Langsung ke konten utama

Perbedaan Husna dan Ihsan

Apa Perbedaan "Husna" dan "Ihsan"


Husna

Secara bahasa, "husna" adalah kata benda bentukan dari kata kerja intransitif ¹) "hasuna" (َحَسُن) yang berarti "berbuat baik". Pelakunya (fa-'il) adalah "hasan" (حَسَنٌ).

Oleh karena itu, secara bahasa, "husna" itu wujud pekerjaan baik, karena sifat subyeknya memang sudah baik sejak mula.
Apa yang bisa kita pahami dari rumus bahasa ini?

Orang yg baik (hasan) maka "lazimnya" perbuatannya akan baik (husna)
Sebaliknya, orang yang asalnya sudah buruk tidak bisa menghasilkan perbuatan baik.
Jika ia berbuat "tampak" baik, maka sifat baiknya itu semu.

Sehingga disyaratkan ia harus terlebih dahulu memperbaiki dirinya. Setelah sifat buruknya berubah menjadi baik, baru ia bisa menghasilkan output berupa pekerjaan baik.

Demikian kita sebagai manusia, terikat oleh hukum ini.
Tidaklah mungkin kita berharap outpun amal kita tergolong amal shalih, bila berbagai keburukan masih mewarnai diri kita.
Maka hendaknya kita senantiasa membersihkan diri dengan cara menjaga niat dan fikiran, agar senantiasa hanya berisi kebaikan.
Hanya dengan itulah, kita bisa berharap output perbuatan yang akan lahir nantinya berupa perbuatan yang bersifat baik.

Bagaimana dengan ihsan?

Ihsan

Sedangkan "ihsan" (إحْساَنٌ) adalah kata benda bentukan yang berasal dari kata kerja transitif ²) "ahsana" (اَحْسَنَ) .

"Ihsan" itu membuat sesuatu menjadi baik, yang sebelumnya belum baik. Atau membuat sesuatu yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Apa perbedaannya dengan kata sebelumnya?

Setidaknya berikut ini:

1. Harus ada obyek.

Mengingat kata "ihsan" berasal dari kata kerja transitif, maka secara bahasa harus ada obyeknya.
Bagaimana aplikasinya?

Bahwasanya, sebelum perbuatan itu lahir, si pelaku harus terlebih dahulu menetapkan obyek, yakni  menentukan bentuk perbuatan tersebut terlebih dahulu.
Sederhananya adalah "merencanakan" (planning).

Tidak mungkin lahir "ihsan" tanpa perencanaan.

2. Makna intensitas.

Sebagaimana disinggung di muka, bahwa ihsan bisa jadi bermakna mengubah perbuatan yang sebelumnya bersifat buruk menjadi bersifat baik.
Bisa pula memperbaiki dan meningkatkan perbuatan yg sebelumnya sudah bersifat baik menjadi lebih baik lagi.

Maka mestilah sebelum pekerjaan itu lahir, setidaknya si pelaku sudah memiliki 4 hal:
- Sudah memiliki sifat lebih baik.
- Sudah mengetahui kekurangan dari obyek pekerjaan.
- Sudah mengetahui target kebaikan yang hendak dituju.
- Mengetahui cara untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat obyek.

Demikian ini sebagaimana seorang dokter yang mengobati penyakit pasien. Ia harus terlebih dahulu: 
- Menguasai ilmu kesehatan, sehingga dengannya ia bisa mengenali kriteria tubuh yang sehat dan yang tidak sehat. 
- Mendiagnosa penyakit, sehingga ia bisa mengenali ciri dan akibat penyakit yang diderita
- Mengetahui obat yang tepat dan sesuai untuk penyakit tersebut.
- Melaksanakan treatment pengobatan yang tepat dengan kadar yang sesuai untuk penderita.

3. Memperbaiki perbuatan buruk orang lain.

Bisa jadi, perbuatan yang akan diperbaiki itu bukan hasil perbuatannya sendiri, tapi merupakan hasil perbuatan orang lain.
Maka, selain harus memiliki semua hal pada poin-poin sebelumnya, ia juga harus memiliki sifat:
Ikhlas dan menganggap penting orang lain sebagaimana diri sendiri.

4. Ibadah kepada Tuhan

Orang yang mengenali kebaikan akan mengenal bahwa sumber kebaikan itu bukan dari dirinya, tetapi dari Tuhan. Maka seluruh tujuan kebaikan itu akan dikembalikan kepada mencari keridhoan Tuhan.

Ihsan Menurut Hadis Jibril As.

Menarik untuk diketahui, bahwa keseluruhan jabaran tentang ihsan di atas, terakumulasi dalam sebuah hadits tentang apa itu ihsan dalam Kitab Iman, Shohih Bukhari, sebagai berikut:
" أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ "

"Engkau beribadah pada Allah seakan engkau melihat-Nya, karena engkau tak mampu, maka sesungguhnya Dia melihatmu"

Makna "Beribadah pada Allah" dalam hadits di atas adalah ibadah dalam arti luas, mencakup keseluruhan aktivitas hidup di dunia, sebab keseluruhannya adalah ibadah.

Makna "seakan engkau melihat-Nya" adalah upaya puncak dalam ibadah. Bahwa semua aktivitas dilakukan dengan seluruh daya upaya yang paling maksimal, karena mengharapkan keridhoan Allah SWT.

"Melihat-Nya" juga adalah penggambaran kerinduan makhluk kepada penciptanya

Bahkan di akhirat, puncak kebahagiaan di surga adalah "melihat-Nya" ³)

Kalimat "karena engkau tak mampu, maka sesungguhnya Dia melihatmu" menunjukkan keterbatasan makhluk di hadapan-Nya. Bahwa segala sifat baik dan kemampuan makhluk seutuhnya adalah berasal dari Tuhan. 
Namun sekaligus kalimat tersebut menunjukkan kasih sayang Tuhan pada makhluk, bahwa Dia senantiasa memandang hamba-Nya yang senantiasa mengharapkan keridhoan Allah SWT.

Kalimat tersebut juga menggambarkan "keikhlasan" ibadah : tidak mengharap pandangan makhluk, tetapi hanya semata-mata mengharapkan pandangan Allah SWT.

Kedudukan Orang-orang Yang Berbuat Ihsan

Orang yang berbuat ihsan disebut "muhsin"
Al-Qur'an menggambarkan betapa tingginya penghargaan Tuhan kepada para "muhsinin", bentuk jamak dari muhsin.

Tidak hanya memperoleh ampunan dan pemberian berbagai anugerah, bahkan sedikitnya 5 kali Al-Qur'an mengulang, menyebutkan bahwa Allah SWT mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.

Mari kita simak salah satunya:
Al-Baqarah 2:195

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
"Dan berinfaklah di jalan Allah, dan janganlah engkau menjatuhkan diri dengan tanganmu kedalam kebinasaan, Dan berbuatlah ihsan, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan".

Apabila kita mengaku mencintai Tuhan, tentu itu sangat-sangat tidak sebanding dengan bila Tuhan sendiri yang mengaku mencintai kita.

Semoga Allah SWT berkenan membimbing kita menjadi orang-orang yang berbuat ihsan, menjadi bagian dari orang-orang yang dicintai Tuhan.

Amin ya Rabbal Alamin


Catatan kaki:
¹) Kata kerja intransitif yaitu kata kerja yang tidak memerlukan obyek, seperti berlari, berenang, menguap dan lainnya.

²) Kata kerja transitif yaitu kata kerja yang memerlukan obyek seperti melarikan, menyiapkan, menguapkan dan lainnya.

³) Sebagian ulama memaknai "melihat-Nya" di surga bukan sebagai melihat dzat-Nya. Tetapi dalam makna melihat kesempurnaan keindahan, sebatas yang diperkenankan oleh-Nya




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini