Bagaimana Menyikapi Perselisihan Fadak? Apakah Siti Fathimah Ra Memutuskan Silaturahim?
Bismillahirrahmanirrahim,
Pendahuluan
Beberapa waktu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, Sayidah Fathimah Az-Zahra Ra mendatangi Sayidina Abu Bakar As-Shidiq Ra. Beliau bermaksud menanyakan tentang bagian dari peninggalan ayahnya (Nabi Saw), yaitu sebagian ¹) dari tanah fadak ²).Keduanya memiliki perbedaan pendapat, yang pada akhirnya membuat Fathimah Ra kesal. Karena tidak terjadi mufakat, maka Fathimah Ra meninggalkan Abu Bakar Ra dan tidak lagi membicarakannya sampai dengan wafat beliau, sekitar 6 bulan setelah ayahnya, yakni, Nabi Saw wafat.
Hadis utuh akan kami sampaikan kemudian.
Dari riwayat ini, pada masa-masa berikutnya timbul berbagai macam interpretasi. Di antaranya ada yang berpendapat mengenai benar-salah, bahwa salah satunya benar sedang yang lain salah dan tercela. Ada lagi yang berpendapat bahwa Sayidina Abu Bakar Ra mengambil hak waris Fathimah Ra. Ada juga yang berpendapat bahwa Fathimah Ra menuntut bagian yang bukan haknya. Dan lain sebagainya.
Pada tulisan kali ini, kita akan bersama-sama membahas ini melalui 2 jalur pembahasan.
Pada bagian pertama kita akan paparkan pada pembaca, model perselisihan sesuai hukum Islam secara obyektif, sehingga kita memiliki gambaran utuh dan obyektif untuk menyikapinya dengan cara dikembalikan pada hukum, sesuai hukum Islam.
Oleh karena ini adalah kisah sejarah, maka tidak pada tempatnya jika fakta sejarah tersebut dibubuhi interpretasi subyektif orang yang tidak ahli di bidangnya.
Kita akan mulai bagian pertama.
A. Perselisihan Tanah Fadak dan Menyikapinya
Perselisihan berasal dari kata "selisih", yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna "beda" atau "hal tidak sependapat" ³). Dalam bahasa Arab berarti "ikhtilaf" (إختلاف)Dalam hukum Islam, ikhtilaf hanya terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
1. Perbedaan pokok (ikhtilaf usuli), dan
2. Perbedaan cabang (ikhtilaf furu'i)
"Perbedaan Pokok" adalah perbedaan yang tidak bisa ditolerir, sebab masalah pokok adalah masalah fundamental / prinsip agama, tentang benar-salah.
Sedangkan "Perbedaan Cabang" adalah perbedaan yang berada di luar prinsip agama. Di dalamnya memang diperkenankan terjadi ikhtilaf, atau perbedaan pendapat.
Sekarang, kita memiliki 2 opsi (pilihan) sebagaimana dijelaskan di atas, apakah akan menempatkan perselisihan antara Sayidah Fathimah Ra dan Sayidina Abu Bakar Ra sebagai Perbedaan Pokok (ushuli) ataukah sebagai Perbedaan Cabang (furu'i).
Apabila kita menganggap bahwa perbedaan keduanya adalah bersifat pokok, maka salah satu dari mereka "benar" dan yang yang lain "salah, berdosa besar dan tercela".
Mari kita lihat lebih dalam.
Apabila Sayidah Fathimah Ra dalam posisi benar, maka Sayidina Abu Bakar Ra dalam posisi salah, berdosa besar dan tercela. Demikian pula setiap muslim yang berpendapat sesuai dengan Abu Bakar Ra, maka semuanya berada dalam posisi salah, berdosa besar dan tercela.
Apakah cukup sampai di sini? Tidak!
Ada masalah lain. Juga akan terjadi kontradiksi yang amat kompleks, jika kita menempatkan perbedaan keduanya sebagai ikhtilaf usuli.
Apa saja itu, mari kita lihat beberapa di antaranya, sebagai berikut:
1. Fathimah Ra turut menjadi salah dan berdosa.
2. Sayidina Ali Kw turut dalam kesalahan dan berdosa, sebab turut menerima keputusan Sayidina Abu Bakar Ra. Baik pada masa khalifah Abu Bakar Ra, Umar Ra dan Utsman Ra, yang keseluruhannya mencapai hingga 25 tahun. Terlebih beliau turut membaiat ketiga khalifah tersebut dan ikut serta sebagai pendukung dan penasehat dalam berbagai pengambilan keputusan.
Bahkan beliau lebih salah dan berdosa lagi, saat hampir 5 tahun menjabat sebagai khalifah, yang mana saat itu beliau memiliki kekuasaan untuk mengubah keputusan, namun tidak beliau lakukan.
3. Demikian pula keseluruhan ahlulbait lainnya seperti Sayidina Hasan Ra, Husain Ra, Ali Zainal Abidin Ra, Hasan Al-Mutsanna Ra, Zaid bin Ali Ra dan lainnya. Mereka turut bersalah, berdosa besar dan tercela, di mana mereka menerima bagi hasil dari lahan Fadak, yang asalnya merupakan keputusan Abu Bakar Ra. Bahkan pada masa Sayidina Umar Ra bagian tersebut ditambah menjadi lebih banyak. Fadak dan pengelolaannya baru diserahkan kepada ahlulbait pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz ⁴).
Namun cerita di atas akan berbeda 180 derajat, jika perselisihan Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra dikategorikan ke dalam ikhtilaf furu'i (cabang agama). Keseluruhan masalah dan kontradiksi di atas akan selesai dengan sendirinya.
Sebab secara hukum, ikhtilaf furu'i membolehkan adanya perbedaan pendapat. Tidak satupun dari keduanya yang berdosa, tidak pula dinilai sebagai salah dan tercela. Maka siapapun juga yang berpendapat mengikuti salah satunya atau mengikuti pihak yang lain tidak menjadi masalah. Tidak berdosa, tidak pula dinilai salah dan tercela.
Sebab ikhtilaf furu'i berkisar pada persoalan fadhoiliyyah (keutamaan).
Maka sikap Sayidah Fathimah Ra, Sayidina Ali Kw, Hasan Ra, Husain Ra dan ahlulbait lainnya yang menerima keputusan Abu Bakar Ra menjadi tidak masalah.
Demikian pula ketika penguasaan Fadak dan pembagiannya diserahkan kepada ahlulbait pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka saat itu juga tidak masalah, karena bisa jadi saat itu, pilihan tersebut lebih utama.
B. Riwayat Perselisihan Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra Terkait Fadak
Mengingat hadis yang akan kami bawakan tersebut cukup panjang, untuk meringkas ruang pembaca, maka kami cantumkan secara lengkap di catatan kaki ⁵)Atas penjelasan hadis tersebut, kami akan memaparkannya mengikuti pendapat seorang ulama besar polimatik, sekaligus pakar hadits yang sangat kredibel (dapat dipercaya) dan sangat kompeten di bidangnya, yaitu Imam Ibn Hajar Al-Asqalani ⁶). Dalam kitab master piece-nya, Fathul Bari. ⁷)
Redaksi - Cakupan obyak
- Redaksi hadis "yang ditinggalkan" (مَا تَرَكَ) adalah "badal" (kata ganti) dari kata "bagian waris Fathimah" (مِيرَاثَهَا) -.
- Kata ini diterangkan dalam riwayat Al-Kusymihani dengan redaksi "sebagian dari" "mimma taroka" (مِمَّا تَرَكَ) -.
Pada bagian ini, Ibn Hajar sedang menjelaskan, bahwa Fathimah Ra bukan bermaksud menanyakan keseluruhan lahan Fadak, namun bagian tertentu (مِمَّا) dari Fadak.
Bantahan Redaksi dan Cara Baca
- Pada riwayat ini, terdapat jawaban yang menolak sementara pihak yang membaca teks dengan bacaan (dengan huruf "ya") "la yuurats" (لَا يُورَثُ) berbentuk pasif, dan membaca (dengan tanwin fathah) "shodaqotan" (tan) berstatus "manshub", dengan maksud sebagai penjelas keadaan -.
Maksudnya, ada sementara pihak yang membaca hadits ini secara berbeda, yaitu dengan redaksi (لاَ يُورثُ ما تركنا صدقةً), sehingga, seolah ucapan Nabi Saw adalah berupa 1 kalimat tunggal yang berbunyi "yang kami tinggalkan itu tidak diwariskan, (seluruhnya) adalah berupa sedekah". Bila demikian, maka seolah-olah Abu Bakar Ra menggunakan teks tersebut sebagai alat untuk menolak permintaan Fathimah Ra, dengan seolah mengatakan bahwa 100 % dari peninggalan Nabi Saw (100 % lahan Fadak, lahan Khaibar dan lahan sedekah Madinah) adalah menjadi berstatus sedekah. Sedangkan sedekah itu hukumnya haram bagi Nabi Saw dan keluarganya sehingga tidak diwariskan untuk keluarganya.
Bahwasanya kalimat tersebut iterdiri dari 2 sub kalimat (bukan 1 kalimat tunggal), lalu kata "yang kami tinggalkan" (مَا تَرَكْنَا) berstatus "mubtada" dan kata (صَدَقَةٌ) berstatus "khobar" -.
Maksudnya, Imam Ibn Hajar menjelaskan bahwa redaksi hadits yang benar adalah yang sesuai redaksi yang dibawakan dalam Shohih Bukhari (dan kitab-kitab hadits lainnya), yaitu berbunyi (لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ).
Maksud kalimat ini adalah bahwa yang berupa sedekah itu bukan keseluruhan obyek (bukan 100 % Fadak, khaibar dan sedekah Madinah), namun selebihnya (sisa) dari pembagian oleh Nabi Saw atas hasil pemanfaatan lahan.
- Dan dikuatkan pula hadits tersebut dalam berbagai jalur yang sahih, dengan redaksi yang serupa "apa yang kami tinggalkan (sisa selebihnya) maka itu adalah berupa sedekah" -.
- Sebagian muhadits telah pula membantah pendapat dari sekelompok kaum Syiah Imamiyah yang mengatakan bahwa "Abu Bakar Ra menggunakan hadits ini untuk menolak Fathimah Ra, yang meminta bagian dari tanah-tanah peninggalan Rasulullah Saw". Padahal keduanya (Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra) adalah orang-orang yang paling fasih dan paling mengetahui tentang ilmu dalil dan ilmu tata bahasa -.
Bantahan Redaksi - Abu Bakar Ra Tidak Mendengar Langsung Hadits dari Nabi Saw
Oleh karenanya, ini menjadi bantahan atas takwil Al-Dawudi, yang mensyarah hadits, di mana beliau (Al-Dawudi) mengatakan bahwa kekesalan Fathimah Ra pada Abu Bakar Ra lantaran Abu Bakar tidak mendengar langsung dari Rasulullah Saw, tapi melalui orang lain. Oleh karena itu, pendapat yang akan saya (Ibn Hajar) kemukakan di sini lebih utama daripada takwil (Al-Dawudi) -.
Redaksi - Tidak Berbicara atau Tidak Membicarakan?
Telah jelas apa yang disampaikan oleh Umar bin Syabbah, juga dari Ma'mar pada riwayat lainnya dengan redaksi "maka ia (Fathimah) tidak lagi membicarakan harta itu".
Redaksi Makna "Hijrah" Fathimah Ra
- Al-Syasyi juga mengikuti pendapat tersebut dan argumentasi beliau bahwa maksud (qarinah) teks "kesal" adalah bahwasanya beliau (Fathimah Ra) melarang dirinya (menahan diri) dari pembicaraan tersebut. Dan, hal demikian adalah hijrah yang dibenarkan (tidak terlarang secara hukum Islam) -.
Maka, redaksi dan makna dari riwayat tersebut tidak menyalahi riwayat dari kitab Sahih Bukhari, tentang hijrah yang dibenarkan, serta tidak pula menunjukkan tentang ke-tidak ridho-an Fathimah Ra -.
Fathimah Ra tidak ridho atau ridho dengan Abu Bakar Ra?
"Sesungguhnya Abu Bakar Ra mendatangi Fathimah Ra (saat beliau -Fathimah Ra- sakit), maka Ali Ra berkata pada istrinya, (wahai istriku), "ini ada Abu Bakar datang, meminta izin untuk menemuimu". Fathimah Ra menjawab, "apakah engkau senang, jika ia diberi izin?", Ali Ra menjawab, "benar", maka Fathimah Ra mengizinkan Abu Bakar menemuinya, lalu Abu Bakar Ra meminta ke-ridho-an Fathimah Ra untuk dirinya, hingga Fathimah Ra ridho kepadanya" -.
- Hadis ini meskipun hanya sampai pada derajat mursal, namun rantai sanadnya sahih seluruhnya hingga pada Al-Sya'bi (sehingga sah menjadi sandaran). Adanya hadis ini menyelesaikan persoalan kiranya dianggap terdapat persoalan terkait hijrahnya Fathimah alaihassalam dari Abu Bakar Ra -.
وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ : إِنَّمَا كَانَتْ هِجْرَتُهَا انْقِبَاضًا عَنْ لِقَائِهِ وَالِاجْتِمَاعِ بِهِ ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنَ الْهُجْرَانِ الْمُحَرَّمِ ; لِأَنَّ شَرْطَهُ أَنْ يَلْتَقِيَا فَيُعْرِضُ هَذَا وَهَذَا ، وَكَأَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ لَمَّا خَرَجَتْ غَضْبَى مِنْ عِنْدِ أَبِي بَكْرٍ تَمَادَتْ فِي اشْتِغَالِهَا بِحُزْنِهَا ، ثُمَّ بِمَرَضِهَا
Sebab Kekesalan Fathimah Ra
Fathimah Ra Telah Bersikap Benar
Obyek yang Dibicarakan Sama
Pada saat itu, Fathimah Ra menanyakan bagiannya, yakni sebagian dari peninggalan Rasulullah Saw (bagian dari Fadak, Khaibar dan sedekah Madinah). Hadits ini menguatkan apa yang telah dipaparkan di muka, bahwa beliau (Fathimah Ra) tidak mengatakan keseluruhan peninggalan, tetapi meminta bagian khusus (tertentu) saja -.
Jadi, supaya lebih jelas, bahwa obyek yang dibicarakan keduanya adalah sama, yaitu bagian tertentu dari Fadak, berupa saham (pembagian tertentu) dari hasil Fadak yang biasa diberikan Rasulullah Saw pada Fathimah Ra. Sekali lagi, obyeknya bukan tanah Fadak secara utuh. Di sini, keduanya sepakat.
Perbedaannya adalah, Sayidah Fathimah Ra berpendapat bahwa bagian tersebut adalah waris dari ayahnya, sehingga beliau merasa berhak untuk mengambilnya.
Sedangkan Sayidina Abu Bakar Ra berpendapat bahwa bagian tersebut bukan waris, tapi, alokasi hasil (manfaat) tanah Fadak yang biasa dilakukan Nabi Saw semasa hidupnya. Di mana, beliau Saw membagi-bagikan "hasil pengelolaan lahan Fadak" kepada sejumlah pihak, salah satunya kepada Fathimah Ra.
Selanjutnya, Ibn Hajar menjelaskan panjang lebar terkait Khaibar dan Fadak yang dahulu dimiliki oleh kaum Yahudi yang menelikung Nabi Saw dan kaum muslimin.
Kami tidak muat dalam tulisan ini, supaya tidak bertele-tele, namun terdapat dalam catatan kaki ²).
Abu Bakar Ra Mengubah Aturan Nabi Tentang Pembagian Saham?
Riwayat ini menolak tegas pendapat yang mengatakan bahwa "pembagian Nabi Saw telah diubah oleh khalifah selepas Nabi Saw". Namun (terbukti) kenyataannya beliau (Abu Bakar Ra) tak menyisakan satu perkara pun kecuali tetap dilaksanakan oleh beliau, tanpa perubahan -.
Aku (Ibn Hajar) akan melengkapi pembahasan redaksi "kami tidak diwarisi" (la nurits) pada pembahasan mendatang pada bab Faraid, insyaallah.
Redaksi "keduanya (perkara Fadak dan Khaibar) tetap tidak berubah seperti itu hingga hari ini" kalimat ini adalah ucapan Al-Zuhri (perawi hadits, sebagai saksi hidup) pada saat beliau menyampaikan hadits ini -.
Pembahasan Tambahan Dalam Bab Faraid
Untuk menyempurnakan pembahasan, kami akan kutipkan pula penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, pada bab lain yakni kitab Faraid, sebagaimana beliau sampaikan berulang di atas, sebagai berikut :Akan tetapi teks riwayat menolak mereka, sebab redaksi riwayat berbentuk "marfu'"-.
- Secara ilmu nahwu, apabila dipaksakan dibaca "manshub", maka masih diperbolehkan, tetapi mesti mengorbankan (mengubah), menjadi (مَا تَرَكْنَا مَبْذُولٌ صَدَقَةً) yang berarti "apa yang kami sisakan diberikan sebagai sedekah". Demikian dikatakan oleh seorang ulama ahli nahwu, Ibn Malik ⁸), bahwa "diperbolehkan bermakna keterangan".
Keluarga Nabi Mengambil Seperlunya Atau Hidup Bergantung Dari Harta Ini?
Dalam hadits yang panjang tersebut juga ditanyakan pertanyaan yang sama kepada Ali Ra dan Abbas Ra, lalu keduanya menjawab dengan jawaban yang sama. Telah kami sampaikan pula "syarah" (penjelasannya) di pembahasan utama -.
- Huruf "ra" ber-harakah fathah pada kata "la nurats" (bermakna kami tidak diberi waris). Sekiranya diriwayatkan dengan "kasrah" (bermakna kami tidak mewarisi), maka maknanya juga sama benar. Yang mana (hukum tersebut) berlaku khusus bagi Nabi Saw. Demikian pendapat sebagian besar ulama -.
Redaksi "demi Allah yang dengan izinNya", pada riwayat Al-Kusymihani sedikit berbeda tanpa sumpah "demi Allah" -.
Kesimpulan:
2. Perselisihan keduanya tergolong perselisihan furu'i, yakni perselisihan yang memang di dalamnya diperkenankan terjadi perbedaan pendapat.
3. Perselisihan Furu'i berisi fadhoiliyyah (keutamaan), yang mana bisa satu di antara 2 pilihan jadi lebih utama pada satu kondisi, namun bisa pula berubah, ketika terjadi kondisi yang berbeda, di mana pilihan kedua menjadi lebih utama.
4. Obyek yang ditanyakan Fathimah Ra kepada Abu Bakar Ra bukan keseluruhan lahan Fadak, tapi bagian tertentu (spesifik), yakni saham / porsi bagian dari pembagian hasil (manfaat) lahan.
5. Obyek perselisihan keduanya adalah mengenai takwil hadits Nabi Saw "kami tidak menerima waris (yang diperoleh dalam tugas kenabian), sisa dari yang dipergunakan dari harta tersebut adalah sedekah" (لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ).
6) Fathimah Ra berpendapat pada takwil makna khusus hadits tersebut, yaitu bahwa bagian dari Fadak yang biasa (rutin) diberikan padanya tidak terlarang untuk diwariskan. Sedangkan Abu Bakar Ra berpegang teguh pada takwil umum, ketika (pokok harta) lahan Fadak tidak diwariskan, maka demikian pula manfaat dari lahan tersebut (turunan dari pokok), juga tidak diwariskan.
7) Abu Bakar Ra tidak mengubah cara pembagian Nabi Saw, bahkan menjadikan itu sebagai pedoman dalam pengelolaan lahan Fadak. Sehingga bagian (manfaat lahan Fadak) yang biasa diberikan untuk keluarga Fathimah Ra pada masa hidup Nabi Saw, tetap ia (Abu Bakar Ra) berikan kepada keluarga Fathimah Ra semasa pemerintahannya. Namun status alokasi tersebut bukan diserahkan sebagai status waris.
8) Sikap Fathimah Ra meninggalkana Abu Bakar Ra saat terjadi ikhlitaf sudah benar. Dimana, ketika beliau kesal, beliau memilih untuk meninggalkan pembicaraan tersebut di satu sisi, namun di sisi lain menghormati keputusan Abu Bakar Ra selaku ulil amri. Di mana belian beserta seluruh ahlulbait Nabi, menerima pembagian, dari harta fadak, sebagai keputusan Abu Bakar Ra. selama pemerintahan beliau.
Catatan Kaki :
¹) Dalam kitab Fathul Bari, pada Bab Fardh al-khumus, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani (W. 1449) menjelaskan tentang fadak sebagai berikut:
Mengenai Khaibar, berdasar riwayat Ma'mar disebut "bagian sahamnya dari (hasil / manfaat) lahan di Khaibar". Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dengan sanad sahih sampai Sahl bin Abi Khaitsamah, beliau berkata, Rasulullah Saw membagi hasil Khaibar menjadi 2 bagian. 1 bagian untuk keperluan keluarganya dan dirinya sedangkan 1 bagian sisanya untuk keperluan kaum muslimin yang beliau bagi menjadi 19 saham. Riwayat lain juga punya makna yang sama, dari jalur Basyir bin Yasar, mursal tanpa melalui Sahl.
²) Ibid,
"Suatu kawasan yang jaraknya 3 marhalah (sekitar 72 mil) dari Madinah. Sebagian kisahnya seperti yang telah disampaikan oleh para pencatat sejarah, bahwasanya penduduk Fadak adalah termasuk kaum Yahudi. Tatkala Khaibar berhasil dikalahkan oleh Rasulullah Saw, penduduk Fadak menyampaikan utusan pada beliau Saw untuk diberikan jaminan keamanan, supaya mereka dapat pergi meninggalkan Fadak, lalu pindah keluar ke tempat lain (lalu meninggalkan tanah dan lahan yang selanjutnya sesuai hukum dikuasai oleh Rasulullah Saw).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur Ibn Ishaq dari Al-Zuhri, bahwasanya penduduk yang tinggal di sekitar Khaibar (setelah Khaibar berhasil dikalahkan), mereka mengajukan pada Nabi Saw, permintaan jaminan keamanan untuk membiarkan mereka pergi meninggalkan tanahnya, lalu Nabi mengabulkannya. Kemudian berita itu sampai pada penduduk Fadak, dan mereka melakukan hal yang sama".
³) kbbi.kemdikbud.go.id/entri/selisih
⁴) Umar bin Abdul Aziz (Wafat 5 Februari 720 M), dalam sejarah disebut juga Umar II, berkuasa hanya selama 2-3 tahun, tapi berhasil melakukan banyak perombakan. Beliau memerintah dengan adil. Pada masanya, beliau meyerahkan penguasaan kelola tanah Fadak kepada ahlulbait Nabi Saw.
Beliau Cucu dari Marwan bin Hakam. Ibunya bernama Laila binti Asim, cucu dari Umar bin Khattab Ra.
⁵) Shohih Bukhari, Kitab Fardh Al-Khumus, Bab Ada'ul khumus min Al-Din, hadits No. 2926
"Menyampaikan kami Abdul Aziz bin Abdullah, menyampaikan kami Ibrahim bin Sa'ad dari Shalih dari Ibn Syihab, beliau berkata, mengabarkan padaku Urwah bin Zubair bahwasanya Ummul Mukminin Aisyah mengabarkan padanya, bahwasanya Fathimah alaihassalam putri Rasulullah Saw bertanya pada Abu Bakar As-Shidiq, setelah wafatnya Rasulullah Saw tentang membagikan waris dari peninggalan Rasulullah Saw dari fa'i yang dianugerahkan Allah pada Nabi Saw.
Abu Bakar berkata padanya, bahwasanya Rasulullah dahulu berkata, "kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan (sisa dari penggunaan manfaat) adalah menjadi sedekah". Fathimah putri Rasulullah kesal lalu meninggalkan Abu Bakar hingga saat beliau wafat. Beliau hidup selama 6 bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Berkata (Aisyah), saat itu Fathimah menanyakan bagiannya dari bagian yang ditinggalkan Rasulullah dari Khaibar, Fadak dan sedekah di Madinah, maka Abu Bakar menolak dan mengatakan, Aku tidak akan meninggalkan satu hal pun yang dahulu dilakukan Rasulullah, kecuali akan aku kerjakan pula, sebab aku takut jika ada yang aku lewatkan maka aku akan menyimpang. Adapun sedekah beliau (dari hasil tanah) di Madinah, maka diserahkan pada masa Umar, oleh beliau kepada Ali dan Abbas. Adapun lahan Khaibar dan Fadak maka Umar Ra tetap memegang urusannya dengan mengatakan keduanya adalah sedekah Rasulullah Saw atas nama beliau. Keduanya juga untuk memenuhi kebutuhan beliau Saw sebagai yang mengurusnya dan kebutuhan para walinya. Dan pengurusnya diserahkan pada waliulamri (ululamri). Dia (Perawi hadits) berkata keadaan keduanya (khaibar dan fadak) tetap seperti itu sampai hari ini (masa perawi hadis)".
⁶) Bernama lengkap Syihabuddin Abu Al-Fadhl Ahmad ibn Nur Al-Din Ali ibn Muhammad ibn Hajar Al-Asqalani. Lahir di Kairo Th. 773 H (18 Februari 1372 M). Ayahnya bernama Nur Al-Din Ali, seorang ulama dan penyair terkenal, yang pindah dari Alexandria, Mesir ke Ashkelon, Palestina. Karena itu maka beliau dikenal dengan Al-Asqalani. Beliau seorang ulama besar polimatik, yang menguasai banyak bidang ilmu yang sangat luas. Meninggal di Kairo, 8 Dzul Hijjah 852 H (2 Februari 1449 M). Karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab dan karya yang paling monumental adalah Fathul Bari, yang diselesaikan dalam kurun 25 tahun.
⁷) Fathul Bari, Syarah hadits 2926, Shohih Bukhari, kitab Fardh Al-Khumus, Bab Ada'ul khumus min Al-Din
⁸) Ibn Malik (600 H - 672 H / 1204 M - 1274 M). Seorang ulama pakar di bidang tata bahasa. Dilahirkan di Spanyol Karyanya sangat banyak, termasuk yang sangat terkenal adalah kitab Alfiyah Ibn Malik, yang digunakan secara luas di pengajaran pesantren dan sekolah-sekolah di seluruh dunia.
⁹) Fathul Bari, Shahih Bukhari, Kitab Ghazwah bab qishah bani Nadhir hadits no. 3730
Bahwa Fathimah alaihas salam, dan Al-Abbas mendatangi Abu Bakar untuk meminta warisan mereka, yaitu tanah Nabi ﷺ di Fadak dan bagian (ghanimah) dari Khaibar. Maka Abu Bakar berkata:
¹⁰) Shahib Bukhari, Kitab Fardh Al-Khumus, Hadits no. 2863
Malik bin Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Malik bin Aus bin Al-Hadathan. Muhammad bin Jubair telah menyebutkan kepadaku tentang hadis ini, maka aku mendatangi Malik bin Aus dan bertanya kepadanya tentang hadis itu. Malik bin Aus berkata:
“Ketika aku sedang duduk bersama keluargaku di pagi hari, seorang utusan dari Umar bin Khattab datang kepadaku dan berkata, ‘Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.’ Maka aku pun pergi bersamanya hingga aku menemui Umar. Umar sedang duduk di atas sebuah dipan yang terbuat dari anyaman pelepah kurma tanpa alas, bersandar pada bantal dari kulit. Aku mengucapkan salam kepadanya dan duduk. Umar berkata, ‘Wahai Malik, ada beberapa orang dari kaummu yang datang meminta bantuan, dan aku telah memerintahkan untuk memberikan sesuatu kepada mereka. Ambillah dan bagikan di antara mereka.’ Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau perintahkan orang lain saja.’ Umar berkata, ‘Ambillah, wahai laki-laki!’
Ketika aku sedang bersamanya, datanglah pelayan Umar, Yarfa, dan berkata, ‘Apakah engkau ingin bertemu dengan Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubair, dan Sa‘d bin Abi Waqqash? Mereka meminta izin masuk.’ Umar menjawab, ‘Ya, persilakan mereka masuk.’ Mereka pun masuk, mengucapkan salam, lalu duduk. Setelah itu, Yarfa duduk sebentar dan berkata, ‘Apakah engkau ingin bertemu dengan Ali dan Abbas?’ Umar menjawab, ‘Ya, persilakan mereka masuk.’ Mereka pun masuk, mengucapkan salam, lalu duduk.
Abbas berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, putuskanlah perkara antara aku dan orang ini (Ali).’ Mereka berdua berselisih mengenai harta yang Allah berikan kepada Rasul-Nya ﷺ dari Bani Nadhir.
Kelompok Utsman dan sahabatnya berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, putuskanlah perkara antara mereka dan selesaikanlah.’
Umar berkata, ‘Aku bersumpah kepada kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya langit dan bumi tegak. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Kami tidak diwarisi; apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?’ Rasulullah ﷺ merujuk kepada dirinya sendiri. Mereka menjawab, ‘Benar, Rasulullah ﷺ mengatakan hal itu.’
Kemudian Umar berpaling kepada Ali dan Abbas, lalu berkata, ‘Aku bersumpah kepada kalian berdua dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ mengatakan hal itu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, beliau mengatakan hal itu.’
Umar melanjutkan, ‘Allah telah memberikan keistimewaan kepada Rasul-Nya ﷺ terhadap harta fa’i ini dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada siapa pun selain beliau.’ Kemudian Umar membaca firman Allah:
“Dan apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka...” (QS Al-Hasyr: 6-7).
Harta ini khusus untuk Rasulullah ﷺ, dan demi Allah, beliau tidak menahannya dari kalian, tidak pula mengutamakan dirinya atas kalian. Beliau telah membagikan harta itu kepada kalian dan menyisihkan sebagian untuk keluarganya sebagai nafkah tahunan. Apa yang tersisa, beliau jadikan sebagai harta Allah. Rasulullah ﷺ mengelola harta ini selama hidupnya.
Kemudian Umar berkata, ‘Apakah kalian mengetahui hal itu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’
Lalu Umar berkata kepada Ali dan Abbas, ‘Aku bersumpah kepada kalian berdua dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’
Umar melanjutkan, ‘Setelah itu, Allah mengambil nyawa Nabi-Nya ﷺ. Lalu Abu Bakar berkata, Aku adalah wali Rasulullah ﷺ. Maka Abu Bakar mengelola harta itu sebagaimana Rasulullah ﷺ mengelolanya. Demi Allah, dia benar, jujur, dan mengikuti kebenaran.
Setelah Allah mengambil nyawa Abu Bakar, aku pun menjadi wali. Aku mengelola harta itu selama dua tahun masa kekhalifahanku sebagaimana Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar mengelolanya. Demi Allah, aku pun jujur, adil, dan mengikuti kebenaran dalam hal ini.
Kemudian kalian berdua datang kepadaku, meminta hal yang sama. Wahai Abbas, engkau datang meminta bagianmu sebagai paman Rasulullah ﷺ, dan engkau, wahai Ali, meminta bagian istrimu sebagai putri Rasulullah ﷺ. Aku berkata kepada kalian bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Kami tidak diwarisi; apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.
Ketika aku hendak menyerahkan harta itu kepada kalian, aku berkata, ‘Jika kalian menginginkannya, aku serahkan kepada kalian dengan syarat kalian harus berjanji kepada Allah untuk mengelolanya sebagaimana Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan aku sendiri mengelolanya.’ Kalian berkata, ‘Serahkanlah kepada kami.’ Maka aku pun menyerahkannya kepada kalian.’
Umar berkata, ‘Apakah aku telah menyerahkannya kepada kalian dengan syarat itu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’
Terima kasih min, sangat jelas dan bermanfaat. Baru di sini dapat penjelasan begini rinci.
BalasHapus