Langsung ke konten utama

Apa Perbedaan "Farhan" Senang (فرح), "Surur" Gembira (سرور) dan "Sa'adah" Bahagia (سعادة)

Pendahuluan

Dalam bahasa Indonesia kita mengenal beberapa kata yang mewakili makna "suka cita", antara lain: senang, gembira dan bahagia. Namun, dalam KBBI, ketiganya sangat serupa.

Dalam Al-Qur'an, setidaknya terdapat 3 kata yang mewakili makna suka cita, yaitu:
1. Farhan, dari kata "fariha"(فرح)
2. Surur (سرور)
3.  Sa'adah (سعادة)

Kita akan belajar bersama mengenali makna dan perbedaan ketiganya, dengan tujuan untuk lebih mengenal dan memahami diri kita sendiri: manusia.

Mengingat ketiganya merupakan kondisi yang dirasakan oleh hati (kalbu), maka tidak mungkin kita melangkah lebih jauh, tanpa terlebih dahulu menguak tirai pertama: kalbu.

Apa itu Kalbu

Kalbu (قلب), mencakup 2 makna, yaitu makna dhohir dan makna batin.

1. Makna Dhohir (lahiriah)

Secara dhohir, kalbu (dalam bahasa Inggris disebut "heart") merujuk pada sebuah rongga organ berotot, yang bertugas memompa darah pada tubuh manusia yang kira-kira terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri, yakni jantung. 

Jantung memiliki setidaknya 2 fungsi sebagai berikut:
a. Sebagai pusat pompa seluruh darah manusia yang berada dalam saluran darah. Darah membawa nutrisi dan oksigen untuk dibagikan kepada seluruh organ tubuh. Saat kembali, darah membawa "sampah" dan karbon dioksida menuju berbagai organ yang bertugas melakukan proses ekskresi, untuk selanjutnya dibuang keluar dari tubuh. Jantunglah yang bertugas mulia untuk mendorong pergerakan darah dalam sistem saluran tersebut.

b. Tanda vital kehidupan. Detak jantung adalah salah satu ukuran kesehatan manusia. Bahkan dahulu pernah menjadi ukuran masih hidup-tidaknya seseorang.

Mengapa makna dhohir ini perlu dikemukakan, sebab sesuai dengan kesamaan istilah, meskipun memiliki 2 makna yang berbeda, kedua makna tersebut memiliki kaitan peran berkenaan dengan pembahasan ini.

2. Makna Batin.

Manusia terdiri dari 3 unsur, yaitu unsur ruh (daya hidup), unsur nafs (jiwa) dan unsur jasad (fisik).
Unsur yang ketiga dinamakan unsur jasmani karena bersifat fisik dan dua unsur yang pertama dan kedua bersama-sama disebut unsur ruhani karena bersifat non fisik.

Secara batin, kalbu (قلب) adalah unsur ruhani manusia, yaitu kolaborasi (titik temu) antara unsur ruh dan unsur nafs manusia.

Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Kimia Assa'adah" meyebut kalbu adalah esensi subyek manusia.

Dalam kehidupan di dunia, unsur ruhani ini mempergunakan badan fisik untuk keperluan hidup di dunia. Untuk berpikir ia mengunakan otak, melihat menggunakan mata, berjalan menggunakan kaki, dan seterusnya.

Di akhirat nanti, unsur ruhani akan menempati wujud jasmani yang berbeda, yang sesuai untuk kehidupan tersebut nantinya.

Sebagai esensi subyek manusia, kalbu (ruhani) adalah pelaku aktif setiap orang. Kalbu inilah sesungguhnya yang bertanggung jawab atas setiap perbuatan, juga yang akan merasakan akibat baik maupun akibat buruk dari aktivitas hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Termasuk di dalamnya, kalbu inilah subyek yang merasakan suka cita, baik berupa senang (فرح), gembira (سرور) maupun bahagia (سعادة).
Lalu apa itu perbedaan ketiganya?

Perbedaan Karakteristik

1. Senang (فرح) 

Senang (فرح) adalah suka cita karena berhasil mendapatkan sesuatu yang diingini, baik sesuatu itu bersifat baik maupun bersifat buruk.
Contoh sesuatu yang bersifat baik misalnya berhasil lulus sekolah, mendapat rezeki yang halal, mendapat jodoh / menantu yang baik, tercapai cita-cita yang baik, menang dalam pertandingan yang tidak menyalahi hukum, dan lain sebagainya.

Contoh yang bersifat buruk seperti memenangkan judi, berhasil bermewah-mewah, pesta yang berlebih-lebihan, dan lain sebagainya.

Kesemuanya lebih fokus pada hawa nafsu dan cenderung bersifat jangka pendek.

Pada umumnya orang yang sedang merasakan suka cita ini akan tampak nyata wujudnya secara fisik, seperti tersenyum hingga tertawa, melompat, bersalaman, berteriak, detak jantung lebih aktif dsb.

2. Gembira (سرور)

Surur terambil dari akar kata (س رر) yang memiliki makna dasar "tersembunyi" dan "nyaman". Kata "sarir" yang berarti "dipan tempat untuk beristirahat" berasal dari akar kata ini. Demikian pula "sir" yang berarti "rahasia".

Surur adalah suka cita yang didapat dari buah pikiran yang positif.
Ia dirasakan oleh kalbu berupa rasa nyaman dan ketenteraman. Surur biasanya bersifat lebih dalam dan jangka panjang.

Contohnya seperti ketenteraman karena berkumpul dengan keluarga yang dicintai. Merasa nyaman berada di tempat yang disukai. Rasa damai karena keadaan yang aman tanpa ancaman, dan lain sebagainya.

Orang yang merasakan suka cita ini tidak tampak secara jelas dalam bentuk perubahan raut muka, atau gejala fisik lainnya sebagaimana suka cita "farhan".
Namun, ia akan tampak pada buah pikirnya, seperti sorot mata, tutur kata, sikap tubuh yang tenang, tidak gelisah, dan seterusnya.

3. Bahagia (سعادة)

Suka cita ini dirasakan oleh kalbu yang berasal dari buah keimanan yang mantap.

Biasanya bersifat spiritual dan ukhrawi (akhirat). Oleh karenanya bersifat jauh lebih dalam dan jauh lebih jangka panjang.

Dalam Al-Qur'an, sa'adah digambarkan dalam ayat berikut:
Hud 11:105
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِۦۚ فَمِنْهُمْ شَقِىٌّ وَسَعِيدٌ
"Ketika hari itu (hari akhirat) datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia".

Hari itu adalah hari ketika semua makhluk mukallaf berada di padang mahsyar, menanti pengadilan akhirat.
Digambarkan dalam ayat tersebut "orang yang berbahagia" dengan penggunaan kata "sa'id" (سَعِيدٌ) yang merupakan kata benda pelaku yang berasal dari wazan fa-il dari kata "sa'adah" (سعادة). Pada saat itu, meskipun keputusan akhir tentang nasib final (apakah masuk ke dalam surga / neraka) belum ditetapkan, orang yang berbahagia (sa'adah) sudah merasakan bahagia itu, karena keimanannya yang mantap. Di mana keadaan saat itu, sesuai dengan yang ia ketahui, yakini dan imani semasa hidup di dunia, tatkala ia tetap mempertahankan kesalihan selama hidupnya. Pada hari itu, ia juga memperoleh tanda-tanda kebaikan dan kenikmatan yang dapat dirasakan saat itu, sebagai buah dari kesalihan semasa hidup. 

Orang yang merasakan suka cita ini terkadang tidak terlihat sama sekali secara wujud fisik, tapi tampak lebih nyata dalam wujud sikap hidup, pemikiran dan perbuatannya.

Setiap kita sebagai manusia mengalami hidup dan kehidupan dengan kalbu demikian. Maka menjadi penting bagi kita memahami diri kita dengan baik, termasuk di dalamnya pemahaman yang baik terhadap karakteristik kalbu.

Ketiga rasa suka cita tersebut ada kalanya dapat dirasakan bersama-sama, bisa juga tidak.

Orientasi Hidup

Orientasi hidup seseorang akan menentukan sifat suka cita yang hendak dicapai.
Orang yang dalam orientasi hidupnya lebih cenderung pada hawa nafsu, maka ia akan selalu memilih kesenangan inderawi (farhan)
Sebaliknya, seandainya harus memilih, maka orang yang memiliki ketajaman akal dan pemikiran tentu akan lebih mendahulukan kebahagiaan batin (surur).
Demikian pula seorang yang lebih mementingkan kehidupan akhirat, maka ia akan cenderung berupaya mencapai kebahagiaan ukhrawi (sa'adah).

Kami berikan contohnya.
Dalam sebuah permainan bola basket, masing-masing tim akan berupaya untuk menjadi pemenang. Ada kalanya tercipta peluang emas berbuat curang, yang akan mengantarkan mereka menjadi juara. Sebagian orang segera memanfaatkan peluang tersebut, memenangkan pertandingan dan merasakan kesenangan menjadi juara. Mereka tidak peduli dengan berbagai trik, dan cara-cara yang salah, asalkan menjadi juara.

Tetapi berbeda dengan sebagian yang lain, yaitu para juara sejati, orang-orang yang berfikiran lurus dan semangat yang bersih. Bagi mereka, bertanding dengan fair tanpa kecuranagan adalah kegembiraan yang tak tergantikan. Bahkan tidak oleh kemenangan yang disertai oleh hanya "secuil" kecurangan.

Sebenarnya, hal demikian tidak hanya terjadi di dalam arena permainan. Tetapi terus terjadi dalam arena kehidupan yang nyata. Di rumah, di sekolah, perkantoran, pasar, politik, hingga di pentas internasional.

Pada akhirnya, setiap saat, setiap kita, sejatinya selalu berada dalam kancah permainan: bertanding dengan dirinya sendiri.
Membuat pilihan untuk dirinya, apakah untuk mencapai suka cita inderawi, kesenangan batin atau lebih dari itu : kehidupan akhirat yang abadi

Semoga bermanfaat, wallahu a'lam.





Komentar

  1. Massa Alloh tabarokalloh semoga menjadi ladang amal yang bermanfaat untuk umat Islam umumnya dan berlipat lipat kebaikan untuk penulisnya amiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin ya Robbalalamin, doa yang baik juga buat Anda :)

      Hapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini