Langsung ke konten utama

"Sang Pembuka" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat ke-1

 

"Sang Pembuka" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat ke-1

Bismillahirahmanirrahim,

Surah Al-Fatihah memiliki banyak nama. Di antaranya terdapat 2 yang paling utama, yaitu :

1. Al-Fatihah

Al-Fatihah menggunakan wazan "faa-il", yang berarti pelaku, sehingga "Fatih" berarti "Sang Pembuka"

Huruf "ta' marbuthah" (ة) di akhir kata menjadikannya kata berjenis feminin. Sifat feminin ini memberikan kesan makna "ibu" (induk) : "Ummu Al-Qur'an" atau "Ummu Al-Kitab" yang mengandung di dalamnya makna utuh, sempurna, lengkap dan besar, yang "mengandung dan melahirkan" surah-surah Al-Qur'an.

Al-Fatihah tidak bermakna "alat". Sebagai perbandingan, alat untuk membuka disebut "miftah", di mana "anak kunci" disebut demikian. Lalu, manakah yang lebih utama, sang pembuka (pelaku) dibanding alatnya?. Tentu saja pelakunya. Sebagaimana juru kunci jelas lebih penting dan lebih utama dibanding anak kunci yang ia pakai. Seorang juru kunci yang menguasai rahasia perbendaharaan, lebih diperlukan untuk mengetahui dan menjelaskannya. Seorang pembuka bahkan bisa mengganti anak kunci yang ia pakai dengan alat-alat yang lain.

"Al-Fatih" juga berarti pemenang, maka siapa saja seorang hamba yang mempelajari, memahami dan  mengamalkan ayat-ayat-Nya dalam kehidupan, maka ia akan menjadi pemenang dari setiap "pertempuran dalam kehidupannya".

2. "Sab'u al-matsani" (7 ayat yang diulang)

Dinamakan demikian, sebab Al-Fatihah terdiri dari rangkaian 7 ayat yang utuh, yang  mana, ia adalah surah dari Alquran yang paling banyak diulang pembacaannya. Membaca Al-Fatihah hukumnya wajib dalam salat, sebab menurut jumhur ulama fikih, kedudukan Al-Fatihah adalah rukun bagi setiap rakaat salat. Baik salat fardu maupun sunah, bahkan termasuk salat-salat khusus, seperti di dalam salat jenazah dan istisqa'.

Al-Fatihah juga disunahkan untuk dibaca dalam berbagai perbuatan baik, seperti berdoa, belajar, berzikir, tadarus, berobat dan lain sebagainya.

Perlu disampaikan juga, bahwa penamaan "induk kitab" juga dikarenakan ayat-ayat dalam Al-Fatihah adalah "inti sari" dari Alquran. Ia mencakup tema-tema pokok yang dikandung oleh Alquran. Para ulama mengatakan, seandainya Alquran dapat diperas, maka sari patinya adalah Al-Fatihah.

Mari kita mulai membahas lebih dalam, ayat demi ayatnya, semoga Allah Swt berkenan untuk membuka bagi kita berbagai buah dan kemanfaatan untuk bekal kehidupan, baik di dunia maupun akhirat, amin.


Ayat pertama surah ini berbunyi :

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"

Ayat ini disebut Basmalah. Apabila Al-Fatihah adalah sari pati dari 30 juz Alquran, maka Basmalah adalah sari pati dari Al-Fatihah. Ia terdiri dari 19 huruf yang merangkai di dalamnya sebuah permata istimewa : Lafaz Jalalah (اللّٰه). Lebih jauh mengenai keistimewaan Lafaz Jalalah, dapat dibaca di sini.

Demikian pula, sebagaimana Al-Fatihah adalah surah yang paling banyak dibaca, maka Basmalah adalah satu ayat dari Alquran yang paling banyak dibaca dan diulang. Basmalah ditulis sebagai permulaan semua surah dalam Alquran kecuali satu surah saja, yakni At-Taubah. Namun di dalam surah An-Naml terdapat Basmalah di luar permulaan surah, yakni di dalam ayat ke-30. Sehingga jumlah Basmalah dalam Alquran tetap berjumlah 114, sebanyak jumlah surahnya.

Tidak hanya di dalam Alquran, Basmalah disunahkan untuk dibaca pada permulaan semua ativitas kehidupan, sejak terbuka mata hingga terpejamnya.


Lafaz "Allah" Tidak Berada Di Awal Ayat?

Inti ajaran Islam adalah tauhid, sebab, yang paling utama dan pertama dari ajaran agama adalah mengenal Tuhan. Namun ada yang amat aneh, ketika Alquran dimulai dengan sebuah ayat, di mana lafaz Allah justru tidak ditempatkan di bagian paling awalnya!.

Basmalah memang esensinya adalah mengenal Allah Swt, sebab jika Basmalah dapat diperas, maka sari pati yang tersisa adalah lafaz Allah. Tetapi tetap aneh, ketika nama-Nya tidak diletakkan di bagian awal, padahal bisa saja lafaz istimewa ini diletakkan di bagian awal ayat, sebagai penanda bahwa Allah adalah yang awal. Beberapa ayat diawali dengan lafaz Allah, seperti pada surah An-Nur 35 :

اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ...

"Allah adalah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi..."

Sedangkan dalam Basmalah, lafaz Allah justru didahului oleh 2 kata, yaitu "bi" dan "ismi" (بِسْمِ). Ada rahasia apa di balik ini? Mari kita lihat.


Terdapat 2 hikmah besar, yang terkait ilmu tauhid di dalamnya, yakni :

1. Allah Swt adalah "Maha Subyek"

Apabila kita hendak mengenal sesuatu, -sebut saja sebuah jam tangan- maka kita tempatkan ia sebagai obyek. Kita teliti obyek tersebut, sehingga terjawab setidaknya 5 pertanyaan penting: apa, di mana, kapan, bagaimana, mengapa. Tetapi untuk mengenal Allah Swt, hal demikian mustahil dilakukan.

Dalam sebuah riwayat oleh Abu Nua'im disebutkan:

تَفَكَّرُوا فِي الْخَلْقِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي الْخَالِقِ فَإِنَّكُمْ لَا تَقْدُرُونَ قَدْرَهَ

"Berpikirlah tentang ciptaan Tuhan dan jangan berpikir tentang Pencipta, karena kamu tidak akan mampu memikirkan-Nya"

Tuhan bukan obyek, Tuhan tidak hanya pelaku, bahkan adalah Maha Pelaku. Dialah yang menciptakan semua makhluk dan semua perbuatan. Tidak ada sesuatupun baik di bumi maupun di langit dan di antara keduanya, kecuali semuanya tunduk di bawah titah-Nya.

Oleh karena itu, mengenal Allah hanya bisa dilakukan melalui perantara. Ini salah satu rahasia kata "bi" (بِ) yang mendahului lafaz Allah. Maka untuk mengenal Allah Swt, setidaknya melalui 3 perantara : Melalui Nabi saw, melalui ayat qauliyah (Al-Qur'an) dan melalui alam semesta (ayat kauniyah). Yang mana, dengan mengenal dan mempelajari masing-masing ketiganya akan mengantarkan kita kepada mengenal-Nya.

2. Yang mampu dijangkau oleh makhluk hanya Nama-Nya

Manusia bersifat terbatas, maka setiap kemampuan yang dimiliki manusia juga bersifat terbatas. Baik kemampuan indrawi maupun kemampuan akal. Memang, keduanya dapat dilatih dan dikembangkan sehingga kemampuannya dapat melampaui batas yang umum. Namun tetap saja terbatas. Sedangkan Tuhan bersifat transenden, sehingga seluruh kemampuan manusia tidak akan mampu menjangkaunya. Satu-satunya yang dapat dicapai oleh kemampuan indra dan akal manusia adalah nama-Nya. Inilah rahasia kedua, mengapa setelah kata "bi" dilanjutkan kata "isim" (اسم)

Mari kita lanjutkan lebih jauh pada maknanya.

Huruf permulaan "bi" (بِ)

Setidaknya di dalamnya terdapat 2 makna penting, sebagai berikut:

1. Bermakna "memulai"

Sebagaimana disampaikan di muka, bahwa cara mengenal Allah Swt adalah dengan melalui perantara, maka basmalah adalah perantara, untuk mengawali, memulai guna mengantar kepada segala sesuatu

Dalam surah Al-Baqarah 117 disebutkan

بَدِيْعُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ...

"(Allah) pencipta (yang memulai) langit dan bumi..."

Maka, tidaklah patut bagi seorang manusia memulai sesuatu, kecuali dengan mengawali dengan Basmalah. Memulai dengan Basmalah berarti menempatkan Basmalah pada titik nol, titik tumpu setiap perbuatan. Sehingga setiap perbuatan hanya menjadi bernilai ketika "hanya Allah" yang menjadi motivasi. Maka setiap perbuatan yang tidak dimulai dengan "asma Allah" akan kosong belaka, tiada bernilai. Bahkan dalam syariat dinyatakan bahwa tidaklah sah suatu ibadah, kecuali dengan niat "lillahi ta'ala".

2. Bermakna "bersama Allah"

Basmalah berarti pengakuan sepenuh kesadaran manusia, baik kalbu, akal dan indrawi, bahwasanya segala sesuatu hanya dapat terjadi dan berlangsung dengan izin dan kehendak-Nya. Di dalam surah Al-Hadid ayat 4 terdapat pernyataan "...Dia bersamamu di mana saja kamu berada..." (...وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ...). Maka Basmalah menjadi perisai yang membersamai diri manusia dalam setiap aktivitas. 

Dengan Basmalah, seorang yang "bersama Allah", akan hadir dalam kalbunya berupa "muraqabah" (rasa dijaga oleh Tuhan) dan "muqarabah" (rasa aman karena dekat dengan Tuhan). Maka ia akan menghindarkan diri dari setiap perbuatan yang buruk, bahkan hanya memilih melakukan perbuatan yang baik saja, karena rasa takut dan berharap kepada-Nya, serta hilang rasa takut dan harap kecuali hanya kepada-Nya (khauf-raja). Lebih jauh dari itu, ia akan senantiasa bersungguh-sungguh dalam beramal (mujahadah), karena Tuhan bersamanya. 

Dan, buah dari itu semua adalah kalbunya senantiasa menyaksikan rahmat-Nya memenuhi dan menyelubungi kehidupannya (musyahadah).


Kata "ism Allah" (اسم اللّٰه)

Dalam surah Al-Hasyr 24, Allah Swt berfirman :

هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

"Dialah Allah Yang Maha Pencipta, Yang Mewujudkan dari tiada, dan Yang Membentuk rupa. Dia memiliki nama-nama yang indah (al-asma' al-husna). Apa yang di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada-Nya. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"

Allah menyebutkan diri-Nya memiliki nama-nama yang banyak yang kesemuanya bersifat baik dan indah. Meskipun jumlah nama tersebut amat banyak dan tidak terbatas, para ulama menyusun di antaranya -asmaul husna- sebanyak 99 nama yang diabadikan dalam Alquran.

Setiap asma Allah mewakili keagungan dalam sifat-nya, seperti Ar-Rahman yang Maha Pemurah kepada seluruh hambanya dan Ar-Razaq, yang maha menganugerahkan rezeki. 

Dari seluruh nama tersebut, Allah swt telah memilih 1 nama utama yang mencakup keseluruhan nama lainnya, juga mencakup keseluruhan sifat dan keagungan, yakni "Allah".

Nama "Allah" telah Dia perkenalkan sejak mula. Bangsa Arab pra Islam telah terbiasa menyebut Allah untuk sebutan Tuhan. Alquran mengabadikannya seperti di dalam surah Az-Zumar 38:

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ ...

"Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah”..."

Demikian pula Bani Israel, mereka menyebut "Elohim", atau "El" atau "Al" yang dalam literasi Ibrani serupa dengan "Allah".


Kata "Ar-Rahman Ar-Rahim" (الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ)

Sifat Utama? Bagi Siapa?

Ada sementara orang yang berpendapat bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah 2 sifat utama bagi Allah Swt. Pendapat demikian kurang tepat adanya. Sebab, bagi Allah setiap sifat-Nya bersifat sempurna dan sama saja bagi-Nya.

Dalam surah Al-Isra 110, Dia berfirman :

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلً

"Katakanlah (wahai Nabi saw), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Raḥmān’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna). Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) salatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!”"

Perlu dicatat, yang berbeda adalah : bagi manusia. Karena manusia memiliki kebutuhan, maka sifat Allah Swt Ar-Rahman dan Ar-Rahim lebih utama bagi manusia.

Allah mempertunjukkan dan mengumumkan sifat kasih sayang ini untuk manusia, di hadapan mereka, sebagaimana dalam surah Al-An'am 12:

قُلْ لِّمَنْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلْ لِّلّٰهِ ۗ كَتَبَ عَلٰى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

"Katakanlah (wahai Nabi saw kepada mereka), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanlah, “Milik Allah.” Dia telah menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya.."

Kalimat ini dipertunjukkan kepada seluruh manusia, bahwa Allah memiliki sifat ini, sifat yang sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk, tidak terkecuali manusia.

Ar-Rahman dan Ar-Rahim tersusun dari akar kata "ra-hi-ma" yang berarti kasih sayang. Lalu apa beda keduanya? mari kita lihat satu per satu.


Sifat Al-Rahman

Ar-Rahman mengikuti wazan "fa'-lan" kata benda yang memberikan makna "sempurna" dan "menyeluruh". Para ulama memahami makna ini sebagai sifat kasih sayang Allah Swt yang bersifat menyeluruh, menjangkau setiap makhluk. Tidak hanya manusia, sifat kasih sayang ini menjangkau binatang, tumbuhan, dan jenis makhluk lainnya termasuk benda mati, baik besar maupun kecil tanpa kecuali. Setiap makhluk baik di darat, di laut, di udara di langit, bahkan di setiap alam, semuanya terjangkau oleh kasih sayang ini. Sifat kasih sayang ini tidak hanya menjangkau bahkan meliputi setiap makhluk.

Sifat ini tidak membeda-bedakan sama sekali. Hamba-Nya yang beriman memperoleh sifat ini, demikian pula hambanya yang ingkar dan kufur juga memeperolehnya, bahkan hamba yang amat durhaka sekalipun, termasuk para setan, tak terkecuali Iblis dan Dajal.

Salah satu wujud Al-Rahman adalah kasih sayang Tuhan dalam bentuk anugerah pencipatan (eksistensi) dan pemberian kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Seandainya kasih sayang ini dikaitkan dengan keimanan atau ketaatan, maka setiap makhluk yang durhaka tidak akan lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka akan kesulitan untuk menanggung hidupnya atau mati. Bahkan tidak lagi dijumpai keberadaannya di atas panggung kehidupan ini.

Namun tidak demikian, sifat Tuhan yang rahman ini menjamin keberadaan mereka hingga jaminan keberadaan tiap kebutuhan hidup yang mereka perlukan. Mereka berada dalam ikatan hukum alam yang sama tinggi dan sama rendah perlakuannya dengan hamba yang beriman.

Selain itu, wujud yang dahsyat dari kasih sayang ini adalah pemberian kesempatan yang cukup bagi setiap hambanya, untuk taubat kembali kepada-Nya

Ketika seorang hamba berbuat dosa dan kesalahan, maka Tuhan Yang Maha Rahman  tidak serta-merta menghukumnya. Kasih sayang ini memungkinkan bagi setiap diri untuk melakukan refleksi dan i'tiraf, supaya mereka bisa kembali kepada jalan Tuhan. Bahkan  Tuhan tak segan untuk mengirimkan Nabi dan utusan -para kekasih-Nya- untuk mengajak bertobat, kepada kaum yang demikian hebatnya berbuat durhaka dan melampaui batas.


Sifat Ar-Rahim

Ar-Rahim mengikuti wazan "fa-'iil", kata benda yang bisa berfungsi dua sekaligus : subyek sekaligus obyek.

1. Bermakna subyek, menunjukkan bahwa Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah yang memiliki sifat subyektif. Bahwa kasih sayang ini diberikan menurut kehendak subyektivitas Tuhan sendiri

2. Bermakna obyek, menunjukkan bahwa Ar-rahim adalah kasih sayang Allah yang memiliki sifat obyektif. Bahwa kasih sayang tersebut tidak diberikan kepada sembarang orang, kecuali yang memiliki sifat obyektif tertentu.

Ini menggambarkan betapa istimewanya sifat kasih sayang ini. Untuk lebih mengena, kami gambarkan dalam sebuah ilustrasi. 

Andai ada seorang yang kaya raya dan sangat pemurah. Ia memiliki sejumlah besar barang berharga untuk dibagi-bagikan. Ia mengumpulkan orang-orang di suatu ruangan dan mempersilakan kepada mereka untuk mengambil barang-barang berharga yang ia sediakan. Ternyata di luar barang-barang tersebut, ia masih memiliki barang berharga lain, yang juga untuk dibagi, tetapi ia sengaja simpan dahulu. Ia akan berikan dengan kehendaknya. 

Orang-orang yang berkumpul di ruangan tersebut bisa memperoleh barang yang disediakan di ruangan, tetapi tidak bisa memiliki barang yang disimpan oleh tuan tersebut, karena tuan itu sendiri yang akan memilih orang tertentu yang memenuhi kriteria yang ia tentukan sendiri. Hanya orang seperti itu saja yang berhak menerimanya. Maka dapat dirasakan betapa berharganya barang tersebut dan betapa berbedanya nilai barang itu dibandingkan barang-barang lainnya. Kekhususan subyektif dan obyektif seperti itulah yang melekat pada sifat Ar-Rahim.

Para ulama menjelaskan bahwa kriteri khusus tersebut adalah : keimanan. Hanya orang yang beriman saja yang dapat memperoleh kasih sayang "rahim" dari Tuhan, baik di dunia terlebih di akhirat.

Demikian agungnya sifat rahim ini, sehingga ulama menggambarkan nilai rahman itu hanya 1 bagian dibanding seluruh sifat kasih sayang Tuhan. Seandanya kasih sayang itu bernilai 100, maka kasih sayang "rahman" hanya 1 bagian dan sisanya 99 adalah kasih sayang "rahim.

Seandainya seluruh kasih sayang itu berjumlah 1.000, maka 1 "rahman" dan sisanya 999 adalah "rahim". Demikian pula kiranya  kasih sayang itu bernilai 1 juta, maka "rahman" hanyalah 1 dan sisanya 999.999 adalah rahim dan demikian seterusnya. Berapapun perumpamaan kasih sayang Tuhan, kasih sayang "rahman" hanyalah "satu" bagian dan selebihnya berapapun itu adalah sifat "rahim".

Padahal sifat "rahman" tuhan demikian luas dan besarnya, meliputi segenap ciptaan-Nya.

Maka, seandainya sifat "rahman" itu seumpama alam semesta yang tak bertepi, maka dapatkah Anda bayangkan, seperti apa luasnya sifat "rahim" itu?

Wallahu a'lam


===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =


 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini