Langsung ke konten utama

Memuji Nabi Muhammad SAW

Bismillahirrahmanirrahim

Hari jumat adalah hari utama, disebut "sayyidul ayyam". Pada hari ini disunnahkan untuk memperbanyak sholawat kepada manusia utama, sayyidul jinni wal insi, Nabi Muhammad Saw. Manusia terbaik, yang dipuji bukan hanya oleh makhluk bahkan juga oleh Al-Khaliq, Sang Pencipta, Allah SWT.

Seluruh ulama sepakat mengenai memuji Nabi Saw. Mereka juga sepakat mengenai tidak bolehnya memuji Nabi Saw secara berlebihan, melebihi kadarnya, sebagaimana Nabi Saw pernah besabda supaya jangan memuji beliau seperti kaum nasrani yang kelewat batas memuji Nabi Isa putra Maryam As.

Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa jangan memuji Nabi Saw kecuali seperti teks yang pernah dicontohkan, baik oleh Al-Qur'an, Al-Hadits, atau para ulama generasi awal, tabi’in dan tabiut-tabiin. Mereka berpendapat bahwa Nabi Saw boleh dipuji tapi tidak boleh sangat-sangat memuji Nabi Saw.

Secara bahasa, kata "muhammad" artinya orang yang terpuji. Benarkah demikian?

Mari kita bahas bersama secara ringkas.

Nama Muhammad “مُحَمَّد” berasal dari akar kata “حمد” (hamida–yahmadu–hamdun) berarti pujian. Kata kerjanya "memuji". 

Kata bentukan obyek (maf'ul) "yang dipuji" dari kata ini adalah : "MAHMUD"  “محمود”, artinya orang yang dipuji atau orang yang terpuji, bukan "muhammad" (مُحَمَّد).

Jadi untuk pujian biasa, maka "belum ketemu" (belum terbentuk) kata "muhammad", karena kata MUHAMMAD berasal dari kata kerja “حَمَّد” ( dengan wazan hammada–yuhammidu–tahmiidan). Obyeknya adalah “مُحَمَّد”. 

Sedikit beralih, mari kita lihat pada kata “pecah – memecahkan”, dalam bahasa arab adalah (kasara – yaksiru). 

Apabila kita melihat orang memecahkan gelas yang tadinya utuh menjadi pecah, maka kata "kasara" ini yang digunakan. 

Bagaimana dengan "kassara – yukassiru"? Kata ini digunakan bila Anda melihat seseorang tidak hanya memecahkan gelas, tapi memecahkan gelas higga hancur berkeping-keping. Orangnya disubut “mukassir”, obyeknya disebut “mukassar”.

Kembali pada pembahasan kita, maka "Muhammad" terbentuk (sebagaimana bentuk "mukassar" di atas), sesuai nama yang Allah berikan berarti : orang yang SANGAT-SANGAT terpuji.

Jadi pantaskah kita sangat-sangat memuji Nabi SAW?

Selamat hari jumat, selamat memperbanyak bersholawat,


Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan...

Perbedaan Husna dan Ihsan

Apa Perbedaan "Husna" dan "Ihsan" Husna Secara bahasa, " husna " adalah kata benda bentukan dari kata kerja intransitif ¹) " hasuna " (َحَسُن) yang berarti "berbuat baik". Pelakunya ( fa-'il ) adalah " hasan " (حَسَنٌ). Oleh karena itu, secara bahasa, " husna " itu wujud pekerjaan baik, karena sifat subyeknya memang sudah baik sejak mula. Apa yang bisa kita pahami dari rumus bahasa ini? Orang yg baik ( hasan ) maka "lazimnya" perbuatannya akan baik ( husna ) Sebaliknya, orang yang asalnya sudah buruk tidak bisa menghasilkan perbuatan baik. Jika ia berbuat "tampak" baik, maka sifat baiknya itu semu. Sehingga disyaratkan ia harus terlebih dahulu memperbaiki dirinya. Setelah sifat buruknya berubah menjadi baik, baru ia bisa menghasilkan output berupa pekerjaan baik. Demikian kita sebagai manusia, terikat oleh hukum ini. Tidaklah mungkin kita berharap outpun amal kita tergolong amal shalih, bila ...

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail As saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَا...

Follower

Cari Blog Ini