Langsung ke konten utama

SYUKUR DAN KUFUR

Bismillahirrahmanirrahim.

PENDAHULUAN

Lawan dari kata "kufur" adalah "beriman".

Sebagian orang mengartikan lawan dari kata "syukur" adalah "kufur".

Ini tidak seutuhnya benar, sebab tidak selaras dg makna asalnya. Namun ada sebuah ayat dalam Al-Qur'an yang seolah menyandingkan kedua kata tersebut, seakan keduanya adalah lawan kata.

Mari kita perhatikan ayat berikut:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
[Surat Ibrahim 7]

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengumumkan: sungguh jika kalian bersyukur (atas nikmat) pasti akan selalu Kutambah, dan jika kalian ingkar, sesungguhnya siksaanKu sungguh dahsyat"

Ayat ini berbicara mengenai sikap terhadap nikmat Allah SWT, lalu menyandingkan dua kata kerja, yaitu : bersyukur (شكرتم) dan kufur/ingkar (كفرتم), sehingga seolah-olah keduanya adalah antonim, bahwa seolah lawan kata dari "syukur" adalah "kufur".

Mari kita telaah lebih dalam.

Salah Satu Sifat Kesempurnaan Al-Qur'an

Salah satu wujud kesempurnaan Al-Qur'an adalah sifat ringkasnya.
Tidak ada satupun kata, atau bahkan huruf di dalam Al-Qur'an yang tidak memiliki fungsi.

Tidak seperti karya manusia seperti puisi, syair, pantun dsb, yang sering menambah-sisipkan kata dg tujuan keindahan. Kata-kata tertentu ditambah / disisipkan, tapi dikorbankan makna dan fungsinya, demi menampakkan keindahan kalimat dan rima.

Hal semacam itu tidak terjadi pada Al-Qur'an. Al-Qur'an justru meringkas huruf, kata dan kalimat, tanpa mengulang, tetapi tidak sedikitpun mengurangi fungsi dan maknanya.
Maaf, tidak diberikan contoh, supaya tidak berkepanjangan.

Langsung pada ayat di atas, peringkasan juga terjadi.
Mari kita lihat bersama-sama, bahwa Allah SWT membuat pengumuman dengan 2 sub kalimat:
- Sungguh jika kalian bersyukur niscaya Aku tambah, dan
- Sungguh jika kalian kufur, sesungguhya Azabku amat dahsyat

Sub Kalimat Pertama

Kalimat (لإن شكرتم لأزيدنكم) artinya "jika kalian bersyukur niscaya Aku selalu akan menambah".

Dalam kalimat di atas sejatinya terdapat kalimat yg diringkas, yaitu "beriman bahwa setiap nikmat itu adalah berasal dan milik Allah SWT"

Kalimat itulah yang menuntut syukur, sebab salah satu wujud dari "beriman" adalah "bersyukur".

Sungguh indah, dalam bahasa Indonesia, arti syukur adalah "terima-kasih", yang mewakili jabaran dari wujud syukur, yaitu "terima" dan "kasih".

Bahwa:
- Menerima nikmat, bahwasanya nikmat itu dari dan milik Tuhan sehingga semestinya digunakan sesuai maksud pemberian.

- Kasih (memberi), atau berbagi kasih. Yakni berbagi kasih sayang atas nikmat tersebut kepada makhluk Allah SWT yang lain.

Dalam kalimat di atas hanya disebutkan bahwa siapa saja yg berterimakasih, maka akan selalu ditambah.

Apa yang ditambah?
Ayat di atas tidak menyebutkan obyek dari "apa yang disyukuri" dan "apa yang ditambah".

Di sini, Al-Qur'an juga meringkas obyek, yakni "nikmat".

Manfaat dari peringkasan obyek (nikmat) adalah, bahwa bisa saja Allah menambah nikmat dalam bentuk nikmat lain yang tidak sama.

Seandainya nikmat yang mana ia berterima kasih tersebut adalah harta, maka bisa saja Allah SWT menambah dg nikmat buah-buahan, kesehatan, panjang umur, persaudaraan dan lain sebagainya.

Sub Kalimat Kedua

Lalu kalimat kedua (لئن كفرتم إن عذابي لشديد), berarti "sungguh jika kalian kufur / ingkar, maka sesungguhnya siksaanKu amat dahsyat.

Kata kufur, berasal dari kata yang berarti "menutup".

Apa yg ditutupi, sehingga Allah SWT mengancam dg siksa yang dahsyat?

Yang (diwanti-wanti, supaya tidak) ditutupi adalah kalimat yang diringkas tersebut, yakni kurang-lebih:

"beriman bahwa setiap nikmat itu adalah berasal dan milik Allah SWT"

Bisa saja sebagaimana kalimat pertama, seorang mendapat nikmat berupa harta, lalu ia bersyukur dengan diwujudkan dengan cara berbagi kepada sesama. Bisa jadi, atas pembagian itu, maka Allah SWT tambah hartanya, usianya dan lain sebagainya. Ini bisa terjadi, meskipun orang tersebut tidak beriman pada Allah. Ia hanya menunjukkan wujud syukur.

Tapi jika orang tersebut mengingkari bahwa nikmat itu berasal dan milik Allah, maka meskipun dia bersyukur, ia tidak lepas dari ancaman siksaan yang dahsyat.

Kesimpulan

Dengan demikian, ancaman ini berlaku pada 2 kelompok sekaligus:
1. Kelompok yang memperoleh nikmat dari Tuhan, tapi ia tidak bersyukur. Yakni ia tidak wujudkan dalam bentuk yang semestinya, meskipun ia beriman.
2. Orang yang memperoleh nikmat dari Tuhan, namun ia tidak akui bahwa itu berasal dan milik Tuhan. Ia tetap mendapat ancaman siksa Tuhan, meskipun ia bersyukur.

Dan, tidak disebutkannya dalam ayat mengenai kapan ancaman itu, menunjukkan bahwa bisa jadi siksaan tersebut juga disegerakan di dunia, tidak hanya di akhirat kelak.

Demikian, semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam 🙏



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Follower

Cari Blog Ini