai dengan الم)) tiga huruf arab yang disepakati para mufasir "tidak diketahui maknanya".

Hampir seluruh mufasir baik salaf maupun khalaf, -terhadap ayat ini- mengatakan "wallahu a'lam" (الله اعلم),  yang artinya tidak sekedar "saya tidak tahu", juga ditambah "kamu tidak tahu, mereka tidak tahu, tetapi Allah maha tahu".

Imam Al-Qurtubi dalam tafsir ayat tersebut mengutip riwayat dari sayyidina Ali bin Abi Thalib KW dan sahabat Nabi lainnya RA, mengatakan bahwa ayat itu adalah (سر الله)  sirrullah yang berarti ilmu Allah yang tidak diketahui.


Orang yang bertakwa haruslah percaya pada adanya hal-hal yang "berada di luar pengetahuannya". Karena mengabaikan itu sama saja dengan mengabaikan ilmu Allah SWT. 

- Tidak tahu bukan berarti tidak ada -

Orang-orang kafir dan kaum materialis menggantungkan berbagai aspek kehidupan mereka, semata-mata pada pertimbangan ilmu pengetahuan manusia. Namun bagi orang yang beriman, di samping kewajiban belajar dan menyusun rencana untuk kehidupannya, dia haruslah pasrah (taslim) dan ikhlas pada Allah SWT dan keputusanNya. 

Kira-kira mana yang lebih banyak, hal yang diketahui manusia ataukah hal yang tidak diketahui?  Seketika terjawab satu persoalan, maka terhampar di hadapannya 100 persoalan baru. 

Socrates (w. 399BC), seorang filsuf besar pernah berkata kurang lebih : "semakin banyak saya tahu, semakin sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa". 

Sampai sekarang seorang dokter tidak benar-benar tahu apa yang menyebabkan sakit seorang pasien sembuh, meskipun ia sendiri yang menanganinya. 

Jadi masih layakkah manusia menggantungkan diri pada pengetahuannya yang terbatas?

Demikianlah sikap seorang muslim. Allah SWT memerintahkan manusia untuk tiada henti belajar dan berusaha, bahkan menyusun rencana sebaik-baiknya, dengan sistem se-rapi mungkin untuk berbuat baik sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama haruslah dia sadar, bahwa manusia adalah makhluk yang butuh dan bergantung pada Tuhannya, yang mahatakterbatas, yang menguasai pengetahuan lahir dan batin.

Siapkah percaya dengan al ghaib? Siapkah menjadi orang yang bertakwa?


Wallahu a'lam.

Sumber gambar: https://www.facebook.com/ALGHAIBPAGE/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini