Langsung ke konten utama

Seperti Apa Ujian dan Cobaan Untuk Orang-orang yang Beriman

Ujian diperlukan untuk mengukur tingkat pencapaian dari objek yg diuji. Ukuran ini diperlukan sebagai basis untuk penentuan level dan pemberian reward.

Demikian pula terjadi pada orang-orang yang beriman. 
Mereka diuji dengan kesesuaian masing-masing, sesuai dengan tingkatnya di sisi Allah SWT.

Mari kita telaah ayat berikut:

(وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ)
"Dan sungguh akan Kami uji mereka dengan sesuatu dari rasa takut, rasa lapar dan berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar."
[Surat Al-Baqarah 155]

Mukhatab (pihak yang diajak bicara) dalam ayat di atas adalah "kalian" (كم), yang dijelaskan pada ayat sebelumnya yaitu "orang-orang yang beriman". Dengan demikian secara ijmali konten ayat tersebut diperuntukkan khusus berlaku bagi mukhatab tersebut, yaitu : "orang-orang yang beriman pada umumnya" (kaum muslimin).


Sekarang, mari kita liat poin demi poin.

1. Ujian tersebut bersifat pasti. Hal ini tergambar dari penggunaan "lam taukid" (ل) di awal kalimat. Semua orang-orang beriman pasti akan mendapat ujian, tanpa kecuali.

2. Obyek ujian adalah "sekedar dari" (شيء من). Penggunaan kata itu menunjukkan bahwa materi ujian bersifat sedikit / sebentar. Seandainya kata ini dihilangkan, maka akibatnya luar biasa, obyek ujian akan meliputi seluruh ketakutan, kelaparan, dan seterusnya.

Bandingkan dengan ayat ini yg ditujukan kepada bani Israel :

(وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا ۖ مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ)
"Dan Kami pecah mereka di muka bumi menjadi banyak umat. Di antara mereka ada orang-orang yang sholeh dan ada pula yang selain itu. Dan Kami uji mereka dengan berbagai kebaikan dan keburukan agar mereka kembali."
[Surat Al-A'raf 168]

Ujian kepada mereka bersifat "totalitas" dengan berbagai (amat banyak) ujian kebaikan dan ujian keburukan.

3. Untuk ujian harta, jiwa dan buah-buahan, maka ujiannya berupa "berkurang" (نقص). Bagaimanapun, "berkurang" jelas masih lebih ringan dari "ketiadaan". Berkurang itu menunjukkan menurunnya jumlah dan wujudnya masih ada. Misalnya dari "sangat banyak" menjadi "banyak", atau dari "banyak" menjadi "cukup", atau dari "cukup" menjadi "kurang". Tapi wujudnya masih ada.

4. Yang berhasil adalah "orang yang sabar". Sabar adalah kondisi tidak berkurangnya nilai-nilai positif (kebaikan), baik keimanan, amal shalih, usaha dan lainnya.

Menariknya, Al-Qur'an tidak mengatakan "apabila kalian sabar maka kalian berhasil", namun : "berilah kabar gembira" (بشر), berbentuk kata perintah kepada satu orang untuk menyampaikan kabar gembira tersebut. Seolah Al-Qur'an hendak menyatakan "wahai Nabi Muhammad, engkau sampaikan pada hamba-hambaKu itu bahwa mereka berhasil".
Tidak hanya gembira karena "ujian telah berakhir", namun berakhir dengan sukses dan sekarang memperoleh derajat yang lebih tinggi.
Subhanallah...

Orang yang sedang belajar di perguruan tinggi misalnya. Ia akan sangat gembira bila memperoleh nilai yang memuaskan, lebih-lebih nilai terbaik.

Mengapa? Tidak hanya karena nilainya, tapi karena ia juga berkesempatan mendapat ucapan penghargaan langsung dari pimpinan perguruan tinggi. Bisa jadi, jika saat itu ada kunjungan kepala negara, maka iapun berkesempatan memperoleh ucapan penghargaan langsung dari seorang kepala negara. Ini akan menjadi kenangan, kebanggaan, bahkan bekal yang amat berharga baginya.

Bagaimana jadinya, jika seseorang berhasil mencapai sesuatu, lalu ia mendapat ucapan penghargaan langsung dari Nabi Muhammad Saw? Makhluk paling utama? Pemimpin para Nabi? Manusia yang paling dekat dan paling dicintai oleh Tuhan semesta alam? Pembawa syafaat di hari kiamat? Orang yang memasuki surga pertama kali?

Kebahagiaan seperti apa yang mampu ia gambarkan? Wujud gembira seperti apa yang mampu ia lukis dalam jiwanya?

Bagaimana jika Anda, para pembaca, yang memperoleh itu?

Dan, ayat yang sedang kita bahas ini sedang membicarakan momen itu.

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Berarti Nabi Saw, beliau sendiri memberikan ucapan selamat itu pada Anda, pada kita, tatkala kita melewati proses ujian dari Tuhan itu dengan kesabaran.

Kembali pada kesimpulan kita, maka bila Anda saat ini sedang mendapat ujian, bergembiralah, karena ujiannya hanya sekadar dan sebentar. 

Bila Anda merasa ujiannya lebih dari "sekedar", maka bersabarlah dan bergembiralah, karena barangkali Anda bukan lagi berada dalam kelompok awam, namun telah masuk ke dalam kelompok dari hamba-hambaNya yang lebih istimewa.


Wallahu A'lam



Komentar

  1. Bgn kaitan dg ayat : afahasibannas an yutraku an yaqulu amanna wahum la futnanun. Diayat tsb tampaknya cobaan besar, sehingga menggunakan kata fitnah?

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komennya, akhi "Anonim".

    Ayat lengkap yang Anda sebutkan adalah dalam surat Al Ankabut ayat 1 dan 2, sbb :

    (1) أَحَسِبَ النّاسُ أَن يُترَكوا أَن يَقولوا آمَنّا وَهُم لا يُفتَنونَ
    وَلَقَد فَتَنَّا الَّذينَ مِن قَبلِهِم ۖ فَلَيَعلَمَنَّ اللَّهُ الَّذينَ صَدَقوا وَلَيَعلَمَنَّ (2) الكاذِبينَ

    Sebagaimana ayat tersebut, mukhotob ayat berbeda dengan ayat yang kita bahas. Mukhotob ayat yang Anda sampaikan adalah manusia pada umumnya "An-naas". Mereka belum mejadi mukmin (kaum muslimin). Mereka mengaku sudah beriman, sehingga diuji dengan "fitnah".

    Lebih jelas lagi pada ayat ke-dua, menjelaskan bahwa orang-orang sebelum mereka (manusia umum yang mengaku beriman) diuji, sehingga "ketahuan" (terbukti) mana yang benar (pengakuannya) dan mana yang berdusta.

    Sedangkan pada ayat yang kita bahas pada pembahasan di atas, mukhotobnya adalah orang-orang yang sudah beriman (kaum muslimin pada umumnya). Salah satu rahmat Allah adalah Arrahim, yang diberikan khusus buat orang-orang yang beriman. Salah satu wujudnya adalah pemeberian ujian yang ringan.

    Wallahu a'lam.


    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Follower

Cari Blog Ini