Langsung ke konten utama

Sejatinya Mencintai Nabi Muhammad SAW

Secara bahasa, cinta (حب) berarti merayap, merangkak dan tumbuh.

Biji tanaman atau benih disebut (حبة) terambil dari akar kata yang sama. 
Dari sebuah benda kecil ini, akan bergerak, merayap dan tumbuh menjadi besar.

Sebaliknya, benci (
كره) berarti menahan paksa, muak, jijik, mengekang paksa.

Yang pertama, melepaskan gerak dan tumbuh menjadi semakin besar, disertai rasa gembira. Sedang yang ke-2 mengekang paksa disertai rasa jijik dan muak.

Kecintaan pada sesuatu, akan mengantarkan pelakunya, bergerak menuju yang dicintainya dan bergabung dengannya. Tidak hanya linear, tapi eksponensial. Semakin banyak dan semakin banyak.
Seperti benih yang membesar, meninggi dan menjadi lebih banyak (batang, daun, cabang, tangkai dst).

Nabi SAW bersabda, (المرأ مع من أحب), "seorang akan bersama (bergabung) dengan yang dicintainya".


Sebaliknya, rasa benci akan men-jarak-kan pemiliknya dari sesuatu yang ia benci. Tak hanya berjarak, ia menghalang paksa dirinya dan berupaya menjauh darinya.


Esensi Cinta

Cinta adalah pekerjaan hati. Namun tidak berhenti di sini, ia berbuah. Buahnya adalah amal, berupa: pikiran, sikap, ucapan dan perbuatan.

Cinta yang berhenti hanya pada pekerjaan hati, maka ia seperti benih yang tidak bertumbuh. Seumpama benih yang beku dalam penantian datangnya hujan (nutrisi) dan waktu yang tepat baginya untuk tumbuh.
Namun bila ia tidak kunjung mendapat nutrisi, maka segera ia akan mati.


Cinta pada Nabi Muhammad SAW

Beragam karya tulis dari berbagai lintas zaman telah dipersembahkan di hadapan panggung sejarah, untuk mengulas tema ini.
Sungguh pun demikian, bukannya tuntas, justru kian terkuak putik-putik baru yang menanti rampai jabaran generasi cendekia pada lembaran cakrawala sejarah berikutnya.

Tuhan sendiri yang titahkan segenap makhluk untuk mencinta kekasihNya itu, sebagai kewajiban sakral di atas tiap-tiap pundak mereka.

Jangan lagi melebihi, bahkan tak boleh ada cinta lain yang menyamai itu. Satu-satunya bentuk cinta yang boleh berada di atasnya hanyalah cinta makhluk pada Tuhan itu sendiri.

Namun berikutnya, justru Dia letakkan makna cinta pada DiriNya itu di dalam bingkai: mengikuti sang kekasih.

 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


"Katakanlah (wahai Nabi, kepada kaum muslimin): “Jika kalian (kaum muslimin) mencintai Allah, maka (caranya) ikutilah aku, niscaya Allah akan (membalas) mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Ali Imran:31)


Allah SWT telah mengejawantahkan Muhammad SAW sebagai perwujudan sempurna bagi cinta Nya dan menumpahkan seluruh kewajiban cinta makhluk pada diriNya, kepada kekasihNya itu.

Lalu bagaimana perwujudan kewajiban cinta pada diri Muhammad SAW?

Cinta adalah mengikuti sunahnya?

Ada sementara urat pendapat, menerjemahkan cinta pada diri Muhammad SAW adalah "hanya dengan mengikuti sunahnya". Bisakah pembatasan demikian?

Kiranya mengandungi seutas kebenaran, sungguh perbuatan itu tidak hanya mereduksi cinta, bahkan ia menelantarkan cinta ke dalam salah satu saja di antara ramai julur warna-warni spektrum cinta.

Bagaimana bisa gerak-tumbuh cinta justru dijauhkan dari pribadi Muhammad SAW itu sendiri?.

Meskipun sunnah adalah agung, namun bukankan pribadi akhlak Muhammad SAW adalah Al-Qur'an? Apakah Sunnah menyamai Al-Qur'an, atau berada di bawahnya?

Bagaimana justru cinta di-jarak-kan dari yang dicinta, lalu dipeti-matikan pada sebagian saja dari "atsar sejarah"?


Cinta adalah bersholawat?

Sejumlah urat pendapat lain mengatakan, wujud cinta pada diri Muhammad SAW hanyalah bersholawat. Bisakah demikian?

Benar bahwa bersholawat adalah amal yang istimewa.
Benar, bersholawat adalah hadiah, anugerah, jalan-cepat yang diberikan oleh Tuhan bagi para pecinta Muhammad SAW untuk menghapus dosa, melipatgandakan amal, pembuka pintu pengabulan, obat bagi sebanyaknya penyakit, dan lain sebagainya.

Meski demikian, tetap saja sejatinya bersholawat hanya berupa sebagian saja dari wujud cinta.
Bukankah cinta itu perbuatan hati yang melahirkan keseluruhan amal, berupa pikiran, sikap, ucapan dan perbuatan?

Bila cinta itu benih yang tumbuh, maka benih macam apa yang hanya menumbuhkan batang, batang, batang dan hanya batang saja?

Tanpa akar, tangkai, daun, dan bunga, maka tanaman akan kehilangan sejati dirinya sendiri.

Selain itu, sejatinya keistimewaan bersholawat adalah teruntuk pecinta, bukan yang dicinta. Sedangkan sejatinya cinta adalah teruntuk yang dicinta, bukan bagi pecinta.
Pecinta akan mengalahkan dirinya di hadapan yang dicinta.


Lalu, apa itu sesungguhnya wujud cinta pada diri Muhammad SAW?

Nabi SAW bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


"Kamu tidak benar-benar beriman, sehingga aku menjadi yang paling dicinta, lebih dari kamu mencintai anak, ayah bahkan manusia seluruhnya".

Dalam riwayat lain dikatakan: menjadikan keluargaku lebih dicintai daripada keluarganya, keturunanku lebih dicintai daripada keturunannya, kerabatku lebih dicintai daripada kerabatnya.

Dari A'isyah RA, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam lebih aku cintai untuk aku sambung melebihi kerabatku sendiri.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

Berkata Umar bin Khattab RA kepada Abbas RA (paman Nabi SAW), "Sungguh islamnya Anda saat Anda masuk islam lebih aku cintai daripada islamnya Al-Khattab (ayah Umar RA) sekiranya ia masuk islam.."


Jadi, apakah kiranya sudah terang benderang, apa itu sejatinya cinta pada diri Muhammad SAW?

Menjadikan obyek 1 lebih dari obyek 2

Menempatkan obyek 1 melebihi obyek 2

Mengutamakan obyek 1 di atas obyek 2

Mendahulukan obyek 1 sebelum obyek 2

Apa itu obyek 1?
Diri Nabi SAW dan segala yang berkenan dengan beliau.

Apa itu obyek 2?
Diri kita sendiri dan segala yang berkenan dengan diri pribadi kita.


Cinta Nabi Muhammad Pada Umatnya

Sekarang mari kita tengok sebagian kecil dari kisah cinta Nabi SAW pada umatnya.

Tatkala menyembelih kurban pada hari 'Idul Adha, beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ

"Ya Allah, sesungguhnya (kurban) ini dari Mu dan untuk Mu, dari Muhammad dan umatnya" (HR Ahmad, 14.491).

Di lain hari, beliau berucap:
هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

"..(kurban) ini dariku dan siapa saja yang belum (mampu) berkurban dari umatku.." (HR. Ahmad 14.364)

Berapa banyak Rasulullah SAW menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, karena khawatir akan memberatkan umatnya.

Beliau tidak sholat tarawih di masjid di hari ke-3 -meskipun para sahabat menungguinya-, lantaran khawatir akan memberati umatnya (karena khawatir dapat dihukumi wajib).

Kalimat ini diucapkan oleh lisan beliau tentang keutamaan siwak:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

"kiranya tidak memberati umatku, maka aku perintahkan mereka (wajib) untuk bersiwak setiap selesai berwudhu" (Sohih Bukhari 2.887)



Saat peristiwa mi'raj, Allah SWT memfirmankan salam pada beliau (السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ), maka tidak mau ketinggalan beliau menyegerakan menjawab (السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ), lantaran mengharap umatnya juga memperoleh salam itu.


Suatu saat, Aisyah RA tertawa girang gembira, lantaran mendengar Nabi SAW berdoa untuknya "Ya Allah, ampunilah Aisyah, seluruh dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, juga dosa yang terlihat dan yang tersembunyi". 
Kemudian Nabi SAW bertanya, apakah ia gembira dengan doa itu.
Aisyah RA menjawab, "Bagaimana mungkin aku tidak gembira dengan doamu itu ya Rasulullah".

Lalu, apa jawaban Nabi SAW :

"Demi Allah, itulah doaku untuk umatku setiap sholat" (HR. Ibn Hibban)   

Lalu,
Tahukah apa satu doa pusaka yang disimpan oleh beliau SAW? yang mana satu doa itu beliau simpan rapat-rapat hingga akhir zaman, untuk disampaikan pada Allah SWT di hari kiamat kelak? 

Apakah kesenangan untuk dirinya? apakah kesenangan untuk keluarganya?

Maka simaklah ini, dari Abu Hurairah RA : 

”Setiap Nabi memiliki satu buah doa yang mustajab, yang mereka memanfaatkan itu. Dan aku sembunyikan doa ku itu sebagai syafaat untuk umatku nanti di akhirat.” (HR Al Bukhari).


Bahkan, pada saat-saat akhir Nabi SAW menghadapi ajal, tahukah apa yang diingat dan disebut-sebut beliau? 

Tidak lain kecuali "umatku..... umatku....umatku..."

Lihatlah, bagaimana "umat" tidak pernah beliau lupakan dalam setiap hal penting beliau SAW. Beliau letak kan "umatnya" pada segenap rasa cinta, rasa khawatir dan pada setiap pengharapan.

Maka, masih layakkah kau bandingkan segelintir cintamu pada samudera cinta beliau pada umatnya?

Masih pantaskah menghitung-hitung secuil persembahanmu pada beliau di atas gunung kedermawanan cinta beliau?

Masih beranikah kita menyebut "cinta", di hadapan keagungan cintanya?



Wallahu a'lam



Sumber gambar: https://islam.nu.or.id/post/read/116930/saat-nabi-muhammad-ditinggal-wafat-belahan-hatinya--sayyidah-khadijah




Komentar

  1. Tulisan bagus, tapi ada yg mau saya tanyakan.

    Kalau wujud cinta pada Nabi Muhammad itu bukan mengikuti sunnahnya, lalu mengapa agama menyuruh kaum muslimin utk mengikuti sunnah?

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas pertanyaannya, semoga Allah SWT merahmati Anda dan kita semua.

    Jika wujud cinta pada Nabi Muhammad SAW tidak cukup hanya dengan mengikuti sunnahnya, maka lebih-lebih lagi jika kita tinggalkan sunahnya. Itu akan semakin menjauhkan dari cinta pada beliau SAW.

    Demikian pula dengan perkara bersholawat.

    Orang yang mengerjakan Sunnah karena terpaksa, sekedar menggugurkan kewajiban, maka itu bukan wujud cinta.

    Bahkan jika seseorang menghabiskan sisa waktunya dengan sholawat *karena mengharap pahala*, maka itu bukan wujud cinta yang sejati.

    Mengapa? sebab dengan niatnya itu ia sedang mengutamakan dirinya sendiri.

    Amat berbeda bila sholawat yang ia dawamkan itu *lahir dari rasa cinta dan kerinduan* pada Nabi SAW.

    Seperti yg disampaikan dalam tulisan di atas, bahwa cinta adalah tentang mengutamakan, mendahulukan, dan seterusnya.

    Tidak hanya diri pribadi Rasulullah SAW, tapi juga segala yang berkenaan dengan beliau.

    Dan wujudnya adalah seluruh diri kita, baik pikiran, sikap, ucapan dan perbuatan.

    Wallahu a'lam

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Follower

Cari Blog Ini