Langsung ke konten utama

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim,



Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus?

Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian?

Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut.

Al-Ahzab 33:40

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

"(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" (مِّن رِّجَالِكُمْ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut.
Benarkah demikian?

Memang benar bahwa anak-anak Nabi Saw yang hidup hingga dewasa dan menikah, seluruhnya perempuan. Beliau memiliki beberapa anak laki-laki tapi semuanya meninggal di waktu kecil sebelum beranjak dewasa.

Apakah ayat di atas menjelaskan hal ini dan sekali lagi menegaskan bahwa nasab Nabi Saw telah terputus?

Mari bersama-sama kita telaah masalah ini.


Makna Ayat

Setiap ayat Alquran yang turun, memiliki setidaknya 2 (dua) makna besar. Yaitu makna spesifik yang dapat diterangkan melalui sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan makna umum yang mencakup makna sejak turunnya ayat hingga hari kiamat. Sebab, ayat-ayat Alquran berfungsi sejak diturunkan hingga hari kiamat.

Mari kita lihat lebih dalam, satu demi satu.


A. Makna Spesifik Sesuai Asbabun Nuzul

Merujuk pada sebagian besar kitab tafsir yang muktabar, seperti kitab tafsir Ibn Katsir, tafsir Al-Thabari dan tafsir Al-Qurtubi, semuanya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun terkait salah seorang sahabat Nabi yang bernama Zaid ibn Haritsah Ra.

Zaid Ra sewaktu kecil adalah budak yang kemudian dibeli oleh keluarga Khadijah Ra dan diserahkan kepada Nabi Saw. Oleh Nabi Saw, Zaid Ra dimerdekakan dan menjadi anak angkat beliau.

Menjadi kebiasaan jahiliah, bahwa anak angkat biasa dipanggil dengan sebutan ayah yang mengasuhnya. Demikian pula Zaid Ra, seringkali dipanggil dengan nama "Zaid bin Muhammad"

Allah SWT melarang praktik demikian. Dalam agama Islam, nasab memiliki konsekuensi, baik konsekuensi syariat, adab,  muamalah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu salah satu fungsi utama agama adalah "hifdzun nasab" (atau hifdzun nashl), yakni menjaga nasab dan keturunan.

Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menulis:
...نَهَى  [تَعَالَى]  أَنَّ يُقَالَ بَعْدَ هَذَا: "زَيْدُ بْنُ مُحَمَّدٍ" أَيْ: لَمْ يَكُنْ أَبَاهُ

"Allah SWT melarang untuk mengatakan, setelah ini (ayat ini turun, sebutan), "Zaid bin Muhammad", bahwa beliau Saw bukanlah ayahnya..."

Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan:

يقول تعالى ذكره: ما كان أيها الناس محمد أبا زيد بن حارثة، ولا أبا أحد من رجالكم  الذين لم يلده محمد

"Allah SWT menjelaskan bahwa, wahai manusia, Nabi Muhammad bukanlah ayah dari Zaid bin Haritsah, bukan pula ayah dari lelaki manapun dari kalian yang tidak dilahirkan oleh (Nabi) Muhammad (maksudnya yang tidak ber-ayah pada Nabi Muhammad Saw)".

Sedang Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya, beliau menjelaskan:
لَمَّا تَزَوَّجَ زَيْنَبَ قَالَ النَّاسُ: تَزَوَّجَ امْرَأَةَ ابْنِهِ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ، أَيْ لَيْسَ هُوَ بِابْنِهِ حَتَّى تُحَرَّمَ عَلَيْهِ حَلِيلَتُهُ، وَلَكِنَّهُ أَبُو أُمَّتِهِ فِي التَّبْجِيلِ وَالتَّعْظِيمِ، وَأَنَّ نِسَاءَهُ عَلَيْهِمْ حَرَامٌ. فَأَذْهَبَ اللَّهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَا وَقَعَ فِي نُفُوسِ الْمُنَافِقِينَ وَغَيْرِهِمْ،

"Ketika Nabi (diperintahkan oleh Allah SWT untuk) menikahi Zainab Ra (setelah bercerai dari Zaid dan habis masa idahnya), orang-orang berkata, "beliau menikahi istri anaknya", maka turunlah ayat ini, bahwa Zaid bukanlah anaknya, sehingga tidak terlarang menikah dengan jandanya. Akan tetapi, (di sini yang dimaksud pengertian bapak adalah), bahwa beliau adalah ayah bagi umatnya dalam pengertian keagungan dan kemuliaan dan juga dalam pengertian bahwa istri-istri Nabi sepeninggal beliau terlarang untuk dinikahi oleh umatnya. Maka dengan turunnya ayat ini, Allah SWT menghapus prasangka dan berbagai macam tuduhan yang dilontarkan oleh kaum munafik dan kawan-kawan mereka pada diri Nabi Saw.

Imam Al-Qurtubi lebih jauh melanjutkan,

وَأَعْلَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَكُنْ أَبَا أَحَدٍ مِنَ الرِّجَالِ الْمُعَاصِرِينَ لَهُ فِي الْحَقِيقَةِ. 

"Maka ketahuilah bahwa Nabi Muhammad bukanlah ayah dalam pengertian hakikat (biologis) dari lelaki dewasa manapun yang hidup pada masa beliau".


Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab tafsir tersebut di atas berkaitan dengan ayat Al-Ahzab 33:40.

Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa makna spesifik dari inzalil ayah, atau sebab turunnya ayat adalah menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan ayah dari Zaid Ra. Atau dengan kalimat lain, bahwa Zaid Ra bukan putra Nabi Muhammad Saw secara nasab, sehingga tidak ada konsekuensi syariat Islam, salah satunya terkait pernikahan dengan jandanya.

B. Makna Umum

Makna umum ayat adalah makna yang dicakup oleh suatu ayat secara umum tanpa dibatasi waktu. Sebab setiap ayat Al-Qur'an berfungsi sejak saat diturunkan hingga hari kiamat.

Makna umum ayat terkait erat dengan kaidah tafsir, penggunaan lafaz dan penjelasan ayat, baik berupa penjelasan dari ayat-ayat lainnya maupun penjelasan oleh Nabi Saw melalui hadits yang sorih.

Sebagai contoh, makna "bumi" (الارض) dalam Al-Qur'an memiliki makna cakupan umum yaitu tanah / lahan yang bisa ditinggali oleh manusia. Namun dalam ayat-ayat tertentu memiliki makna spesifik, seperti dalam surah Yusuf 12:21, kata tersebut berarti "Negeri Mesir".

Demikian pula ayat yang kita bahas ini, selain memiliki makna spesifik sebagaimana dijelaskan di atas, juga memiliki makna yang mencakup secara umum.

Makna Umum Kata "Ayah"

Dalam Alquran, kata "ayah" (أب) bentuk jamaknya (آباء) berarti ayah atau bapak. Ada kalanya kata ini digunakan untuk menunjukkan ayah secara nasab, ada kalanya digunakan untuk kakek dengan jalur nasab dan ada pula kalanya digunakan untuk paman.

Mari kita perhatikan ayat berikut:
Al-Baqarah 2:133

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ ٱلْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى قَالُوا۟ نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

"Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”

Dalam ayat di atas, Alquran menggunakan kalimat "...ayah-ayahmu (Nabi Ya'kub) yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak". 
Kita bisa lihat, ayat di atas bahkan mendahulukan paman beliau, yaitu Ismail As dibanding ayahnya sendiri, yaitu Ishak As.

Pada titik ini, dapat kita simpulkan bahwa kata "ayah" (أب) lebih menunjukkan hubungan anak dengan orang tua. Di mana hubungan tersebut terkait dengan kekerabatan dan tidak melulu secara vertikal, namun juga bisa bergeser pada paman.

Kembali pada ayat yang kita bahas,  dalam kaitannya dengan nasab, apakah ayat yang kita bahas (
Al-Ahzab 33:40) mencakup juga pengertian bahwa Nabi Saw tidak memiliki anak-anak yang bernasab pada beliau?

Mari kita lihat dari penjelasan nash lainnya.

Dalam amat banyak hadits nabawi, Nabi Saw menjelaskan bahwa beliau memiliki anak cucu, keturunan yang bersambung nasab dengan beliau (dzuriyah / itrah) hingga hari kiamat, yang merupakan bagian dari ahlibait beliau 1)

Lalu, ayat Al-Qur'an mana yang menunjukkan itu?

Mari kita lihat satu surah penting terkait persoalan ini, yaitu surah Al-Kautsar, sebagai berikut:


(بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ۝  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ۝  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ)

"Sesungguhnya Kami berikan kepadamu (Nabi Muhammad) al-kautsar. Maka laksanakanlah sholat dan dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu itu, dialah yang terputus".


Dengan merujuk sejumlah kitab tafsir, kita bisa ketahui bahwa surah di atas memiliki asbabun nuzul, bahwa seorang kafir Quraisy menghina Nabi Saw dengan kata "abtar" (الأبتر), yang artinya terputus, tidak memiliki keturunan. 
Hinaan tersebut terkait dengan kebanggaan yg umum pada masa jahiliah. Bagaimana kisahnya?

Adat Jahiliyah

Saat itu, pada masa jahiliah, kebanggaan dan pencapaian hidup itu terletak pada harta yang banyak dan anak-anak lelaki (keturunan) yang banyak pula.

Mereka menganggap bahwa orang yang dianugerahi Tuhan mestilah dianugerahi "keutamaan" tersebut, berupa harta yang melimpah dan keturunan yang banyak pula.

Amat banyak ayat Alquran mengeritik adat jahiliah itu.

Kemudian, mereka, -kaum kafir dan musyrik Quraisy- berupaya menjatuhkan Nabi Saw, salah satunya dengan anggapan "keutamaan" tersebut.

Namun, ternyata mereka kesulitan untuk menghina Nabi Saw dengan harta. Jelas di hadapan mereka, bahwa Nabi Saw sangat berkecukupan. Sayidah Khadijah Ra istri sekaligus penyokong utama beliau adalah seorang yang kaya raya di kalangan Quraisy.

Demikian pula, terdapat banyak sahabat yang menyokong dakwah Nabi Saw, tergolong kalangan hartawan, seperti Sayidina Abu Bakar Ra dan Sayidina Utsman Ra.

Bahkan ketika kaum kafir Quraisy bersepakat melakukan boikot besar-besaran pada diri Nabi Saw dan kaum muslimin di Mekah, supaya mereka dimiskinkan, mati kelaparan lalu menyerah, ternyata gagal total. Nabi Saw dan kaum muslimin bisa bertahan dan keluar dari makar tersebut dengan selamat tanpa seorangpun yang mati kelaparan. Meskipun kondisi tersebut dilalui oleh Nabi Saw bersama kaum muslimin dengan susah payah.

Karena mereka tidak bisa menghina Nabi Saw dengan kekayaan, maka mereka berupaya menghina Nabi dengan ketiadaan keturunan.

Mereka melihat bahwa semua anak lelaki Nabi Saw meninggal di masa kecil, dengan itu mereka merasa memiliki bahan, modal yang dianggap kuat untuk menjatuhkan Nabi Saw di mata masyarakat.

Dalam alam pikiran "semu" mereka, seorang nabi mestilah tidak berjarak dengan anugerah Tuhan. Apabila ia tidak diberikan anugerah itu, tentulah ia seorang pembohong.

Lalu, salah seorang pembesar kafir Quraisy melontarkan hinaan "abtar" pada diri Nabi Saw. Ia mencela Nabi Saw sebagai orang yang terputus, tidak memiliki keturunan. Lalu hinaan tersebut mulai menyebar luas di kalangan masyarakat Quraisy.

Tidak menunggu lama dari itu, Allah SWT membela Nabi Saw dan menghibur beliau dengan menurunkan surah Al-Kautsar.

Surah Al-Kautsar

Ayat pertama surah ini berbunyi, 
إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
"Sesungguhnya, kami berikan padamu (Nabi Saw) berupa al-kautsar".

Kata "kautsar" (كوثر) adalah kata benda yang berasal dari kata sifat "katsir" (كثير) yang memiliki arti "banyak". Karena kata ini adalah kata benda, sedangkan "banyak" adalah kata sifat, maka harus jelas, banyak ini mewakili apa.

Kata benda ini harus dikembalikan pada kata kerja sebelumnya, yaitu "kami berikan padamu" (أَعۡطَیۡنَـٰكَ), sehingga yang dimaksud "banyak" adalah pemberian yang banyak.

Sedangkan "al" (ال) di depan kata tersebut bermakna makrifah, yang salah satu fungsinya adalah sifat mutlak.

Dengan demikian pemberian (karunia) yang diberikan Tuhan untuk Nabi Saw bersifat mutlak. 
Seandainya huruf "al" (ال) di depan kata tersebut dihilangkan, maka hilang pula sifat mutlaknya. Sehingga, bisa jadi ada orang lain yang memperoleh karunia yang banyaknya menyamai atau bahkan melebihi karunia yang diterima Nabi Saw. Fungsi "al" di atas menghilangkan keraguan tersebut, sehingga pemberian Allah SWT pada Nabi Saw bersifat tidak tertandingi.

Tidak hanya pemberian tersebut tidak tertandingi dari sisi jumlah, namun juga jangka waktunya. Di mana pemberian tersebut berlanjut hingga hari akhirat.

Imam Fakhruddin Al-Razi (W. 1210 M), dalam kitab tafsirnya Mafatih Al-Ghaib, menjelaskan dengan rinci makna Al-kautsar.
Menurut beliau, terdapat 15 makna Al-kautsar, yaitu berupa pemberian / nikmat yang amat banyak dari Tuhan untuk Nabi Saw. Di antaranya adalah: mata air di surga, sungai di surga, keturunan, pengikut, ulama, kitabullah dan lain-lain.

Semuanya bersifat mutlak tidak tertandingi baik dari sisi kuantitasnya maupun dari sisi jangka waktunya.

Dengan turunnya surah ini, maka tertolaklah tuduhan orang-orang kafir Quraisy. Di mana Allah SWT menjamin memberikan pada Nabi Saw semua bentuk karunia yang bersifat mutlak yang tidak putus. Tidak hanya karunia keturunan, tapi juga meliputi segala bentuk karunia yang tidak akan terputus hingga hari kiamat. 

Salah satu nikmat yang bersifat mutlak tersebut adalah nikmat keturunan yang tidak tertandingi, baik dari jumlahnya maupun ketersambungannya di dunia hingga di akhirat.

Keturunan Nasab Nabi Saw

Dalam surah Al-Mu'minun 23:101, Allah SWT berfirman:

فَإِذَا نُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَلَآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَآءَلُونَ

"Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga (nasab) di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya".

Ayat ini menunjukkan secara umum, bahwa semua nasab akan terputus pada hari kiamat. Akan tetapi, Nabi Saw bersabda:

كُلُّ سَبَبٍ وَنَسَبٍ مُنْقَطِعٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلاَّ سَبَبِي وَنَسَبِي

"Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sababku dan nasabku" (3)

Imam Fakhruddin Al-Razi pada penjelasan makna kautsar sebagai keturunan, beliau menulis sebagai berikut:

(والقول الثالت) الكوثر أولاده قالوا لأن هذه السورة إنما نزلت ردًا على من عابه عليه السلام بعدم الأولاد، فالمعنى أنه يعطيه نسلا يبقون على مر الزمان، فانظر كم قتل من أهل البيت، ثم العالم ممتلئ منهم، ولم يبق من بني أمية في الدنيا أحد يعبأ به، ثم انظر كم كان فيهم من الأكابر من العلماء كالباقر والصادق والكاظم والرضا عليهم السلام والنفس الزكية وأمثالهم

"Dan makna (qaul) yang ketiga dari Al-kautsar adalah anak-anaknya (laki-laki). Para ulama berkata, sebab turunnya surah ini adalah menjawab tuduhan orang yang menghina Nabi Saw, sebagai seorang yang tidak memiliki anak (laki-laki). Oleh karena itu, makna ayat ini adalah, bahwa Allah SWT memberikan karunia pada Nabi berupa keturunan yang abadi sepanjang zaman. Maka lihatlah berapa banyak yang terbunuh dari kalangan ahlilbait (keturunan Nabi Saw), akan tetapi jumlah mereka tetap banyak di muka bumi. Sedangkan keturunan dari Bani Umayyah (dari dinasti Umayyah, pada masa Imam Fakhruddin) tidak nampak satupun. Lalu lihatlah betapa banyak dari keturunan Nabi Saw, dari mereka bahkan terdapat para pembesar di kalangan ulama, seperti Imam Al-Baqir, Imam Al-Shadiq, Imam Al-Kadzim, Imam Al-Ridha, Imam Al-Nafsuzzakiyyah dan lain-lain".

Selanjutnya, Nabi Saw menjelaskan bahwa nasab keturunan beliau adalah berasal dari putrinya, Fathimah Ra, melalui kedua cucu laki-laki beliau, yakni Sayyidina Hasan Ra dan Sayyidina Husain Ra.

Nabi Saw bersabda:

"كُلُّ بني أُنْثَى فَإِنَّ عَصَبَتَهُمْ لأَبِيهِمْ ، مَا خَلا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَإِنِّي أَنَا عَصَبَتَهُمْ ، وَأَنَا أَبُوهُمْ “.

"Setiap anak (yang lahir) dari seorang ibu maka ushbah (ikatan nasab) mereka (terikat melalui) ayah mereka sendiri, kecuali (keturunan dari) anak laki-laki fatimah, maka akulah ushbah mereka dan akulah ayah mereka" (4)

Dalam redaksi lain :
لِكُلِّ بَنِي أُمٍّ عَصَبَةٌ يَنْتَمُونَ إِلَيْهِ إِلَّا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَأَنَا وَلِيُّهُمَا وَأَنَا عَصَبَتُهُمَا

"Setiap anak dari seorang ibu memiliki ushbah (melalui ayah) yang menjadi sambungan nasab baginya (ayahnya tersebut) kecuali anak laki-laki Fathimah , maka akulah wali keduanya (Hasan Ra dan Husain Ra) dan akulah usbah bagi keduanya "(5)

Dengan demikian menjadi jelaslah, bahwa nasab Nabi Saw tidak terputus, melainkan tetap bersambung bahkan hingga hari kiamat. Nasab Nabi Saw bersambung melalui kedua putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra dan Sayidah Fathimah Ra, yakni Hasan Ra dan Husain Ra. (6)

Sekarang kita dapat kembali pada makna umum ayat yang kita bahas, yaitu Al-Ahzab 33:40

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

"(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) pun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

Setelah nash ayat ini diterangkan oleh nash lain (ayat dan hadits nabawi yang shorih), maka makna ayat ini terkait nasab adalah berupa: penafian (inkar) sekaligus menetapkan (itsbat).

yaitu, bahwa "Nabi Saw bukanlah bapak (ushbah nasab) dari lelaki manapun juga, kecuali Hasan dan Husain dan dzuriat mereka berdua yang bersambung nasab dengan keduanya"

Imam Al-Qurtubi dalam tafsir ayat tersebut di atas menegaskan
وَلَمْ يَقْصِدْ بِهَذِهِ الْآيَةِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ، فَقَدْ وُلِدَ لَهُ ذُكُورٌ: إِبْرَاهِيمُ، وَالْقَاسِمُ، وَالطَّيِّبُ، وَالْمُطَهَّرُ، وَلَكِنْ لَمْ يَعِشْ لَهُ ابْنٌ حَتَّى يَصِيرَ رَجُلًا. وَأَمَّا الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ فَكَانَا طِفْلَيْنِ، وَلَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ مُعَاصِرَيْنِ لَهُ

"Dan, tidaklah yang dimaksud ayat ini bahwa Nabi tidak memiliki anak laki-laki, sebab telah lahir anak-anak laki-laki beliau seperti Ibrahim, Qasim, Thayyib dan Muthahar, akan tetapi mereka tidak hidup mencapai lelaki dewasa. Adapun Hasan dan Husain (pada masa hidup Nabi) masih kanak-kanak, belum beranjak menjadi lelaki dewasa". (7)

Kesimpulan

Kita dapat simpulkan dari pemaparan ini bahwa:
1. Surah Al-Ahzab 33:40 memiliki makna sesuai asbabun nuzul, terkait sahabat Zaid ibn Haritsah Ra, yang dijadikan Nabi Saw sebagai anak angkat beliau. Melalui ayat ini, Allah SWT melarang kaum muslimin menyebut Zaid sebagai putra Nabi bahkan melarang memanggil dengan sebutan Zaid ibn Muhammad.

2. Tidak hanya terhadap Zaid ibn Haritsah, ayat tersebut juga menegaskan bahwa Nabi bukan ayah nasab bagi lelaki dewasa manapun yang hidup pada masa Nabi Saw.

3. Makna Nabi sebagai "ayah kaum muslimin" adalah makna keagungan dan kemuliaan, sekaligus menguatkan makna bahwa seluruh istri-istri beliau Saw adalah ibu bagi seluruh kaum muslimin, sehingga haram bagi kaum muslimin menikah dengan mereka sepeninggal Nabi Saw.

4. Makna umum lafadz "ayah" adalah bapak bagi anak, yang menunjukkan hubungan orang tua dan anaknya. Makna ini mencakup ayah nasab, seluruh kakek nasab dan paman.

5. Makna al-kautsar adalah pemberian khusus (karunia) dari Allah SAW kepada Nabi Saw yang tidak tertandingi, baik jumlahnya maupun jangka waktunya, mencakup dunia hingga akhirat. Makna ini mencakup amat banyak nikmat dari Allah SWT, termasuk di dalamnya nikmat keturunan bagi Nabi Saw.

6. Keturunan (nasab) Nabi Saw bersambung melalui kedua putra Fathimah Ra, yaitu kedua cucu Nabi Saw, Hasan Ra dan Husain Ra. Keturunan (jalur laki-laki) dari kedua cucu Nabi Saw ini adalah keturunan Nabi Saw yang bersambung nasab dengan beliau Saw, yang tidak akan terputus baik di dunia maupun di akhirat.

7. Makna umum dari ayat Al-Ahzab 33:40 adalah penafian sekaligus penetapan. Bahwa Nabi Saw bukan ayah nasab dari laki-laki manapun, kecuali keturunan dari kedua cucuya Hasan Ra dan Husain Ra.

Demikian, semoga bermanfaat.

Note : Apabila berkenan untuk bertanya atau memberikan pendapat, silakan mengisi kolom komentar, terima kasih.



Catatan Kaki:

1) mengenai ini, bisa dibaca pada tulisan kami sebelumnya, silakan klik di sini

2) Fakhruddin Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Dar Al-Fikri, tahun 1981M -1401H, Juz 32, hal 124

3) Thabrani dalam Mu'jam Al-Kabir (1/124), Mustadrak Al-Hakim (3/142), Sunan Baihaqi (7/114), Musnad Imam Ahmad (31/207), Musnad Imam Ahmad (17/220).

4) Mu'jam Al-Kabir Thabrani (3/73)
المعجم الكبير للطبراني – (ج 3 / ص 73)

2565- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن زَكَرِيَّا الْغَلابِيُّ ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بن مِهْرَانَ ، حَدَّثَنَا شَرِيكُ بن عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ شَبِيبِ بن غَرْقَدَةَ ، عَنِ الْمُسْتَظِلِّ بن حُصَيْنٍ ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” كُلُّ بني أُنْثَى فَإِنَّ عَصَبَتَهُمْ لأَبِيهِمْ ، مَا خَلا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَإِنِّي أَنَا عَصَبَتَهُمْ ، وَأَنَا أَبُوهُمْ “.
"Menyampaikan pada kami, Muhammad bin Zakariya Al-Alaniy, menyampaikan kami Basyar bin Mihran, menyampaikan kami Syarik bin Abdillah, dari Syabib bin Ghorqodah, dari Al-Mustadhil bin Hushoin, dari Umar Ra, beliau berkata, Aku mendengar Rasulllah Saw mengatakan, setiap anak dari seorang wanita, maka ushbah (nasab dari anak-anaknya) terikat pada ayah mereka (suami si wanita tsb), kecuali anak laki-laki Fathimah, maka akulah ushbah (nasab) mereka dan akulah ayah mereka" 

5) Ibn Hajar Al-Asqalani, dalam kitab Al-Mathalib Al-'Aliyah bi zawaid Al-Masanid Al-Tsamaniyah, bab Fadhoil Fathimah, hadits ke 4101, sbb:

ثنا عُثْمَانُ ، ثنا جَرِيرٌ ، عَنْ شَيْبَةَ بْنِ نَعَامَةَ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ ، عَنْ فَاطِمَةَ الْكُبْرَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لِكُلِّ بَنِي أُمٍّ عَصَبَةٌ يَنْتَمُونَ إِلَيْهِ إِلَّا وَلَدَ فَاطِمَةَ فَأَنَا وَلِيُّهُمَا وَأَنَا عَصَبَتُهُمَا "


6) Mu'jam Al-Kabir Thabrani (3/43); Kanz Al-Umal dalam bab Fadhail Ali bin Abi Thalib (11/600); Al-Jami Al-Shaghir Imam Al-Suyuthi (1/262)

حدثنا : محمد بن عثمان بن أبي شيبة ، ثنا : عبادة بن زياد الأسدي ، ثنا : يحيى بن العلاء الرازي ، عن جعفر بن محمد ، عن أبيه ، عن جابر (ر) قال : قال رسول الله (ص) : إن الله عز وجل جعل ذرية كل نبي في صلبه وإن الله تعالى جعل ذريتي في صلب علي بن أبي طالب
"Menyampaikan pada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, menyampaikan kami Ubadah bin Ziyad Al-Asadi, menyampaikan kami Yahya bin Al-Ala' Al-Razi, dari Ja'far bin Muhammad dari ayahnya, dari Jabir Ra, beliau berkata, Berkata Rasulullah Saw, "sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menjadikan keturunan setiap nabi ada pada sulbinya masing-masing, namun Allah Ta'ala menjadikan keturunanku berada pada sulbi Ali bin Abi Thalib".

7) 
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi pada tafsir surah Al-Kautsar.
 



Sumber gambar : https://m.lampost.co/berita-muhammad-dan-spirit-perubahan.html


Komentar

  1. Tulisan yang sangat bermanfaat. Terima kasih

    BalasHapus
  2. Terima kasih komentarnya dan telah berkenan untuk membaca. Semoga bermanfaat, amin

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini