Langsung ke konten utama

Manusia, Makhluk Yang Melupakan

MANUSIA YANG MELUPAKAN  

Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang amat kompleks. Banyak kajian dipaparkan untuk mengurai hakekat dan berbagai detil rahasianya. Banyak sisi manusia memiliki perspektif tersendiri yang masing-masing kaya dengan berbagai ciri yang menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang paling sempurna. Al-Qur’an menyatakan bahwa diciptakan manusia dalam bentuk / formulasi yang paling baik.

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (٤)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” 

Pada kesempatan kali ini, kita akan mengupas manusia dari salah satu sisi dan salah satu kajian, semoga memberi manfaat. 

Al-Qur’an menggunakan beberapa kata untuk menunjuk manusia. Kata nas, insan, basyar, nafsun adalah contoh yang biasa kita temukan. Masing-masing bicara dalam konteks yang berbeda, walaupun yang dibicarakan tetap sama : Manusia. 
Kali ini kita akan sedikit kupas manusia dari penggunaan kata "insan". 

Etimologi - Terminologi

Dalam bahasa arab, kata insan berawal dari bentuk nasiyayansa dan masdar-nya (kata benda) nisyanan, yang berarti LUPA [1]. Sebelum jauh, agar lebih mudah dipahami kita tengok dahulu ke dalam kaidah bahasa Indonesia.

Dalam Bahasa Indonesia, kata "lupa" termasuk kata kerja intransitif, atau kata kerja yang tidak memerlukan objek. Kata kerja ini bisa diubah menjadi bentuk transitif (kata kerja yang memerlukan objek) dengan cara menambahkan imbuhan me-kan. “Memasukkan”, “mengeluarkan”, “mengenyangkan” adalah beberapa contoh kata kerja transitif yang berasal dari kata kerja intransitif “masuk”, “keluar” dan “kenyang”. 

Dengan cara ini kita mengubah kata lupa menjadi “me-lupa-kan”. Kaidah bahasa arab juga memuat formula seperti di atas. Ada 3 cara untuk mengubah bentuk intransitif (fi’l lazim) ke dalam kata kerja transitif (fi’l muta’adiy), salah satunya dengan menggunakan pola (wazan) af’ala - yuf’ilu dan masdarnya if’al. Kata na-si-ya di atas akan menjadi ansa – yunsi dan masdarnya insan. Perhatikan masdar atau kata benda yang terbentuk. Melalui proses inilah kata insan terbentuk. Dengan demikian, kata insan adalah kata benda yang berarti MELUPAKAN, berbeda dengan kata nisyan yang berarti lupa. 
Sekarang, kita akan lihat, apa pengaruh makna terhadap perubahan bentuk kata itu.

Seorang yang "lupa" berbeda dengan seorang yang "melupakan". Paling tidak ada 2 hal yang membedakan makna antara kata kerja "lupa" dan "melupakan". Kata "melupakan" menunjukkan bahwa :
  1. Ada objek yang dilupakan.
  2. Intensitas “kesengajaan”-nya lebih tinggi.
Dari sini kita dapat pemahaman tambahan, bahwa insan berarti makhluk yang memiliki potensi melupakan. Potensi ini melahirkan 2 sisi, yakni sisi positif dan sisi negatif.

Sisi Positif dari Potensi Melupakan

Imam Ja’far as-Shodiq (w. 148 H), penghulunya para imam madzhab, pernah menjelaskan hal ini. Bahwa manusia dapat bertahan hidup, -salah satunya- adalah karena manusia memiliki potensi melupakan. Sepertinya terdengar mengada-ada, tapi jangan terburu-buru mengambil kesimpulan, mari kita telaah lebih jauh.

Dalam menjalani hidup, kita tentu pernah –bahkan sering- mengalami kejadian-kejadian besar yang secara ekstrim berpengaruh terhadap jiwa (emosional) kita. Kita pernah mengalami sedih yang berat, entah karena kehilangan sesuatu yang amat kita cintai atau karena hal lain. Kita juga pernah mengalami frustrasi, karena mengalami kegagalan besar, bisa juga mengalami stress berat karena menghadapi beban hidup. Pada saat itu, emosi kita benar-benar terganggu. Kemudian, ini mempengaruhi hidup kita secara total. Fungsi organ tubuh bahkan bisa terhenti mendadak, atau sebaliknya superaktif tanpa kendali. Kita kerap mendapati orang yang pingsan, karena musibah seperti kerabat yang meninggal dunia, kebakaran, gempa bumi dan lain sebagainya. 


Ada pula orang yang menangis dan berteriak histeris tanpa kontrol ketika mereka ditimpa musibah yang serupa. Allah SWT yang maha bijaksana mendesain manusia dengan memberikan potensi melupakan ini, sehingga berangsur-angsur baik secara sadar maupun tidak “memori” atas peristiwa itu menjadi berkurang secara bertahap, sehingga pada akhrinya seseorang hanya mengingat peristiwanya saja. Sisi-sisi emosi dari kejadian yang sesungguhnya telah dilupakan oleh yang bersangkutan, dan ini membuat proses recovery dapat berjalan dengan baik, sehingga manusia bisa kembali hidup secara normal.

Sebaliknya, kita pernah mengalami kegembiraan atau mengalami kejadian yang ekstrim lucu, yang membuat kita tertawa tanpa kendali. Bahkan sering kali pada saat itu bernafaspun rasanya terkunci. Kita tidak mengingat apapun kecuali kejadian ekstrim tersebut, bahkan seluruh memori kita dipenuhi olehnya. Nah, Allah SWT yang maha rahman, yang mengerti betul pernik manusia, memberikan potensi melupakan ini, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita bisa kembali mengontrol secara normal aktivitas kita, dan kita bisa kembali melanjutkan hidup. 

Ijinkan saya bertanya, bagaimana jika potensi ini tidak ada. Bagaimana jika seluruh kejadian beserta sisi emosi yang menyertainya tetap mememuhi memori kita sepanjang waktu. Dapat dipastikan kita akan berakhir dalam waktu yang tidak lama, bahkan boleh jadi manusia telah punah pada masa-masa awal kehidupannya. Maha suci Allah yang maha agung dan baginya segala pujian atas telah memberikannya potensi ini bagi manusia. “Laqod Kholaqna al-insana fi ahsani taqwim”.                

Sisi Negatif Potensi Melupakan 

Sisi negatif ini tercermin dalam Alquran, surah Al-Adiyat (100) ayat 6 hingga 8 dan dilanjutkan oleh peringatan Allah SWT dari ayat 9 hingga 11 pada surah yang sama. Dari ayat ini kita akan belajar, obyek apa yang dilupakan manusia dan seperti apa intensitasnya. 

Sisi Negatif pertama

Pertama, Al-Qur’an dalam surat Al-Adiyat ayat 6 menyatakan :

إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (٦)

"Sesungguhnya manusia itu terhadap tuhannya, ia sangat ingkar"

Kata inna disebut harf taukid (huruf untuk menguatkan / meyakinkan) yang berarti “sesungguhnya”. "La" dalam "lakanud" juga harf taukid, yang biasa diartikan sungguh (atau betul-betul). Dengan demikian ayat ini bisa diterjemahkan “Sesungguhnya manusia itu (al-insan) terhadap Tuhannya sungguh (betul-betul) ingkar”. 
Allah SWT yang maha penyayang mengingatkan manusia, bahwa manusia yang memiliki potensi melupakan ini bisa –bahkan bisa- melupakan sesuatu yang paling menentukan dan tak terpisahkan dari hidup manusia itu sendiri: Tuhan. 

Ijinkan saya bertanya kembali, pernahkan kita -sekali saja- lupa kalau kita memiliki kepala? Atau suatu saat kita lupa bahwa kita punya rumah dan keluarga tempat kita kembali dari aktivitas? Rasanya jawaban “tidak” adalah jawaban yang paling rasional, kecuali bagi seseorang yang sedang mengalami kelainan jiwa. 

Mengapa demikian?, karena kepala tak terpisahkan dari kita, kita tak dapat hidup tanpanya. Seorang boleh lupa kaca mata yang sedang dipakai di atas hidungnya, tapi melupakan kepala adalah hal yang tidak mungkin dalam kondisi sehat dan wajar. Demikian pula rumah dan keluarga. Keduanya tak terpisahkan dalam hidup, bahkan banyak orang menempatkan kebahagiaan keluarga sebagai tujuan hidupnya. Bagaimana mungkin melupakan sesuatu yang tak terpisahkan, yang kita tak dapat hidup tanpanya bahkan yang menjadi tujuan hidup itu sendiri. Akan tetapi ternyata manusia bisa melupakan sesuatu yang lebih dari itu, yakni Tuhannya[2]. Padahal manusia tak dapat hidup tanpa Tuhan meski dalam satu satuan waktu terkecilpun. Dunia dan manusia diciptakan oleh-Nya, dan setiap saat hidup dan kebutuhan hidup itu diciptakan (disuplai) terus menerus oleh Nya tanpa henti. 


Perumpamaan ini serupa dengan gambar di layar televisi. Perhatikan, bahwa gambar di televisi dapat muncul, seolah ada dan hidup, tidak lain karena adanya gelombang (sinyal elektromagnetik) yang dipancarkan dari sumber pemancar dan diterima oleh antena televisi. Ketika (satu detik saja) sinyal ini diputus, maka apa yang terjadi pada gambar di layar televisi? Secepat diputusnya sinyal, secepat itu pula gambar di layar televisi hilang. Seperti itulah hubungan dan butuhnya manusia kepada Tuhan. Manusia tak dapat hidup terlepas dari Tuhan. Gambaran lain tentang hubungan manusia dan Tuhan ini dapat dijelaskan oleh pengetahuan tentang materi (gambaran ini pernah dipaparkan oleh seorang yahudi kenamaan – Albert Einstein).

Dalam pandangan indera, alam semesta beserta isinya, termasuk manusia itu sendiri “sepertinya” berupa materi yang masif. Tubuh kita, rumah, mobil, kertas dan semua benda di sekeliling kita tampak berwujud masif dan mutlak. Namun, ketika benda-benda itu, dipecah-pecah (dibagi-bagi) hingga ke bagian terkecil, maka diketahui bahwa ternyata unsur pembentuk materi itu bukan lagi materi. Pada awalnya, kenyataan ini memang sangat mengejutkan, terutama bagi dunia ilmu pengetahuan yang sebelumnya berkesumpulan bahwa seluruh alam semesta terbentuk dari materi. Bahkan jadi pegangan mereka “materi adalah kekal”. Unsur pembentuk materi itu ternyata berupa atom, yang terdiri dari inti atom (neutron) yang dikelilingi (dengan berputar) proton dan elektron, yang notabene bukan lagi materi namun semacam medan energi (kalau enggan disebut cahaya), Maha suci Allah. Allah menciptakan alam semesta dan kehidupan dengan cara yang ajaib. Menciptakan ada dari ketiadaan, menciptakan materi bukan dari materi, tapi dari energi (sesuatu yang gaib). Alam semesta, termasuk di dalamnya manusia, yang kita sangka wujud, ternyata semu saja, ternyata hanya fatamorgana yang terbentuk dari medan energi. 

Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah, bagaimana medan energi itu bisa stabil. Manusia bukan seperti batu yang unsur materinya sama, tetapi tersusun dari berbagai organ yang berbeda bentuk dan fungsi juga tersusun dari berbagai sistem yang beraneka ragam (ada sistem saraf, pencernaan, pernafasan, darah dll). Bagaimana bisa medan energi pembentuk itu tidak tercampur atau “kacau” dengan medan energi di sekelilingnya?

Di samping itu, energi apa yang senantiasa menyuplai medan itu sehingga senantiasa bisa eksis, dinamis dan stabil, berputar dan “hidup” hingga waktunya ia “padam”. Tidak lain jawabannya kecuali bahwa itu semua berasal dari Tuhan, dan Tuhan pula yang setiap saat menjaga, dengan memberi (menyuplai) energi kepada seluruh makhluknya, sehingga semuanya dapat eksis dan berfungsi dengan baik. Seandainya satu detik saja, Allah menghentikan penjagaan ini, tidak memberikan energi pada seluruh medan energi di seluruh alam ini, apa yang terlintas dalam fikiran kita? 
Wallahu a’lam, hanya Allah SWT yang tahu. Hanya manusia yang beriman yang akan takzim, tersungkur sujud sambil berucap “Ya Tuhan kami tidaklah engkau ciptakan ini semua dengan bathil, maha suci Engkau maka jagalah kami dari siksa api neraka akibat kelalaian kami pada-Mu”. 

Sisi negatif kedua

Ayat itu dilanjutkan,   

وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (٧)
"dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya," 

Perhatikan bahwa di sini terdapat pula 2 harf taukid, yaitu "inna" dan "la", sehingga bisa diterjemahkan “dan sesungguhnya ia (al-insan itu) atas yang demikian itu (atas pengingkarannya pada Tuhannya) sungguh menyaksikan”. 
Di sini Allah yang maha kuasa menjelaskan tentang intensitas lupa manusia. Bahwa manusia itu melupakan sesuatu yang amat besar (kebesaran Tuhan) padahal saat itu ia sedang dalam keadaan menyaksikan apa yang dilupakannya itu. 

Saya kembali bertanya, Apakah kita bisa melupakan (melalaikan) sesuatu, persis pada saat kita sedang memperhatikan (menyaksikan) sesuatu itu. Saat kita sedang bicara dengan istri, misalnya, mungkinkah pada saat yang sama kita lupa bahwa yang kita ajak bicara itu adalah istri kita sendiri ? sebagaimana jawaban pertama, jawaban “tidak” adalah jawaban yang rasional, kecuali seseorang itu sedang mengalami kelainan jiwa dan fungsi ingatan. 

Boleh jadi pernah seseorang melintas di depan kita, tapi kita tidak menyadari. Ini berbeda dengan pembahasan kita, lebih-lebih  ayat ini bicara dengan kata “syahid”, yang berarti menyaksikan / bersaksi. Kata ini jauh lebih tinggi (intensitas dan cakupannya) dari kata "melihat" atau "memandang". Bahkan kata syahid digunakan dalam ikrar tauhid (Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah), ini menunjukkan bahwa pengertian menyaksikan itu tidak bisa dipersamakan dengan pengertian melihat atau memandang. Paling tidak kata ini mengandung pengertian menyaksikan dengan penuh kesadaran dan dengan penuh pembenaran (bahwa kita membenarkan apa yang kita saksikan itu).

Kembali lagi, bahwa Allah azza wa jalla mengingatkan kita, bahwa manusia yang memiliki potensi melupakan ini bahkan dapat melupakan sesuatu yang sedang dalam penyaksian (pengamatan dengan penuh kesadaran dan pembenaran) kita. 
Setiap hari kita menghadapi manusia, hewan, tumbuhan, problematika kehidupan tanpa kita menyadari bahwa itu semua adalah makhluk Allah SWT. Alat indra kita bisa berfungsi, kita bisa melihat, menikmati nafas yang segar, tangan dan kaki yang bisa berfungsi, tanpa kita menyadari bahwa itu semua adalah pemberian Allah SWT. Kita merasa bahwa seolah-olah itu adalah sesuatu yang wajar, lazim dan biasa saja. Padahal sama sekali tidak demikian.

Siapa yang mengatur detak jantung sehingga sesuai dengan keperluan hidup, padahal kita tidak tahu perhitunganya yang sesuai dengan volume darah, panjangnya saluran darah, tekanan yang dialaminya dan lain-lain. Kita bisa mengatur nafas, tapi saat kita bicara, marah, tertawa, tidur dan aktivitas lain, siapa yang mengaturnya, sehingga kita tidak pingsan karena kekurangan oksigen. Sel-sel tubuh tetap bekerja dan ber-regenerasi dalam jumlah yang sesuai.

Kita melihat hujan yang jatuh sedikit demi sedikit sehingga memberi manfaat tanpa bahaya, panas matahari yang tidak membuat terbakar, angin yang lembut, tanaman yang hidup dan tumbuh sendiri tanpa mesti diatur (di-setel) oleh manusia. Ini semua kita saksikan setiap hari dalam hidup kita. Indra kita berinteraksi dengannya, tanpa sedikitpun kita sadar bahwa itu semua adalah pemberian Allah SWT yang terus-menerus, yang mesti disyukuri. 

Saat seorang ibu hendak melahirkan, tidak ada seorangpun yang tahu –termasuk dokter ahli sekalipun- bahwa anak yang dikandung akan lahir dengan normal dan selamat. 
Barangkali alat scanning bisa melihat bahwa janin memiliki organ yang lengkap, tapi siapa bisa jamin bahwa organ-organ itu akan berfungsi dengan sempurna saat dia lahir. Perkara si bayi akan bisa melihat, tidak gagu, tidak idiot atau sebaliknya, seluruhnya adalah murni pemberian Tuhan. Ibu, ayah dan semua manusia hanya bisa menerima pemberian agung itu. 

Namun, setelah kita dewasa, setelah sekian tahun, belas tahun atau bahkan puluhan tahun berapa banyak dari kita yang hidup dalam syukur dan berterima kasih pada Tuhan. Berapa persen dari hidup kita, kita sadar bahwa segalanya adalah anugerah dan pemberian Allah yang Maha Besar. Kebanyakan kita lalai, dan melupakan ini. Semakin banyak kebaikan dan anugerah kita terima, kita semakin melupakannya, meskipun pemberian itu demikian vital dan senantiasa dalam penyaksian kita. 
“Wa innahu ala dzalika la syahid, dan sesungguhnya manusia itu atas yang demikian sungguh menyaksikan”.  

Sisi negatif ketiga    
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (٨)

"dan Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada sesuatu yang dianggap baik.

Ayat ini menyatakan –tetap dengan 2 harf taukid- “Dan sesungguhnya dia (al-insan) terhadap kecintaannya pada sesuatu yang dianggap baik ia sungguh teramat sangat besar”. 
"Al-khoiri" adalah segala sesuatu yang dianggap baik oleh kita. Manusia lebih menyukai rumah yang mewah dibanding yang sederhana, wajah yang rupawan dibanding yang biasa, bahkan kita sering beranggapan bahwa orang yang cantik / tampan juga memiliki hati / perilaku yang baik juga, sebaliknya ketika melihat orang dengan wajah yang (menurut kita) tampak buruk maka kita menganggap “jangan-jangan” ia jahat sehingga kita menjauh darinya. Ini semua menunjukkan bahwa secara fitrah kita menyukai sesuatu yang dianggap baik, bahkan dalam tingkatan “cinta” (al-hub).

Karena besarnya cinta ini, maka dalam hidup kita tempatkan segala sesuatu yang dianggap baik ini sebagai target yang senantiasa kita kejar dengan habis-habisan. Orang merasa bahwa ia baru mendapat kebaikan kalau target itu sudah didapat. 
Seseorang yang belum bisa sekolah merasa bahwa ia tidak mendapat kebaikan seperti orang yang sekolah, ketika akhirnya ia mampu sekolah ia akan menganggap bahwa yang baik itu adalah kalau ia sudah bekerja. Setelah pekerjaan ia dapat, dia belum merasa mendapat kebaikan kalau belum mendapat penghasilan yang cukup besar untuk membeli rumah dan fasilitas lain, dan demikian seterusnya. 

Kecintaan ini membuat seseorang terus mengejar dan berlomba dalam hidupnya. Dan ini semua membuat manusia lalai. Manusia melupakan bahwa Pemberian Tuhan berlaku menyeluruh dan adil terhadap semua makhluknya, pada setiap waktu. Bukan hanya orang yang sudah bekerja, seorang pengangguran pun memiliki amat banyak anugerah dan pemberian Tuhan yang tak terhingga yang mesti disyukuri. Dan ini dilupakannya, hanya karena ia belum mendapat sesuatu yang dianggap baik – pekerjaan- yang tanpa sadar lebih dicintai daripada rasa syukur pada Tuhan. Padahal Tuhan menyatakan “Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambah dan sungguh jika kalian mengkufurinya sesungguhnya siksaku amat pedih". 

Saya pernah “mengobrol” dengan seorang teman yang bekerja sebagai salesman di perusahaan makanan. Ia menceritakan betapa hidupnya amat membosankan dan ia tidak sukai. Berangkat pagi, jam tujuh sudah sampai di kantor untuk laporan pagi dan menyiapkan barang. Pukul 7:30 sudah keluar dari kantor dengan mobil box berisi barang untuk diantar ke sekitar 15 pelanggan tiap hari. Hari senin ia menuju 15 pelanggan yang berbeda dengan hari selasa dan seterusnya. Ia akan sampai kantor pukul 17:00 untuk laporan kemudian pulang ke rumah. Ini dilakukan bertahun-tahun hingga ia hapal benar semua pelanggan tanpa harus melihat kertas kerja dan surat-surat lain yang ia bawa. Bahkan jalan yang ia lalui mampu dihapal hingga berapa jumlah lobang di jalanan yang harus dihindari, polisi tidur, juga jumlah tikungan yang harus dilalui sampai-sampai tangan dan kakinya “bisa bekerja sendiri” tanpa ia perintah, demikian keluhnya. Saya tertawa mendengarnya. 

Rutinitas seperti ini dialami oleh hampir setiap orang. Teman saya di atas, saya pribadi juga Anda tentu mengalami hal yang serupa dalam kisah yang berbeda. Kebosanan yang kita rasa itu timbul karena kita merasa yang kita kerjakan adalah beban hidup. Kita lupa bahwa semuanya bagian dari tugas manusia beribadah dan mengabdi pada Tuhan

Bagi teman kita ini, bukankah ia bekerja itu suatu anugerah yang mesti disyukuri sementara di saat yang sama ribuan bahkan jutaan orang hidup tanpa pekerjaan. Bekerja di jalanan Jakarta di dalam sebuah mobil bukannya lebih nyaman dibanding ribuan orang yang bekerja di jalan-jalan dengan menahan terik matahari yang menggosongkan kulit. Sebagai karyawan akan menerima gaji pada akhir bulan, sementara pekerja harian lain sehari dapat penghasilan sehari tidak. Demikian pula hapalnya ia pada ruas-ruas jalan hingga detail rintangan, bukankah itu anugerah Allah yang amat besar baginya, sehingga ia tidak harus bersusah-susah tegang memperhatikan jalan setiap hari. Bukankah itu bentuk kemudahan? 
Lalu kemana larinya rasa syukur atas itu semua? Mengapa yang timbul justru rasa kebosanan dan cacian pada hidup yang dijalani. Pertanyaan itu tentu berlaku buat kita semua, sebagai al-insan, yang melupakan anugerah tuhan. 
Kita melupakan sesuatu yang amat berarti hanya karena kita mengejar sesuatu yang dianggap baik. Sesuatu yang dianggap baik belum tentu ia baik bagi kita, terlebih lagi dengan mengorbankan (melupakan) sesuatu yang sudah didapat, yang sudah nyata baik.
  
Itulah sekelumit sisi sisi negatif yang lahir dari "potensi melupakan" yang dimiliki manusia. Dalam hal Ini Allah yang Maha pemurah memberikan “warning” bagi kita dengan memaparkannya agar kita senantiasa mengingat itu semua dan mempersiapkan sikap untuk mengatasinya. Hal ini dipaparkan dalam ayat berikutnya. 

Penyesalan Atas Kelalaian Manusia

Setelah menjelaskan sisi sisi negatif dari "potensi melupakan", ayat ini menyatakan :

أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ (٩)

Ayat ini bisa diterjemahkan “apakah dia (al-insan itu) tidak tahu apabila dibangkitkan apa-apa yang ada di dalam kubur.

Bu’tsiro (dibangkitkan) adalah kata kerja bentuk pasif (majhul). Dalam bahasa arab bentuk ini tidak memiliki subjek aktif (pelaku), akan tetapi memiliki naib fa’il (pengganti fa’il) yang pada kalimat ini adalah “maa fi al-qubur” (apa-apa yang ada dalam kubur). 
Lalu, apa yang ada di dalam kubur? Kita bisa katakan orang-orang yang sudah meninggal, sejak jaman dahulu hingga sekarang. 
Lalu apa hubungannya dengan ayat sebelumnya tentang manusia yang punya potensi melupakan? Kata kuncinya terletak pada kata afala ya'lamu (apakah al-insan tidak mengetahui). 

Allah S.W.T mengingatkan kita, manusia yang amat lalai ini, bahwa ketika orang-orang yang sudah mati, yakni orang-orang yang dahulunya seperti kita, berpengalaman hidup dan sama-sama punya potensi melupakan, setelah mereka meninggal mereka jadi tahu hakekat yang sebenarnya. 
Apa yang sudah mereka betul-betul tahu[3] dan kita belum tahu, dan apa yang terjadi pada mereka? 
Mereka menyesal. Penyesalan yang sudah tiada arti. 

Orang yang mati dalam keadaan baik, ia menyesal, mengapa tidak menambah amal baik sewaktu hidup. Terlebih lagi orang yang mati dalam keadaan buruk. Mereka menyesal mengapa dahulu tidak beriman dan mengisi hidup dengan perbuatan baik. Mereka menyesal karena potensi yang mereka miliki dan kenikmatan yang mereka dapat menjadikan mereka melupakan apa-apa yang sebetulnya mereka ketahui : kehidupan akhirat, sebagai balasan atas perilaku dan kehidupan mereka di dunia. 

Inilah penyesalan terbesar. Penyesalan ketika pada saat itu sudah tiada lagi kesempatan –walau secuil- untuk memperbaiki, dan pada saat sebelumnya mereka ketahui akibatnya dan sudah pula diberi peringatan.

Seperti orang yang memecahkan gelas bukan dengan tidak sengaja. Sebelum gelas pecah, ia tahu bahwa gelas dapat pecah dengan benturan. Ia juga tahu bahwa kalau pecah maka ia tak mampu memperbaiki. Tetapi karena gelas itu belum pecah, ia  lalai akan keharusan menjaga dan menghindarkan[4] gelas dari kemungkinan pecah. Baru ketika ia pecahkan gelas, ia menyadari semuanya dan ia hanya bisa menyesal, penyesalan yang tiada guna. 

Dalam Al-Qur’an cukup banyak dipaparkan ucapan penyesalan dari orang-orang yang sudah meninggal, seperti “duhai celakalah aku seandainya aku bisa dikembalikan untuk hidup lagi di dunia, niscaya aku termasuk orang-orang yang beriman”. 
Di ayat lain, “seandainya aku ini diciptakan tidak sebagai manusia, tapi tanah saja sehingga tidak harus menerima amanat untuk dipertanggungjawabkan”, dan banyak lagi yang lain. 

Maha Besar Allah dan Maha Pengasih Dia, yang dengan kasihnya diperingatkan segala sesuatu dengan haq. Allah mengetahui segala hakekat dan disampaikanNya kepada manusia apa-apa yang mereka tidak tahu dan tidak sadari. Siapapun kita, bila kita melalaikan (melupakan) kewajiban kita untuk menjaga dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mengundang murka Tuhan semesta Alam, maka hanya penyesalan saja yang akan kita dapat, wal iyadzu billah. 


Peringatan ke dua

Pada ayat selanjutnya Allah mengingatkan pula :   

وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ (١٠)

"dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada"

"Hussila" berbentuk majhul (kata kerja pasif) dari "hassola" yang berarti mengumpulkan, mengikhtisarkan atau memeriksa. Kata ini banyak dipakai untuk pengertian panen buah atas tanaman. Ketika selesai panen, orang mengumpulkan hasilnya, memeriksa dan mengelompokkan dalam jumlah-jumlah tertentu, mengikhtisarkan mana yang berkualitas bagus, mana yang  sedang dan buruk, barangkali seperti itulah hassola.

Kata "wa" (dan – berupa waw ‘athf) berfungsi menggabungkan kalimat ini dengan kalimat sebelumnya, sehingga seolah-olah ayat ini berbunyi "wa afala ya’lamu idza hussila ma fi as-sudur”. 
Dengan demikian ayat ini bisa diartikan : dan apakah dia (al-insan itu) tidak mengetahui apabila diperiksa (diikhtisarkan) apa-apa yang ada dalam dada. 
Allah mengingatkan bahwa semua perbuatan itu berawal dari apa-apa yang kita niatkan dan kita cetuskan dalam dada kita. Alangkah banyaknya kita meniatkan, mencetuskan dan menyimpan dalam dada kita, baik itu sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. 

Sebagian ulama menyimpulkan bahwa niat yang baik akan tercatat sebagai kebaikan dan niat yang buruk belum dicatat oleh Allah hingga betul-betul dikerjakan, sebagai bentuk kasih sayang pada hambaNya. Ada pula Ulama yang berpendapat bahwa sebagian niat buruk sudah dicatat Allah, karena sebagian niat buruk itu juga termasuk penggunaan dari kemampuan yang diberikan oleh Allah, sehingga dicatat pula sebagai amal (perbuatan). Lalu apa pula kaitannya dengan potensi melupakan? Jawabannya terletak pada apa-apa yang disimpan dalam dada itu sendiri. 

Allah yang maha mengetahui, bagiNya tak tertutup segala sesuatu termasuk apapun yang terpetik dalam hati setiap manusia. Seandainya niat dan cetusan hati manusia itu berupa tulisan dalam lembaran kertas dan dada kita berupa lemari tempat menyimpan lembaran-lembaran kertas itu, maka tatkala Allah membukanya bagi kita, sungguh tiada lain yang muncul dari diri kita kecuali penyesalan dan rasa malu yang tak terhingga. Kita akan dapati bahwa ternyata lemari itu banyak sekali terisi dengan sesuatu yang tidak berguna. Tulisan-tulisan dalam kertas itu lebih banyak berisi keinginan syahwat dan nafsu yang rendah.

Betapa tumpukan kertas yang berisi iri, dengki, persangkaan buruk terhadap saudara kita, angan-angan kosong, dan niat-niat buruk yang lain menjadi tumpukan-tumpukan laksana gunung yang tinggi dibanding kertas-kertas berisi niat baik kita yang sedikit. 
Betapa malunya kita seandainya tumpukan-tumpukan itu dipaparkan di depan sanak saudara dan manusia lain, serta dibacakan satu demi satu. Sungguh saat itu rasa malu dan penyesalan yang diikuti oleh derai tangis darah sekalipun sudah tiada artinya, takkan mampu mengubah atau menghilangkan tumpukan-tumpukan itu. 


Penutup

Pepatah mengatakan sesal kemudian tiada guna. Selagi ada kesempatan, masih terbuka peluang bagi kita untuk bertaubat dan memperbaiki kesalahan serta memperbaiki masa depan kita sendiri. Kita tidak harus mati terlebih dahulu, atau pula menunggu dada kita dibuka dan diperiksa, untuk menghadirkan penyesalan itu ke hadapan kita sekarang juga. 
Mampukah kita sebagai manusia yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, untuk mempergunakannya dengan baik dan bijak. 
Wallahu a’lam, hanya kita yang mampu jawab dan hanya pada Allah SWT tempat kembali segala urusan. 

Akhir surat ini berbunyi :

إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ (١١)

Perhatikan dua harf taukid di ayat ini, sehingga bisa diartikan “sesungguhnya Tuhan mereka terhadap mereka pada hari itu sungguh mengetahui". 

Allah SWT, baginya ilmu atas segala sesuatu. Ia menciptakan dan menyempurnakan. Memberikan kondisi dan potensi yang sesuai dan rahmatNya menyeluruh bagi semua mahkluk-Nya. Apakah pada tempatnya kita menyia-nyiakan pemberian Allah SWT, baik berupa waktu, ruang gerak, diri kita sendiri beserta potensi-potensinya. Ketahuilah, bahwa setiap pemberian itu punya saatnya untuk dipertanggungjawabkan. Pada saat itu apa yang akan terjadi berada dalam ilmu Allah SWT. Kasih sayang Allah pada makhluknya amat besar, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi Allah paparkan, Allah ceritakan pada kita. Besarnya bencana hari akhir, kehidupan setelah mati dan rahasia di dalam dada (hati dan perasaan) Allah sampaikan pada kita agar kita mampu mengambil sikap untuk berbuat yang terbaik.

Allah SWT tiada butuh pada apapun, termasuk perbuatan baik kita. Tidakkah kita perhatikan sekecil apa diri kita dibanding manusia seluruhnya di bumi ini, sekecil apa bumi kita dibanding tata surya, sekecil apa tata surya dibanding galaksi bima sakti, sekecil apa galaksi bima sakti dibanding alam raya ini? Lalu di mana kita yang seorang ini dengan berbagai kelemahan dan kesombongan kita di dalam alam raya yang demikian agung. Bahkan seandainya seluruh penduduk bumi ini semuanya beriman, niscaya tidak akan menambah sedikitpun kebesaran Allah, dan sebaliknya seandainya seluruhya ingkar dan bermaksiat padaNya, maka tak sedikitpun kebesaran Allah SWT akan berkurang. Semua kebaikan yang kita kerjakan hakekatnya untuk kepentingan manusia itu -kita- sendiri. Semoga Allah SWT senantiasa mengampuni kesalahan dan kealpaan kita. Juga mengampuni kelemahan kita dalam memanfaatkan setiap potensi yang diberikanNya bagi kita, temasuk potensi melupakan. 

Wallahu a’lam bis-showab.

 *****

Notes :
[1] Dalam tafsir Al-Qurtubi ketika menjelaskan makna al-Naas dalam surah Al-Baqarah ayat 8, beliau mengatakan:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَسِيَ آدَمُ عَهْدَ اللَّهِ فَسُمِّيَ إِنْسَانًا. وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: (نَسِيَ آدَمُ فَنَسِيَتْ ذُرِّيَّتُهُ). وَفِي التَّنْزِيلِ:" وَلَقَدْ عَهِدْنا إِلى آدَمَ  مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ" [طه: ١١٥]
"Berkata Ibn Abbas Ra, Adam As lupa (na-si-ya) janji Allah Swt, maka dinamakanlah ia insan. Dan (Rasulullah) Saw, beliau berkata, Adam As telah lupa (pada janjinya), maka menjadi (memiliki sifat) lupa pula keturunannya. Dan di dalam Alquran disebutkan, sesungguhnya telah kami adakan janji dengan Adam pada waktu sebelumnya, lalu ia lupa (Q.S Thaha 115) "

[2] Perhatikan kata "hi" (nya) dalam "li robbihi" dalam ayat itu, yang berarti Tuhannya. Kata "nya" ditekankan untuk menunjukkan hubungan yang dekat, seperti hubungan kepemilikan. Kursi budi bisa diganti dengan kursinya, dan kursinya menunjukkan bahwa itu bukan kursi hasan atau kursi amir, tapi betul betul kursi budi.
[3] Ini tersirat dari penggunaan kata ya'lamu yang akar katanya adalah "ilmu", yaitu pengetahuan seseorang tentang sesuatu dengan dasar yang kokoh.
[4] Dua kata ini, "menjaga dan menghindarkan" disepakati oleh banyak ulama sebagai esensi takwa. Maksudnya menjaga dan menghindarkan diri dari segala perbuatan yang berakibat murka Tuhan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini