Langsung ke konten utama

Kaidah takhsis INNAMA pada ayat tathhir Al-Ahzab 33 Apakah antum pada Ahlulbait berbeda dengan antunna sehingga Istri-istri Nabi bukan ahlulbait

Kaidah takhsis (إنما) pada ayat tathhir Al-Ahzab 33. Apakah "antum" pada Ahlulbait berbeda dengan "antunna", sehingga Istri-istri Nabi bukan ahlulbait?

PENDAHULUAN

Bismillahirrahmanirrahim,

Pada tulisan sebelum ini, kami telah ketengahkan seputar perubahan kata ganti (dhamir) "antunna" menjadi "antum" pada ayat tathhir, sehingga bisa diketahui siapa saja anggota ahlulbait.
Tulisan tersebut dapat Anda baca di sini.

Salah satu guru kami yang mulia menyampaikan, bahwa terdapat pendapat yang mengatakan bahwa "antunna" tidak masuk ke dalam "antum" pada ayat tersebut karena adanya kaidah hashr dari kata "innama" (
إنما) yang bersifat "mengkhususkan secara mutlak"

Menurut pendapat tersebut, fungsi (faidah) dari kaidah itu mencegah masuknya antunna, sehingga berakibat istri-istri Nabi saw tertolak masuk ke dalam ahlulbait pada ayat tersebut.

Benarkan demikian?
Bagaimana fungsi-fungsi seputar kaidah "innama" (إنما) dan bagaimana penerapannya, akan kita sama-sama bahas dalam tulisan ini, insyaallah.


APA ITU KAIDAH

Dalam bukunya, "Kaidah Tafsir", Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kaidah adalah 1):
حكم اغلبي ينطق على معظم أجزائه

Yakni, "ketetapan hukum yang dapat diterapkan pada kebanyakan bagian-bagiannya".


Pada pengertian yang lebih lama, digunakan kata "seluruh", namun berikutnya kata "seluruh" diganti menjadi "kebanyakan" atau "sebagian besar".

Perubahan ini untuk mengakomodir adanya pengecualian / syadz (شاذ) yang tidak mampu ditampung oleh suatu kaidah.

Bagaimanapun para ulama-pakar berupaya menyusun kaidah yg dapat menampung keseluruhan, tetap saja ia adalah produk manusia, yang senantiasa tunduk di bawah kesempurnaan Al-Qur'an.

KAIDAH INNAMA (إنما)

Asalnya, kata innama tersusun dari dua harf, yaitu inna (إنّ) dan ma (ما).

Kata inna (إنّ) disebut 
harf taukid (kata penegas / penguat) yang dalam kaidah bahasa punya 3 fungsi, yaitu:
1. Fungsi penegas, bermakna "sesungguhnya"
2. Fungsi me-nashab-kan isim
3. Fungsi me-rafa'-kan khobar.

Kami tidak menjelaskan lebih jauh fungsi tersebut, supaya tidak bertele-tele. Namun sampai di sini yang perlu diketahui adalah, bahwa setiap kata inna, maka sedikitnya akan memiliki ketiga fungsi tersebut.

Kata (ما) yang bersambung dengan kata inna (إنّ) disebut ma zaidah kafah (ما الزائدة الكافة). Ketika ma zaidah kafah bergabung dengan kata inna, maka ia akan membatalkan ketiga fungsi inna di atas dan membentuk kata yang sama sekali baru, yaitu innama (إنما).

Kata baru ini disebut "tanda hashr" (adatul hashr) bermakna "hanya" atau "hanyalah", memiliki 2 fungsi baru, yaitu:

1. Bisa jadi berfungsi hashr mutlaq (الحصر المطلق)
2. Bisa pula berfungsi hashr takhshis (الحصر التخصيص)

Seperti apa kedua fungsi tersebut, mari kita lihat lebih dalam.

FUNGSI PERTAMA

Fungsi pertama, yaitu hashr mutlaq berarti "membatasi dengan menafikan selainnya". Agar mudah kita pahami, mari kita lihat pada contoh, Q.S. Al-Baqarah 2:173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Sesungguhnya Dia (Allah SWT) hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".

Pada ayat tersebut kata innama berfungsi membatasi secara mutlak dengan menafikan selainnya, bahwa yang diharamkan (dari binatang ternak) hanya 4 itu saja yaitu: bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah.

Karena innama pada ayat ini adalah "hashr mutlaq", maka selain membatasi, ia juga sekaligus menafikan selain itu, sehingga (semua binatang ternak) di luar yang disebutkan itu hukumnya tidak haram. 
Harap digarisbawahi dalam kasus ini bahwa ayat ini terkait dan diterangkan oleh ayat lain, yaitu Al-Maidah ayat 1 dan ayat 3, di mana, cakupannya adalah hewan ternak tertentu (بهيمة الأنعام). Maksudnya bahwa di luar cakupan tersebut terdapat kriteria lain menyoal hewan-hewan yang halal / haram 2). Seperti anjing, kodok, tikus, ular, kepiting darat dsb. Hewan-hewan tersebut tidak termasuk di dalam kelompok "hewan ternak tertentu" (bahimatul an'am).

Jadi kesimpulan fungsi hashr mutlaq innama dalam ayat itu, ia membatasi secara mutlak, di mana, dari seluruh kelompok hewan bahimatul an'am (hewan ternak yang umum), yang diharamkan hanya yang disebutkan saja, dan menafikan selain itu (selain yang disebutkan itu hukumnya tidak haram).

FUNGSI KEDUA

Fungsi kedua adalah hashr takhshis, berarti pembatasan yang sifatnya mengistimewakan tanpa menafikan yang lainnya.

Kita bisa lihat contohnya pada Q.S. Al-Ma'idah 5:90

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah rijs termasuk pekerjaan setan..."

Sekarang, coba kita perhatikan, ada berapa obyek "rijs" yang merupakan pekerjaan setan pada ayat di atas?

Dalam ayat di atas disebut ada 4 obyek, yaitu: khamr (minuman yang memabukkan), judi, berhala dan undian.
Lalu pertanyaan berikutnya, apakah pekerjaan rijs setan hanya 4 itu saja?
Tidak!

Fungsi Hashr takhshis innama tidak bermaksud menafikan pekerjaan setan yang lain, tapi hanya menetapkan kekhususan / spesialisasi / keistimewaan. Seolah Al-Qur'an hendak berkata, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah semua pekerjaan setan, terutama 4 yang khusus ini..."

Mari kita lihat contoh lain, pada Q.S. An-Nahl 16:82

فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ

"Maka jika mereka berpaling, ketahuilah yang dibebankan atasmu (Nabi Saw) hanyalah kewajiban menyampaikan dengan terang"

Ayat di atas menegaskan bahwa seolah kewajiban yang dibebankan atas diri Nabi Saw hanya tugas menyampaikan.

Padahal kita tahu bahwa tugas Nabi Saw sangat banyak, di dalamnya termasuk mengajar, mengingatkan, menegur, mencegah dan seterusnya.
Bahkan termasuk di dalamnya memerangi musuh (saat peperangan), ketika mereka menolak untuk berdamai dan memilih jalan memerangi kaum muslimin.

Jadi jelas bahwa tugas Nabi Saw tidak hanya menyampaikan. Lalu apa fungsi hashr innama pada ayat tersebut?

Seperti halnya ayat sebelumnya, bahwa fungsinya adalah hashr takhshis tanpa menafikan kewajiban lainnya, yaitu mengistimewakan tugas tertentu secara khusus.

Bahwa ketika Nabi Saw sudah menyampaikan risalah pada suatu kaum, lalu mereka menolak, maka seolah "tugas utama" Nabi Saw telah cukup ditunaikan dengan penyampaian itu. Sehingga ketika kaum tersebut menolak, maka hal ihwal  petunjuk berikutnya (terkait kaum tersebut) diserahkan kembali pada Allah Swt.

Setelah mengetahui kedua fungsi tanda hashr innama, sekarang, mari kita kembali pada pokok pembahasan kita.

POKOK PEMBAHASAN

Kembali pada pokok masalah, dari sekian banyak pendapat tentang kaidah innama, ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa fungsi hashr innama dalam ayat tathhir itu mencegah masuknya "antunna" ke dalam "antum".

Sehingga menurut pendapat itu, berakibat istri-istri Nabi Saw tertolak masuk ke dalam ahlulbait pada ayat tersebut.

Sekarang, mari sama-sama kita telusuri penerapan fungsi innama dari kedua fungsi hashr-nya dalam ayat tathhir Al-Ahzab 33:33.


وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"Dan hendaklah kalian (antunna) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan rijs dari kalian (antum), wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya"

Sebelumnya, mari kita potret terlebih dahulu, bahwa di dalam ayat di atas terdapat 
2 obyek. Bisa jadi, kedua fungsi hashr innama mengena pada 2 obyek tersebut.
Oleh karena itu, agar pembahasan kita saat ini bisa tuntas, maka kita akan melakukan penerapan fungsi hashr innama kepada 2 obyek tersebut, yaitu:

a. Kata kerja (fi'l) yang dalam ayat itu adalah ingin (يريد) yaitu keinginan Allah (iradatullah) berupa "menghilangkan rijs" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ).

b. Muhkatab (yang diajak bicara) yang dalam ayat itu adalah antum (kum).

Mari kita terapkan 2 fungsi hashr innama dalam ayat tathhir pada kedua obyek di atas.

1. Fungsi pertama, hashr mutlaq.

Apabila kita pahami bahwa fungsi hashr innama adalah hashr mutlaq, maka otomatis kita menafikan obyek-obyek lain di luar obyek yang dibatasi. Baik obyek fi'l maupun obyek mukhatab.

Mari kita lihat satu demi satu.

a. Penerapan fungsi hashr mutlaq (dengan penafian selainnya) pada obyek fi'il.

Jika kita pahami bahwa fi'l iradatullah dalam ayat tersebut bersifat mutlak, maka kita sedang mengunci fi'il iradatullah pada  ingin untuk "menghilangkan rijs" dan "menyucikan ahlulbait" lalu menafikan fi'l-fi'l yang lain.

Dan, ini tertolak. Sebab Allah SWT ternyata tetap memberlakukan fi'l-fi'l lain pada ahlulbait. Allah memberlakukan kewajiban-kewajiban lain pada ahlulbait. Juga Allah berkeinginan pula memberikan pada mereka anugerah-anugerah lain, seperti "memberikan petunjuk", "meberikan anugerah ilmu" hingga "pemberian" anugerah surga bersama Rasulullah SAW di Haudh dan juga anugerah Al-Kautsar 3), 
tidak hanya "menghilangkan rijs dan menyucikan". 

Lalu, karena innama juga bisa berfungsi mutlak (dengan penafian selainya), maka di mana fungsi mutlaknya?

Pada ayat tersebut fi'l iradatullah adalah "menghilangkan" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ).

Harus dicatat, bahwa terdapat huruf "lam" (ل) yang berfungsi sebagai "ta'lil" (التعليل), atau menerapkan illat (alasan / landasan / hukum). Sehingga dipahami bahwa "sifat mutlak dengan penafian" dari iradatullah adalah terletak pada illat tersebut.

Bahwa Allah SWT menjelaskan rentetan ayat-ayat sebelumnya 4) adalah untuk suatu alasan.
Dan, pada potongan ayat ini, Allah SWT membuka dengan terang benderang alasan itu, yaitu untuk tujuan "menghilangkan rijs" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ).

Jadi jelas di sini, bahwa fungsi hashr mutlaq nafi pada ayat ini bukan menafikan fi'l-fi'l lain, tapi tujuannya utk menetapkan illat dengan menafikan illat lain di luar illat "menghilangkan rijs" dan "menyucikan".

Sekarang, bagaimana dengan pembatasan dan penafian obyek yang ke-2, yakni mukhatab?

b. Penerapan fungsi hashr mutlaq (dengan penafian selainnya pada mukhatab antum.

Jika kita pahami bahwa mukhatab antum dalam ayat tersebut bersifat mutlak, maka, fungsi hashr mutlaq nafi pada ayat di atas adalah membatasi "penghilangan rijs" dan "penyucian" hanya pada antum ahlulbait saja dan menafikan pihak-pihak lain.

Demikian dikatakan oleh seorang pakar tata bahasa Arab, As-Syaikh Muhyiddin Al-Darwisy (W. 1403 H) dalam kitabnya, sebagai berikut 5):

وأهل البيت نصب على الإختصاص للمدح أي أخص أهل البيت
 
"Ahlulbait (pada kalimat / ayat tathhir tersebut) berposisi sebagai nasb yang diperuntukkan sebagai "yang dipuji", atau berfungsi untuk mengkhususkan ahlulbait saja (khusus bagi ahlulbait, bukan untuk selainnya)".

Sekarang, bolehkah kita memaknai dari fungsi hashr mutlaq nafi di atas, bahwa mukhatab antum menghilangkan / menafikan mukhatab antunna?

Memang benar bahwa fungsi tersebut menafikan pihak-lain di luar antum ahlulbait. Bahwasanya illat tersebut dimaksudkan hanya untuk kelompok ahlulbait saja
Namun apakah mukhatab baru "antum" juga bersifat eksklusif, menafikan mukhatab sebelumnya (antunna) yang masih dalam rangkaian ayat?

Mari kita lihat kelanjutan dari pendapat ulama-pakar bahasa As-Syaikh Muhyiddin Al-Darwisy, sebagai berikut:

ولك أن تجعله منادى محذوف الأداة أو على البدل من الكاف، واعترضه المبرد بأنه لا يجوز البدل من المخاطب

"Boleh bagi Anda menjadikannya (kata ahlul bait) sebagai panggilan (seolah berbunyi wahai ahlulbait - يا أهل البيت -) dengan dihilangkan tanda panggilannya (wahai - يا ). Atau bisa juga sebagai badal (kata ganti) dari "kum" (dari kata عنكم ), akan tetapi, hal ini ditentang (ditolak) oleh Imam Al-Mubarrad 6), sebab tidak diperbolehkan badal menggantikan mukhatab".

Dalam kaidah bahasa, fungsi badal itu untuk menjelaskan pihak yang telah disebut sebelumnya, dalam sebuah kalimat.

Maka sifat badal adalah menjelaskan atau memperinci lebih lanjut mukhatab (yang telah disebut sebelumnya), tapi tidak boleh mengganti mukhatab tersebut.

Bagaimana fungsi kaidah ini dalam ayat tathhir?

Dalam ayat tathhir, kata "ahlulbait" menerangkan dengan jelas siapa itu "kum" (antum). Sekaligus "antum" tidak boleh menghalangi (me-negasi-kan) mukhatab antunna yang telah disebut sebelumnya, sebab "antum" dan "antunna" sama-sama berposisi sebagai mukhatab ayat.

Ketika "antum" dan "antunna" sama-sama posisinya sebagai mukhatab, maka bisa kita pahami di sini bahwa antunna adalah bagian dari antum.

Dengan kata lain, di dalam "antum" terdapat "antunna". Sedangkan fungsi badal "ahlulbait" adalah menjelaskan (memperjelas) siapa "kum" (
antum) yang di dalamnya terdapat "antunna", sehingga istri-istri Nabi adalah bagian tidak terpisah dari "antum" ahlulbait.

2. Fungsi kedua, Hashr Takhshis

Bila kita terapkan fungsi kedua, yakni hashr takhshis untuk ayat tathhir, maka kita memaknai bahwa innama tidak sedang menafikan obyek, hanya sedang menampilkan keistimewaan pada kedua obyek dalam ayat, baik pada "obyek fi'l" maupun "obyek mukhatab".

a. Penerapan hashr takhshis pada obyek fi'il.

Sekarang mari kita lihat terlebih dahulu untuk obyek fi'l.

Penerapan hashr takhshis pada fi'l menunjukkan bahwa Allah SWT ingin menganugerahkan keistimewaan, berupa "menghilangkan rijs" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ).

Hashr takhshis tidak menafikan bahwa Allah SWT juga memberikan anugerah (berupa fi'il-fi'il) lainnya kepada ahlulbait, tapi pada ayat ini Allah SWT hendak menunjukkan bahwa kedua anugerah tersebut adalah bersifat khususiyah, (dengan pengertian) istimewa, yang diberikan pada ahlulbait, sebagai "hadiah khusus", apabila mereka telah memenuhi syarat yang disebutkan dari rentetan ayat sebelumnya, baik berupa beriman dan taat pada Allah SWT dan rasul-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan lain-lain.

b. Penerapan hashr takhshis pada obyek mukhatab antum

Demikian pula fungsi takhshis pada obyek mukhatab, yakni antum, ahlulbait. Bahwa bisa saja Allah SWT memberikan 2 anugerah di atas pada pihak lain, tapi pada ayat tersebut Allah SWT ingin menunjukkan bahwa ahlulbait adalah pihak istimewa yang akan diberikan hadiah khusus itu.

Ketika ahlulbait dimaknai sebagai badal, maka badal ini menjelaskan siapa mukhatab "antum" dan "antunna" sekaligus, karena keduanya adalah sama-sama mukhatab ayat.

Sebagaimana penjelasan pada bagian sebelumnya, bahwa "antunna" adalah bagian tak terpisah dari "antum", bahwa antunna (istri-istri Nabi Saw) merupakan bagian dari antum yang dijelaskan sebagai ahlulbait.

Maka, di sini dapat kita lihat, bahwa penerapan fungsi hashr takhsih tidak memiliki kaitan dengan penafian antunna.


KESIMPULAN

Setelah melewati penjelasan di atas, kita bisa sama-saja simpulkan bahwa:

1. Innama adalah adatul hashr yang memiliki kaidah berbeda dengan harf taukid "inna"

2. Hashr (kata pembatasan) innama bisa memiliki 2 fungsi, yakni bisa berfungsi sebagai pembatasan mutlak (dengan sifat menafikan selainnya) dan bisa juga berfungsi sebagai pembatasan takhsis tanpa sifat nafi, hanya bersifat takhsis (pengistimewaan).

3. Obyek yang mungkin dikenai oleh fungsi dari kaidah adatul hashr innama ada 2 obyek, yaitu obyek fi'il (pekerjaan) dan obyek mukhatab (yang diajak bicara)

4. Fungsi Hashr mutlaq pada obyek fi'l, terletak pada pembatasan illat secara mutlak yakni berupa illat "menghilangkan rijs" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ), sekaligus dengan menafikan illat lainnya.

Sedangkan Fungsi hashr mutlaq pada obyek mukhatab berarti pembatasan pada "antum ahlulbait", yang di dalamnya termasuk "antunna". 
Jika kata ahlulbait dimaknai sebagai badal, maka ia tidak boleh mengganti mukhatab yang telah disebut sebelumnyatetapi berfungsi sebagai penjelas. Sehingga antunna tetap sebagai bagian dari mukhatab antum. Dengan kata lain istri-istri Nabi (antunna) adalah bagian dari antum, yakni ahlulbait.

5. Fungsi Hashr takhshis pada obyek fi'l berarti menunjukkan bahwa iradatullah berupa "menghilangkan rijs" (يُذهِب) dan "menyucikan" (يُطهرَ) adalah iradatullah yang istimewa, yang dianugerahkan pada ahlulbait, tanpa menafikan anugerah-anugerah lainnya.

Demikian pula fungsi hashr takhshis pada obyek mukhatab antum berarti pengistimewaan antum sebagai ahlulbait yang di dalamnya juga termasuk mukhatab antunna. Sehingga hashr takhshis tidak bisa menafikan antunna sebagai bagian dari antum. Dengan kata lain, secara kaidah bahasa, menurut makna ayat tersebut, Istri-istri Nabi adalah bagian tak terpisah dari ahlulbait.

6. Dengan demikian, dilihat dari fungsi manapun, penggunaan adatul hashr "innama" pada ayat tathhir 33:33 tidak dapat mencegah keberadaan antunna yang menjadi bagian dari antum-ahlulbait.

Demikian, Wallahu a'lam.


Catatan kaki:
1) M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Lentera Hati, 2015, hal.8

2) Soal hewan selain bahimatul an'am ada kriteria lain terkait hukum halal-haram, seperti hewan yang hidupnya di laut (air), hewan bercakar, bertaring, mencengkeram, yang menjijikkan, hewan yang memakan makanan najis dll.

3) Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa ahlulbait akan berkumpul bersama Nabi Saw di sebuah telaga (Haudh) yang bernama Al-Kautsar sebagai salah satu anugerah mulia atas mereka. Sungai yang alirannya berasal dari telaga tersebut juga dinamai Al-Kautsar.

4) Telah kami bahas pada tulisan sebelumnya, bahwa ayat ke-33 ini tidak berdiri sendiri, tapi bagian integral dari rentetan ayat sebelum dan sesudahnya. Yaitu rentetan ayat ke-28 hingga ayat ke-34.

5) As-Syaikh Muhyiddin Al-Darwisy, I'rab Al-Qur'an Al-Karim wa Bayanuh, Penerbit Daar Ibn Katsir jilid 9, hal 10.

6) Bernama Abu al-Abbas Muhammad bin Yazid bin Abdul Akbar, dikenal dengan Imam Al-Mubarrad (W. 286H). Seorang ulama besar di bidang nahwu, balaghah, syair dan kritik bahasa di zamannya. Beliau diakui para ulama sebagai seorang ulama yang paling ahli di bidang ilmu nahwu, setelah Imam Sibawaih (W. 180H).




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini