RAHASIA LAFADZ ALLAH : Hufuf Lahir dan Bathin Yang Kekal
Bismillahirrahmanirrahim,
Sebagian orang menduga, bahwa lafadz "Allah" (الله) dalam bahasa arab tersusun dari 4 buah huruf, yakni alif (ا), lam (ل), lam (ل) dan ha (ه). Apakah hanya itu saja?
Tidak.
Selain 4 huruf penyusun di atas, masih terdapat huruf lainnya.
Ke-4 huruf di atas adalah huruf-huruf yang bersifat lahiriyah (dhahiriyyah), yakni huruf yang tampak, yang dapat dicapai oleh indera kita, manusia. Sedangkan di dalam "Lafdzul Jalalah" (lafadz yang sempurna) tersebut terdapat huruf batin (bathiniyah).
Huruf batin yang turut menyusn Lafdzul Jalalah karena bersifat "bathin" maka ia bersifat tidak tampak dan tidak terjangkau. Namun ia ada dan memberi pengaruh pada pengucapan lafadz-Nya.
Huruf tersebut memiliki tanda (alamah) yang ditampakkan, berupa tanda "tasydid" (تشديد) atau "syaddah" (شدة) yang berada di tengah-tengah dan di atas lafaz, yakni berada di atas huruf lam (ل) yang kedua.
Meskipun "tanda keberadaan" huruf tersebut berupa tasydid yang biasa dikenal dalam penulisan huruf hijaiyyah, namun ia "khas", bersifat khusus dan tidak ditemui sifat tersebut pada pelafalan huruf-huruf lainnya. Mari kita lihat.
Tanda Tasydid
Pada penulisan huruf hijaiyah, tanda tasydid menandakan "konsonan ganda" dan dibaca "tebal", di mana huruf yang diberikan tanda "harakah" tasydid menandakan huruf itu ganda / dobel.
Seperti kata "marra" (مرّ) dan "jalla" (جلّ), sebenarnya masing-masing adalah "ma-ra-ra" (مرر) dan "ja la la" (جلل). Sehingga ketika mengalami tashrif (perubahan kata), maka huruf ganda tersebut kembali ditulis ganda, seperti dari "marra" menjadi "murur" (مرور) dan dari "jalla" menjadi "jalal" (جلال).
Selain itu, dalam pelafalan, maka huruf yang diberikan tanda "tasydid" dibaca tebal.
Keistimewaan Lafdzul Jalalah Pertama
Kaidah tasydid seperti di atas tidak berlaku pada Lafdzul Jalalah "Allah" (الله). Pada lafdzul jalalah, huruf "lam" (ل) sudah ditulis dua kali (2x) dan pengucapan "lam tasydid" (لّ) tidak dibaca tebal, namun justru berubah, dibaca secara khusus.
Seandainya tasydid tersebut berfungsi umum sebagaimana biasanya, maka akan dibaca "double L", seperti mengucap "alla". Namun ini tidak terjadi pada lafdzul jalalah. Lafdzul Jalalah dibaca "Allah" (الله) secara khas dan tidak ada huruf maupun lafaz lain dalam hijaiyyah yang dibaca demikian (dengan ujung lidah ditekuk), meskipun diberikan tanda baca (harakah) apapun.
Keistimewaan Lafdzul Jalalah Kedua
Allah Swt memiliki banyak nama yang indah (al-asmaul husna). Dari seluruh asmaul husna lafdzul jalalah adalah nama yang khusus bagiNya.
Sebagaimana Allah Swt memiliki sifat kekal (baqa'), demikian pula dengan lafdzul jalalah juga memiliki sifat kekekalan. Bagaimana penjelasannya, mari kita lihat.
Lafaz utuh (الله) dibaca "Allah" dengan pengucapan khusus sebagaimana di atas. Apabila diucapkan, maka menunjukkan : Dia, Tuhan, Allah Swt.
Apabila huruf "alif" (ا) dihapus, maka akan terbaca "lillah" (لله), yang berarti : "bagi Allah Swt", atau "untuk Allah Swt", bahwasanya seluruh alam ini adalah milik-Nya
Apabila huruf "lam" pertama dihapus, maka akan terbaca "lahu" (له), yang berarti "bagi -Nya", atau untuk-Nya. Maknanya tidak hilang, tidak pula berubah. Nama Allah Swt tetap eksis.
Apabila huruf "lam" kedua dihapus, maka akan terbaca "hu", yang berarti "Dia", yakni Allah Swt yang tetap eksis.
Apabila huruf "ha'" dihapus, maka apakah lafaz yang menunjukkan keberadaan Allah Swt menjadi hilang? Tidak!
Masih ada "huruf batin", yang karena sifatnya, maka tidak terjangkau dan tidak lagi dapat dihapus oleh tangan apapun dan tangan siapapun. Lalu di mana tanda (alamat) lafaz-Nya?
Ia terucap di dalam nafas yang berbunyi "ah". Saat mulut "dibungkam" untuk berzikir, maka, tanpa aksara, desah-nafas melafazkan Al-Lafdzul Jalalah dalam setiap tarikan dan hembusan.
Apabila nafas dipaksa juga untuk berhenti, maka lafaz Allah masih tetap ada di dalam denyut jantung kita, yang berdetak sistolik-diastolik "tuk-tuk.. tuk-tuk.. tuk-tuk.." : " Allah"... "Lillah".. "Lahu"...
Apabila jantung dipaksa juga untuk berhenti, maka lafaz Allah tetap ada di dalam ritme denyut otak, yang tidak lagi bersuara, tapi denyut litstriknya terbaca dalam grafik EEG.
Dan lagi, jika otak dipaksa pula untuk berhenti berdenyut, maka "nafs" beserta "ruh" keluar terbebas dari tubuh fisik manusia. Pada saat itu, justru ruhani manusia akan menyaksikan bahwa Lafdzul Jalalah tak terbatas jumlahnya, ia berada pada seluruh penjuru alam, pada setiap wujud, gerak dan denyut makhluk-Nya.
Sebagaimana dalam surah Qaf 22:
(فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ...)
...Maka (saat kematian) kami singkapkan tabir yang (selama ini) menutupi matamu, sehingga penglihatanmu pada hari itu menjadi sangat tajam.
Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar
Silakan mengisi komentar