Langsung ke konten utama

Pergantian Bulan, Pengertian dan Perbedaan Rukyah dan Hisab

Pendahuluan

Dalam Islam, waktu mendapatkan tempat yang sangat penting, bahkan krusial. Pada banyak tempat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT bersumpah menggunakan nama-nama waktu, seperti waktu ashar, dhuha, malam, fajar dan lain sebagainya.

Dalam kalender Islam, batas hari adalah terbenamnya matahari. Seketika matahari terbenam sempurna di bawah garis cakrawala, maka berakhirlah hari itu dan berganti hari baru, tanggal baru.

Lalu, apa batas bulan dalam kalender Islam?

Secara garis besar, kalenderisasi di dunia ini, terbagi menjadi 2, yakni Syamsiah (berdasarkan peredaran matahari) dan Qomariyah (berdasarkan peredaran bulan). Ada juga yang menggabungkan keduanya.

Dalam Islam, sesuai wahyu, penentuan perhitungan bulan dalam 1 tahun menggunakan sistem Qomariyah, atau disebut juga lunar system.

Namun ada 1 hal yang membedakan antara lunar sistem dari berbagai sistem yang ada di dunia dengan lunar sistem versi Islam.

Apa itu?

Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu karakteristik sistem bulan.

Karakteristik Sistem Bulan

Bulan adalah satelit bumi yang istimewa. Terkait dengan tujuan tulisan ini, kita hanya akan menyebutkan 3 saja dari  keistimewaannya, sebagai berikut:

1. Wajah bulan yang menghadap ke bumi terkunci. Wajah yang tampak dari bumi ini tidak pernah berubah ketika bulan mengitari bumi.
Ini salah satu keistimewaan bulan, bahwa dengan demikian revolusi bulan mengitari bumi memakan waktu yang sama persis dengan lama rotasi bulan berputar pada porosnya. Persis, tidak lebih tidak kurang, yakni 1 periode bulan.

2. Jarak bulan dari bumi adalah sekitar 30x panjang diameter bumi atau lebih dari 380.000 KM. Jarak ini adalah salah satu keistimewaan bulan yang menyebabkan jika dilihat dari bumi, ukuran bulan menjadi tampak sama besar dengan ukuran matahari, meskipun diameter matahari 109 x dari diameter bumi sedangkan diameter bulan hanya seperempat dari diameter bumi.

Efek dari keistimewaan ini adalah, ketika bulan tepat segaris dengan matahari, maka ukurannya dapat menutupi keseluruhan matahari, sehingga memungkinkan terjadinya gerhana bulan total dan gerhana matahari total.

3. Sebagaimana gerak relatif Matahari jika diamati dari bumi, bergerak mengitari bumi dari timur menuju barat, maka demikian pula bulan.
Bulan terbit di ufuk timur lalu terbenam di ufuk barat. Namun, peredaran relatif matahari lebih cepat dibanding bulan. Bila diasumsikan lintasan bulan berada pada siklus tegak lurus melwati titik puncak langit, maka setiap hari, kurang lebih matahari akan meninggalkan bulan dengan selisih sekitar 12 derajat. 12 derajat dikali 30 hari sama dengan 360 derajat atau 1 x peredaran. Sedang 1 masa lunasi sekitar 29,5 hari.

Ini berakibat bahwa setiap 1  bulan sekali (sekitar 29,5 hari), matahari akan kembali menyusul / menyalip bulan. Saat matahari menyusul bulan, ia akan sampai pada satu titik di mana ia segaris dengan bulan dan bumi.
Peristiwa ketika posisi matahari segaris dengan bulan dan bumi dinamakan konjungsi atau ijtima. Saat ijtima ini, ada kalanya terjadi gerhana matahari sebagian atau bahkan gerhana matahari total.

Sekarang, mari kita kembali lagi pada pembahasan kita.

Sebagian besar metode penanggalan sistem lunar dihitung dengan peristiwa konjungsi. Artinya setiap terjadi konjungsi, maka dianggap telah memenuhi 1 periode bulan.

Namun, konjungsi bisa terjadi pada pagi hari, siang, sore atau malam, dengan waktu yang sangat bervariasi, sehingga bisa saja terjadi konjungsi sebelum berakhirnya hari terakhir, bulan tersebut.

Itu sebabnya, dalam kalender Islam, selain peristiwa konjungsi, terdapat 1 keharusan lagi untuk menentukan masuknya bulan baru, yakni memastikan berakhirnya hitungan hari terakhir bulan tersebut.

Sebagaimana disebut di muka, bahwa berakhirnya hari adalah ketika terbenamnya matahari. Maka berakhirnya periode bulan, atau telah masuknya bulan baru adalah: saat matahari terbenam dan hilal terlihat di atas ufuk.
Mengapa demikian ?

Sebab dengan demikian otomatis telah sempurna terjadi 3 hal sekaligus:
1. Matahari telah sempurna melewati bulan (telah melewati titik konjungsi).
2. Hitungan hari telah berakhir (matahari terbenam).
3. Bulan baru telah sempurna masuk (hilal wujud di atas ufuk).

Lalu, apa itu hilal?

Hilal

Al-Qur'an menyebut hilal sebagai penanda waktu

Al-Baqarah 2:189
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّۗ ...
"Mereka bertanya kepadamu (wahai Nabi Saw) tentang hilal, katakanlah hilal itu adalah penentu berbagai waktu untuk manusia dan untuk (penentuan tanggal) haji...."

16294حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذِهِ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ".

Nabi Saw bersabda "sesungguhnya Allah SWT menjadikan "ahillah"
(bentuk jamak dari hilal), sebagai penentu waktu untuk manusia. Berpuasalah kalian atas dasar melihatnya, dan berbukalah (idul fitri) atas dasar melihatnya. Apabila buram bagimu (tidak jelas) maka sempurnakanlah hitungannya (digenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari).

Demikian pula hadits beliau dalam shohih Bukhari:
1909 حَدَّثَنَا آدَمُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ قَالَ : قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ ".

"Berkata Nabi Saw, berpuasalah kalian atas dasar melihatnya (hilal) dan berbukalah atas dasar melihatnya. Apabila tidak jelas bagimu, maka sempurnakanlah hitungan bulan sya'ban menjadi 30 hari".

Di Indonesia terdapat 2 perbedaan dalam menerjemahkan apa itu hilal.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hilal "serupa" dengan bulan. Sehingga, saat matahari terbenam pada setiap akhir bulan dan posisi bulan di atas ufuk, maka ditetapkanlah bahwa pada maghrib itu hilal sudah wujud (sudah masuk awal bulan baru).

Pendapat ini tidak memedulikan berapa ketinggian bulan dari garis ufuk. Asal posisi bulan bernilai positif, maka sudah cukup, meskipun hanya 0,1 derajat di atas ufuk.

Di Indonesia, salah satu yang berpendapat demikian adalah Muhammadiyah. "Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di seluruh Indonesia), seberapapun tingginya meski hanya 0,1 derajat, maka esoknya adalah hari pertama bulan baru." ¹)

Muhammadiyah adalah pelopor dalam hisab kalender.
Dalam buku "Pedoman Hisab Muhammadiyah", disebutkan beberapa macam hisab dan menurut buku itu yang paling dapat diandalkan adalah 2 metode, yakni Hisab Hakiki Imkan Rukyat dan Hisab Hakiki Wujudul Hilal.

Menurut buku tersebut, "Hanya saja dalam hisab Imkan Rukyat yang menuntut keberadaan bulan harus pada posisi yang bisa dirukyat menimbulkan kesukaran untuk menentukan apa parameternya untuk dapat dirukyat, sehingga terdapat banyak sekali pendapat mengenai ini. Untuk itu hisab hakiki Wujudul Hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab Imkan Rukyat. ²)

Akibatnya, oleh pendapat ini bulan menjadi disamakan dengan hilal. Wujudnya bulan di atas ufuk saat matahari terbenam dianggap sama dengan wujud hilal.

Pendapat kedua mengatakan bahwa hilal tidak sama dengan bulan. Tetapi, hilal adalah cahaya pantulan matahari yang mengenai wajah bulan dan tampak dari bumi. Secara bahasa, hilal juga dapat diartikan sabit.
Dengan demikian, menurut pendapat ini, peredaran bulan adalah serupa dengan siklus sabit yang tampak pada wajah bulan. Di mana, "sabit pertama" di barat setelah matahari terbenam adalah permulaan bulan atau tanggal 1. Hari di mana wajah bulan tampak penuh (purnama) adalah pertengahan bulan (tanggal 14 atau 15) dan sehari sebelum sabit pertama adalah hari terakhir bulan sebelumnya. Pada saat hari terakhir, maka wajah bulan tampak total gelap, tanpa cahaya, tanpa sabit.




Namun, melihat langsung (dengan mata telanjang) sabit pertama saat matahari terbenam memang  memiliki banyak kesulitan, di antaranya:
1. Saat matahari baru terbenam di ufuk, sisa hamburan cahaya matahari masih melimpah di sekitar garis cakrawala. Hamburan cahaya ini sering menimbulkan cahaya semu, yang tampak pada wajah bulan, oleh para pengamat di mumi. Cahaya semu yang tampak pada wajah bulan ini sering kali mirip dengan dengan sabit.
2. Waktu yang tersedia untuk pengamatan amat pendek. Gerak bulan juga menuju terbenam. Setelah matahari terbenam, maka bulan juga menyusul terbenam di ufuk barat. Oleh karena itu, waktu yang tersedia untuk melakukan pengamatan menjadi amat pendek. 
3. Faktor efek optik di sekitar cakrawala. Lengkung bumi dengan atmosfir yang padat dengan berbagai zat udara dan kelembaban kerap kali menimbulkan efek optik. Efek optik ini terkadang cenderung kuat pada saat-saat tertentu dan dipengaruhi oleh banyak kondisi. Efek optik termasuk di dalamnya efek pantul, efek cekung-cembung dan efek pembiasan.
4. Faktor cuaca. Terutama di indonesia yang beriklim tropis, faktor cuaca ini sering kali menyulitkan pengamatan. Tidak hanya mendung yang tebal, mendung yang tipis saja akan menyulitkan pengamat.
5. Faktor alat bantu. Hasil pengamatan bisa jadi bervariasi antara alat bantu satu dengan lainnya, apalagi dibanding pengamatan tanpa alat bantu.
Dan faktor-faktor lainnya.

Imkan Rukyah

Karena berbagai kesulitan tersebut, maka para ahli falak mengajukan solusi berupa imkan rukyah, yakni, titik di mana bulan sabit memungkinkan untuk terlihat oleh pengamat di bumi.
Meskipun titik ini bersifat teoretis, namun dapat diuji dan dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara syar'i.

Secara syariat, sesuai hadis Nabi Saw di atas, bahwa melihat hilal (sabit pertama) menjadi patokan masuknya tanggal pertama bulan baru. Mengingat keharusan adanya sabit pertama sebagai tanggal baru, maka cara menghilangkan berbagai kesulitan teknis adalah dengan imkan rukyat, di mana pada titik uji ini dimungkinkan sabit pertama (hilal) terlihat, meskipun terdapat penghalang dan kesulitan teknis, seperti mendung dan lainnya.

Secara ilmiah, para ahli astonomi membuat perhitungan dan simulasi  bulan pada ketinggian tertentu dari garis ufuk, di mana titik tersebut menjadi tinggi minimal yang memungkinkan sabit pertama (hilal) bisa terlihat.

Saat ini, pemerintah Indonesia mengikuti kesimpulan dari pertemuan para ahli falak negara-negara asia tenggara (Neo Mabims) yang menentukan bahwa kriiteria imkan rukyah adalah 3 derajat dengan sudut elongasi 6.4 derajat.

Secara ilmu matematis dan optik, apabila ketinggian bulan di atas garis ufuk, saat matahari terbenam kurang dari 3 derajat, maka:
1. Antara titik pengamat di bumi, bulan dan matahari nyaris berupa satu garis lurus, sehingga sisi bulan yang diterangi sinar matahari seluruhnya adalah bagian punggung bulan (bagian belakang bulan), sedangkan sisi wajah bulan yang menghadap ke pengamat di bumi, sepenuhnya gelap.
2. Sudut antara pengamat, titik bulan bagian bawah dan matahari (yang sudah terbenam di bawah ufuk) terlalu kecil, sehingga tidak memungkinkan sisi bulan yang terang (wajah bulan bagian bawah) bisa terlihat oleh pengamat.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa imkan rukyat adalah "ketinggian minimum yang memungkinkan hilal (sabit pertama) terlihat".

Sebagai gambaran, seperti apa posisi ketinggian bulan kurang dari 3 derajat, kita bisa lihat garis merah yang menunjukkan 3 derajat, dari gambar penggaris busur di bawah ini:
 

Perbedaan awal bulan di Indonesia

Saat ini, menurut kaca mata awam, penyebab perbedaan penentuan awal bulan hijriah adalah perbedaan metode antara rukyah dan hisab.
Sebenarnya, kesimpulan tersebut tidak tepat. Kedua metode itu sangat bisa diandalkan untuk memperoleh hasil yang sama-sama akurat.

Lalu, mengapa kerap kali terjadi perbedaan / selisih? 
Sebagai contoh adalah penentuan awal Ramadhan tahun 2022 M. Menurut keputusan pemerintah, awal Ramadhan jatuh pada tanggal 3 April 2022, sedangkan menurut keputusan Muhammadiyah jatuh 1 hari lebih cepat, yakni pada tanggal 2 April 2022. Apakah lantas metode hisab tidak akurat sehingga meleset?

Tidak!.
Metode hisab adalah metode penghitungan dengan melibatkan satuan pergerakan benda-benda langit dengan presisi mendekati aslinya. Allah Swt berfirman :

وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ءَايَتَيْنِ ۖ فَمَحَوْنَآ ءَايَةَ ٱلَّيْلِ وَجَعَلْنَآ ءَايَةَ ٱلنَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ فَصَّلْنَٰهُ تَفْصِيلً

"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas". Surah-al-isra-ayat-12

Ayat di atas menegaskan bahwa salah satu ketentuan Allah Swt adalah penciptaan dan pengaturan peredaran waktu secara konsisten, sehingga memungkinkan dilakukan perhitungan dengan presisi (hisab).

Hisab atau penghitungan waktu-waktu tidak hanya dilakukan untuk kalenderisasi hirjiah. Hisab juga digunakan untuk penetuan waktu sholat (jadwal imsakiyah), sehingga kita tidak perlu repot tiap hari mengamati posisi matahari untuk menentukan waktu salat.

Penggunaan hisab dalam kalenderisasi di Indonesia merupakan buah berguna dari Muhammadiyah yang bisa dikatakan sebagai pelopor hisab di Indonesia. Lalu, mengapa terjadi selisih / perbedaan penentuan awal bulan Hijriah?

Sebab Perbedaan

Sebagaimana disinggung pada bagian "hilal", hisab Muhammadiyah dilakukan dengan basis wujudul hilal, yang secara tidak langsung menerjemahkan hilal = bulan.
Konsekuensinya adalah, hisab Muhammadiyah menerapkan kriteria posisi bulan >0. Sehingga, ketika waktu maghrib (matahari terbenam) dan posisi bulan di atas cakrawala, meskupun hanya +0,1 derajat, maka ditetapkan sebagai bulan baru. mesikipun pada posisi +0,1 mustahil sabit baru terlihat pada bulan. 

Inilah yang menjadi perbedaan antara imkan rukyah dan hisab wujudul hilal.

Oleh karena itu:
1. Jika ketinggian bulan saat maghrib berada dalam kisaran +0 s/d <3 derajat, maka pasti akan terjadi perbedaan penentuan tanggal 1 bulan baru. 
2. Jika saat maghrib, ketinggian bulan berada pada rentang >=3 s.d 12 derajat, maka saat itu akan terjadi kesamaan penentuan tanggal 1 bulan baru.

Penutup

Bagi umat muslim, terutama di Indonesia, merupakan kebahagiaan tersendiri, jika seluruh kaum muslimin dapat melaksanakan ibadah, merayakan hari besar dan menjalankan kalender hijriah dalam kesamaan dan keseragaman.
Namun, harapan tersebut hanya mungkin terlaksana, jika para tokoh dan ulama dari masing-masing kelompok mampu duduk bersama dan mengalah bersama untuk merumuskan kriteria yang dapat disepakati.

Terlebih, bahwa metode penentuan dari masing-masing pihak tidak ada yang dikorbankan. Sebab, hal ini bukan tentang perbedaan metode. Yang menggunakan metode hisab, tetap dengan hisabnya. Demikian pula yang menggunakan metode rukyah, tetap dengan rukyahnya. 

Tetapi, kriterianya yang disamakan. Lebih-lebih bagi Muhammadiyah, sebagaimana disebutkan dalam buku pedoman hisab, bahwa hisab imkan rukyat, termasuk dari 2 metode yang dapat diandalkan. Hanya saja pada saat itu, terdapat kesulitan soal parameter, yang saat ini semestinya sudah dapat dieliminasi oleh kemajuan alat-alat modern dan iptek.

Diskusi beralih pada pokok, apa pengertian hilal menurut nash Al-Qur'an dan Al-Hadis. Apa pengertian ru'yah.

Dan, sudah seyogyanya para pakar di bidang astronomi untuk ikut terlibat di dalamnya, dengan ilmu pengetahuan dan alat-alat yang saat ini sudah sangat canggih untuk meniadakan berbagai "parameter, halangan dan kesulitan" dalam perhitungan dan pengamatan.

Sehingga dapat disimpulkan bersama kriteria bersama yang dapat digunakan bersama-sama.
Semoga harapan tersebut dapat terlaksana tidak lama lagi, amin.

Wallahu a'lam


Catatan kaki:

²) Pedoman Hisab Muhammadiyah, Mejelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Cetakan Kedua 1430 H / 2009 M, hal. 24.







Komentar

  1. Assalamualaikum mas,
    Artikelnya sangat mencerahkan. Tapi saya masih punya 1 kebingungan.
    Mengapa ada kalanya waktu kota mekah lebih dahulu mengalami lebaran, baik lebaran idul fitri maupun lebaran haji. Padahal dari segi posisi matahari, Indonesia lebih dulu mengalami waktu maghrib, atau lebih dulu mengalami berakhirnya hitungan hari seperti disebutkan di atas?
    Seperti Tahun 2022 ini , di mana Pemerintah Indonesia menetapkan Idul Adha pada 10 Juli, padahal di Kota Makkah menetapkan Idul Adha pada 9 Juli, atau 1 hari lebih cepat ?
    Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam wr. Wb,
      Terima kasih telah berkenan membaca artikel kami.

      Sebagaimana disebutkan di atas, pada bagian “Karakteristik Sistem Bulan”, poin nomor 3, bahwa jika diamati dari bumi, matahari dan bulan sama-sama bergerak dari timur ke barat, yakni terbit dari Timur dan terbenam di Barat.
      Tetapi, matahari lebih cepat daripada bulan. Di mana, setiap hari, lebih kurang matahari akan meninggalkan bulan dengan selisih sekitar 12 derajat. Jika setiap 1 hari (24 jam) matahari lebih cepat 12 derajat, maka itu berarti setiap 2 jam matahari akan semakin meninggalkan bulan dengan jarak sekitar 1 derajat.
      Ini harus kita pahami terlebih dahulu.

      Selisih waktu antara Indonesia dan Kota Mekah adalah sekitar 4 jam.
      Saat maghrib di Indonesia, maka Kota Mekah baru akan mengalami maghrib sekitar 4 jam kemudian.
      Pada tgl 29 Juni 2022, saat maghrib di Indonesia, posisi bulan masih di bawah kriteria MABIMS 3 derajat (sekitar 2 derajat lebih sedikit), sehingga Hilal mustahil terlihat. Artinya maghrib saat itu di Indonesia dan esok harinya tgl 30 Juni adalah masih hari terakhir Dzul Qi’dah.
      1 Dzul Hijah baru jatuh pada besok maghrib dan esoknya, tgl 1 Juli 2022. Berarti 10 Dzulhijjah jatuh pada 10 Juli 2022.

      Sedangkan saat di Indonesia pada tgl 29 Juni waktu maghrib, di kota Mekah masih siang hari. Mekah baru mengalami maghrib sekitar 4 jam kemudian. Di mana 4 jam kemudian “jarak matahari dan bulan akan semakin jauh, akan bertambah lagi sebanyak 2 derajat”.
      Jadi, pada tgl 29 Juni waktu maghrib di Kota Mekah, posisi bulan akan lebih dari 4 derajat (sekitar 2 derajah lebih + 2 derajat). Atau sudah lebih besar dari kriteria MABIMS 3 derajat. Pada posisi tersebut, hilal “pasti akan terlihat”. Sehingga maghrib saat itu di Kota Mekah dan esok harinya tgl 30 Juni adalah sudah masuk 1 Dzhul Hijah.
      Berarti 10 Dzulhijjah di Kota Mekah jatuh pada tanggal 9 Dzul Hijah.

      Demikian, semoga bisa dipahami dan bermanfaat.

      Hapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini