Langsung ke konten utama

Bagaimana Menyikapi Perselisihan Tanah Fadak? Apakah Siti Fathimah Ra Memutuskan Silaturahim?

Bagaimana Menyikapi Perselisihan Fadak? Apakah Siti Fathimah Ra Memutuskan Silaturahim?

Bismillahirrahmanirrahim,

Pendahuluan

Beberapa waktu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, Sayidah Fathimah Az-Zahra Ra mendatangi Sayidina Abu Bakar As-Shidiq Ra. Beliau bermaksud menanyakan tentang bagian dari peninggalan ayahnya (Nabi Saw), yaitu sebagian ¹) dari tanah fadak ²).

Keduanya memiliki perbedaan pendapat, yang pada akhirnya membuat Fathimah Ra kesal. Karena tidak terjadi mufakat, maka Fathimah Ra meninggalkan Abu Bakar Ra dan tidak lagi membicarakannya sampai dengan wafat beliau, sekitar 6 bulan setelah ayahnya, yakni, Nabi Saw wafat.

Hadis utuh akan kami sampaikan kemudian.

Dari riwayat ini, pada masa-masa berikutnya timbul berbagai macam interpretasi. Di antaranya ada yang berpendapat mengenai benar-salah, bahwa salah satunya benar sedang yang lain salah dan tercela. Ada lagi yang berpendapat bahwa Sayidina Abu Bakar Ra mengambil hak waris Fathimah Ra. Ada juga yang berpendapat bahwa Fathimah Ra menuntut bagian yang bukan haknya. Dan lain sebagainya.

Pada tulisan kali ini, kita akan bersama-sama membahas ini melalui 2 jalur pembahasan.

Pada bagian pertama kita akan paparkan pada pembaca, model perselisihan sesuai hukum Islam secara obyektif, sehingga kita memiliki gambaran utuh dan obyektif untuk menyikapinya dengan cara dikembalikan pada hukum, sesuai hukum Islam.

Oleh karena ini adalah kisah sejarah, maka tidak pada tempatnya jika fakta sejarah tersebut dibubuhi interpretasi subyektif orang yang tidak ahli di bidangnya. 
Oleh karenanya, untuk menjaga obyektivitas maksud hadis, memerlukan 2 hal secara bersamaan :
- Sumber sejarah yang kuat dan dapat diandalkan.
- Interpretasi dari pakar yang kredibel, baik pakar hadits sekaligus pakar sejarah.

Maka pada bagian kedua, kita akan paparkan riwayat hadis di atas secara utuh, dengan mengambil dari sumber yang kredibel. Kami akan berupaya sedapat mungkin hanya menyampaikan tanpa tambah-kurang agar tidak bercampur dengan interpretasi pribadi penulis. Kiranya terdapat perubahan redaksi semata-mata hanya untuk tujuan memudahkan terjemah untuk dipahami.

Kita akan mulai bagian pertama.

A. Perselisihan Tanah Fadak dan Menyikapinya

Perselisihan berasal dari kata "selisih", yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna "beda" atau "hal tidak sependapat" ³). Dalam bahasa Arab berarti "ikhtilaf" (إختلاف)

Dalam hukum Islam, ikhtilaf hanya terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
1. Perbedaan pokok (ikhtilaf usuli), dan
2. Perbedaan cabang (ikhtilaf furu'i)

Perbedaan pokok adalah perbedaan yang tidak bisa ditolerir, sebab masalah pokok adalah masalah fundamental / prinsip agama, tentang benar-salah. Dalam hukum Islam, biasanya berada dalam kisaran hukum haram dan fardhu. Contohnya, orang yang menolak adanya Allah SWT, malaikat, hari akhir, menolak adanya kewajiban sholat, puasa dan lain sebagainya. Maka, orang yang menyelisihi pokok, secara hukum Islam dapat dikategorikan sebagai kafir atau murtad. Setidaknya, orang yang menyelisihi ushuli akan berdosa besar, bersalah dan tercela.

Sedangkan perbedaan cabang adalah perbedaan yang berada di luar prinsip agama. Di dalamnya memang diperkenankan terjadi ikhtilaf, atau perbedaan pendapat. Dalam wilayah ini, perselisihan yang terjadi tidak dikategorikan sebagai benar-salah, tapi paling jauh hanya mengenai fadhoiliyyah (keutamaan). Dalam hukum Islam, biasanya berada dalam kisarah hukum mubah, makruh dan sunnah. Contoh dalam hal ini misalnya orang yang tidak mempercayai doa qunut pada sholat subuh, menolak hitungan 3x dalam wudhu, menolak makan kepiting air tawar dan lain sebagainya.

Sekarang, kita memiliki 2 opsi (pilihan) sebagaimana dijelaskan di atas, apakah akan menempatkan perselisihan antara Sayidah Fathimah Ra dan Sayidina Abu Bakar Ra sebagai perbedaan pokok ataukah sebagai perbedaan cabang.

Apabila kita menganggap bahwa perbedaan keduanya adalah pokok, maka salah satu dari mereka "benar" dan yang yang lain "salah, berdosa besar dan tercela". Siapapun juga orang yang membenarkan berarti berada dalam posisi benar, sebaliknya siapapun juga yang berselisih dari pendapat yang benar, maka mereka berada dalam posisi yang salah, berdosa besar dan tercela.

Mari kita lihat lebih dalam.

Apabila Sayidah Fathimah Ra dalam posisi benar, maka Sayidina Abu Bakar Ra dalam posisi salah, berdosa besar dan tercela. Demikian pula setiap muslim yang berpendapat sesuai dengan Abu Bakar Ra, maka semuanya berada dalam posisi salah, berdosa besar dan tercela. Demikian pula sebaliknya.

Apakah cukup sampai di sini? Tidak!

Ada masalah lain. Juga akan terdapat kontradiksi yang amat kompleks, jika kita menempatkan perbedaan keduanya sebagai ikhtilaf usuli.

Apa saja itu, mari kita lihat beberapa di antaranya, sebagai berikut:
1. Fathimah Ra turut menjadi salah dan berdosa. Mengapa? Sebab beliau menerima keputusan Abu Bakar Ra, yang mana Abu Bakar Ra melanjutkan keputusan Nabi Saw, di mana pengelolaan (lahan) Fadak dikuasai oleh Imam / khalifah dan membagikan sebagian manfaat dari Fadak untuk ahlulbait. Seandainya ini perkara yang menyalahi secara ushuli, maka wajib hukumnya menolak, termasuk pula menolak turunan keputusannya, termasuk di dalamnya menolak pembagian manfaatnya. 
Namun dalam kenyataannya, tidak demikian, di mana Sayidah Fathimah Ra tetap menerima pembagian manfaat, yang merupakan turunan dari keputusan Abu Bakar Ra.

2. Sayidina Ali Kw turut dalam kesalahan dan berdosa, sebab turut menerima keputusan Sayidina Abu Bakar Ra. Baik pada masa khalifah Abu Bakar Ra, Umar Ra dan Utsman Ra, yang keseluruhannya mencapai hingga 25 tahun. Terlebih beliau turut membaiat ketiga khalifah tersebut dan ikut serta sebagai pendukung dan penasehat dalam berbagai pengambilan keputusan.

Bahkan beliau lebih salah dan berdosa lagi, saat hampir 5 tahun menjabat sebagai khalifah, yang mana saat itu memiliki kekuasaan untuk mengubah keputusan, namun tidak beliau lakukan. Seandainya ikhtilaf tersebut bersifat ushuli, maka wajib bagi seseorang  berlepas diri di saat tidak memiliki kuasa dan wajib mengubahnya di saat ia memiliki kuasa. Apabila ia tidak melakukannya, maka ia bersalah, berdosa besar dan tercela.

3. Demikian pula keseluruhan ahlulbait lainnya seperti Sayidina Hasan Ra, Husain Ra, Ali Zainal Abidin Ra, Hasan Al-Mutsanna Ra, Zaid bin Ali Ra dan lainnya. Mereka turut bersalah, berdosa besar dan tercela, di mana mereka menerima bagi hasil dari lahan Fadak, yang asalnya merupakan keputusan Abu Bakar Ra. Bahkan pada masa Sayidina Umar Ra bagian tersebut ditambah menjadi lebih banyak. Fadak dan pengelolaannya baru diserahkan kepada ahlulbait pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz ⁴).


Namun cerita di atas akan berbeda 180 derajat, jika perselisihan Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra masuk dalam ikhtilaf furu'i (cabang agama). Keseluruhan masalah dan kontradiksi di atas selesai dengan sendirinya. Mengapa?

Sebab secara hukum, ikhtilaf furu'i membolehkan adanya perbedaan pendapat. Tidak satupun dari keduanya yang berdosa, tidak pula dinilai sebagai salah dan tercela. Maka siapapun juga yang berpendapat mengikuti salah satunya atau mengikuti pihak yang lain tidak menjadi masalah. Tidak berdosa, tidak pula dinilai salah dan tercela.

Sebab ikhtilaf furu'i berkisar pada persoalan fadhoiliyyah (keutamaan). Bisa jadi pada saat dan kondisi tertentu pilihan pertama lebih utama, namun pada saat dan kondisi yang berbeda pilihan kedua berubah menjadi yang lebih utama.

Maka sikap Sayidah Fathimah Ra, Sayidina Ali Kw, Hasan Ra, Husain Ra dan ahlulbait lainnya yang menerima keputusan Abu Bakar Ra menjadi tidak masalah.

Demikian pula ketika penguasaan Fadak dan pembagiannya diserahkan kepada ahlulbait pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka saat itu juga tidak masalah, karena bisa jadi saat itu, pilihan tersebut lebih utama.

Sekarang, mari kita masuk ke bagian kedua.

B. Riwayat Perselisihan Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra Terkait Fadak

Mengingat hadis yang akan kami bawakan tersebut cukup panjang, untuk meringkas ruang pembaca, maka kami cantumkan secara lengkap di catatan kaki ⁵)

Atas penjelasan hadis tersebut, kami akan memaparkannya mengikuti pendapat seorang ulama besar polimatik, sekaligus pakar hadits yang sangat kredibel (dapat dipercaya) dan sangat kompeten di bidangnya, yaitu Imam Ibn Hajar Al-Asqalani ⁶). Dalam kitab master piece-nya, Fathul Bari. ⁷) 

Hemat kami, pembahasan beliau sangat lengkap dan lugas. Kami akan berupaya menyampaikan apa adanya dari tulisan beliau dari kitab Fathul Bari.
Mari kita ikuti setahap demi setahap, sebagai berikut.

Redaksi - Cakupan obyak

قَوْلُهُ : ( أَنَّ فَاطِمَةَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ ) زَادَ مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ " وَالْعَبَّاسِ أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ " وَسَيَأْتِي فِي الْفَرَائِضِ
قَوْلُهُ : ( مَا تَرَكَ ) هُوَ بَدَلٌ مِنْ قَوْلِهِ " مِيرَاثَهَا " وَفِي رِوَايَةِ الْكُشْمِيهَنِيِّ " مِمَّا تَرَكَ "

- Teks hadis "Fathimah bertanya pada Abu Bakar", pada riwayat lain, yaitu hadits Ma'mar dari Al-Zuhri ditambahkan kalimat "dan Abbas, keduanya (Fathimah dan Abbas) mendatangi Abu Bakar". Akan aku (Ibn Hajar) terangkan menyusul pada bab "Faraid" -.

- Redaksi hadis "yang ditinggalkan" (مَا تَرَكَ) adalah "badal" (kata ganti) dari kata "bagian waris Fathimah" (مِيرَاثَهَا) -.

- Kata ini diterangkan dalam riwayat Al-Kusymihani dengan redaksi "sebagian dari" "mimma taroka" (مِمَّا تَرَكَ) -.

Pada bagian ini, Ibn Hajar sendang menjelaskan, bahwa Fathimah Ra bukan sedang menanyakan keseluruhan lahan Fadak, namun bagian tertentu (مِمَّا) dari Fadak.

Bantahan Redaksi dan Cara Baca

وَفِي هَذِهِ الْقِصَّةِ رَدٌّ عَلَى مَنْ قَرَأَ قَوْلَهُ " لَا يُورَثُ " بِالتَّحْتَانِيَّةِ أَوَّلَهُ وَ " صَدَقَةً " بِالنَّصْبِ عَلَى الْحَالِ ،

- Pada riwayat ini, terdapat jawaban yang menolak sementara pihak yang membaca teks dengan bacaan (dengan huruf "ya") "la yuurats" (لَا يُورَثُ) berbentuk pasif, dan membaca (dengan tanwin fathah)  "shodaqotan" (tan) berstatus "manshub", dengan maksud sebagai penjelas keadaan -.

Maksudnya, ada sementara pihak yang membaca hadits ini secara berbeda, yaitu dengan redaksi (لاَ يُورثُ ما تركنا صدقةً), sehingga, seolah ucapan Nabi Saw adalah berupa 1 kalimat tunggal yang berbunyi "yang kami tinggalkan itu tidak diwariskan, (seluruhnya) adalah berupa sedekah". Bila demikian, maka seolah-olah Abu Bakar Ra menggunakan teks tersebut sebagai alat untuk menolak permintaan Fathimah Ra, dengan seolah mengatakan bahwa 100 % dari peninggalan Nabi Saw (100 % lahan Fadak, lahan Khaibar dan lahan sedekah Madinah) adalah menjadi berstatus sedekah. Sedangkan sedekah itu hukumnya haram bagi Nabi Saw dan keluarganya sehingga tidak diwariskan. 

Dengan kata lain, (menurut dugaan pendapat tersebut) Abu Bakar Ra menolak sama sekali (menolak 100 %) permintaan Fathimah dengan alasan ucapan Nabi.

وَهِيَ دَعْوَى مِنْ بَعْضِ الرَّافِضَةِ فَادَّعَى أَنَّ الصَّوَابَ فِي قِرَاءَةِ هَذَا الْحَدِيثِ هَكَذَا

- Yang demikian itu adalah dakwaan dari sekelompok kalangan rafidhah. Maka mereka mendakwa bahwa redaksi yang benar adalah seperti itu - (seperti bacaan di atas, yang berisi penolakan 100 %).

وَالَّذِي تَوَارَدَ عَلَيْهِ أَهْلُ الْحَدِيثِ فِي الْقَدِيمِ وَالْحَدِيثِ " لَا نُورَثُ " بِالنُّونِ وَ " صَدَقَةٌ " بِالرَّفْعِ ، وَأَنَّ الْكَلَامَ جُمْلَتانِ وَ " مَا تَرَكْنَا " فِي مَوْضِعِ الرَّفْعِ بِالِابْتِدَاءِ وَ " صَدَقَةٌ " خَبَرُهُ ، وَيُؤَيِّدُهُ وُرُودُهُ فِي بَعْضِ طُرُقِ الصَّحِيحِ " مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ

- (Padahal, redaksi) yang dilaporkan ahlulhadits adalah redaksi yang disebutkan di awal, bahwa redaksi hadits adalah (لَا نُورَثُ) dengan huruf "nun" dan kata "shodaqatun" (tun) berbentuk "marfu'.
Bahwasanya kalimat tersebut iterdiri dari 2 sub kalimat (bukan 1 kalimat tunggal), lalu kata "yang kami tinggalkan" (مَا تَرَكْنَا) berstatus "mubtada" dan kata (صَدَقَةٌ) berstatus "khobar" -.

Maksudnya, Imam Ibn Hajar menjelaskan bahwa redaksi hadits yang benar adalah yang sesuai redaksi yang dibawakan dalam Shohih Bukhari (dan kitab-kitab hadits lainnya), yaitu berbunyi (لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ). 

Di mana, Kalimat tersebut sebenarnya bukan berupa 1 kalimat, tetapi berupa 2 kalimat. 
Kalimat pertama berbunyi "kami tidak diwarisi" dan kalimat kedua berbunyi "apa yang kami tinggalkan (sisakan) adalah berupa sedekah".

Maksud kalimat ini adalah bahwa yang berupa sedekah itu bukan keseluruhan obyek (bukan 100 % Fadak, khaibar dan sedekah Madinah), namun selebihnya (sisa) dari pembagian oleh Nabi Saw atas hasil pemanfaatan lahan. 
Bahwa dari hasil Fadak dan khaibar,  Nabi Saw membagi menjadi sejumlah bagian, di antaranya untuk istri-istrinya, untuk ahlulbait dan Bani Hasyim, pelayan Nabi dan "selebihnya" dialokasikan untuk menjadi sedekah kaum muslimin.

وَيُؤَيِّدُهُ وُرُودُهُ فِي بَعْضِ طُرُقِ الصَّحِيحِ " مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ

- Dan dikuatkan pula hadits tersebut dalam berbagai jalur yang sahih, dengan redaksi yang serupa "apa yang kami tinggalkan (sisa selebihnya) maka itu adalah sedekah" -.

وَقَدِ احْتَجَّ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ عَلَى بَعْضِ الْإِمَامِيَّةِ بِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ احْتَجَّ بِهَذَا الْكَلَامِ عَلَى فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِيمَا الْتَمَسَتْ مِنْهُ مِنَ الَّذِي خَلَّفَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْأَرَاضِي وَهُمَا مِنْ أَفْصَحِ الْفُصَحَاءِ وَأَعْلَمِهِمْ بِمَدْلُولَاتِ الْأَلْفَاظِ

- Sebagian muhadits telah pula membantah pendapat dari sekelompok kaum Syiah Imamiyah yang mengatakan bahwa "Abu Bakar Ra menggunakan hadits ini untuk menolak Fathimah Ra, yang meminta bagian dari tanah-tanah peninggalan Rasulullah Saw". Padahal keduanya (Fathimah Ra dan Abu Bakar Ra) adalah orang-orang yang paling fasih dan paling mengetahui tentang ilmu dalil dan ilmu tata bahasa -.

وَلَوْ كَانَ الْأَمْرُ  - ص 233 - كَمَا يَقْرَؤُهُ الرَّافِضِيُّ لَمْ يَكُنْ فِيمَا احْتَجَّ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حُجَّةٌ وَلَا كَانَ جَوَابُهُ مُطَابِقًا لِسُؤَالِهَا ، وَهَذَا وَاضِحٌ لِمَنْ أَنْصَفَ

- Seandainya benar bahwa perkara ini seperti cara baca sekelompok Rafidhi tersebut, (bahwa Fathimah Ra meminta tanah Fadak, lalu Abu Bakar Ra menolak dengan redaksi hadis yang berbeda itu), maka hujah yang disampaikan Abu Bakar untuk menolak Fathimah Ra menjadi aneh, tidak relevan. Demikian pula jawaban yang disampaikan jadi tidak "nyambung" dengan pertanyaan Fathimah Ra. Sedangkan kenyataannya, jawaban beliau bersifat gamblang bagi orang yang mengerti tentang sifat bahasa -.

Bantahan Redaksi - Abu Bakar Ra Tidak Mendengar Langsung Hadits dari Nabi Saw


قَوْلُهُ : ( إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) فِي رِوَايَةِ مَعْمَرٍ " سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " وَهُوَ يَرُدُّ تَأْوِيلَ الدَّاوُدِيِّ الشَّارِحِ فِي قَوْلِهِ إِنَّ فَاطِمَةَ حَمَلَتْ كَلَامَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّمَا سَمِعَهُ مِنْ غَيْرِهِ ، وَلِذَلِكَ غَضِبَتْ ، وَمَا قَدَّمْتُهُ مِنَ التَّأْوِيلِ أَوْلَى

- Kalimat "sesungguhnya Rasulullah Saw", dalam riwayat lain oleh Ma'mar berbunyi "Aku (Abu Bakar Ra) mendengar Rasulullah Saw".
Oleh karenanya, ini menjadi bantahan atas takwil Al-Dawudi, yang mensyarah hadits, di mana beliau mengatakan bahwa kekesalan Fathimah Ra pada Abu Bakar Ra lantaran Abu Bakar tidak mendengar langsung dari Rasulullah Saw, tapi melalui orang lain. Oleh karena itu, pendapat yang akan saya (Ibn Hajar) kemukakan di sini lebih utama daripada takwil (Al-Dawudi) -.

Redaksi - Tidak Berbicara atau Tidak Membicarakan?

قَوْلُهُ : ( فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ ) فِي رِوَايَةِ مَعْمَرٍ " فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَ " وَوَقَعَ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ شَبَّةَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ مَعْمَرٍ " فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ الْمَالِ " ، وَكَذَا نَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ بَعْضِ مَشَايِخِهِ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِ فَاطِمَةَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ لَا أُكَلِّمُكُمَا أَيْ فِي هَذَا الْمِيرَاثِ

- Kalimat "maka Fathimah kesal, lalu meninggalkan (hijrah) Abu Bakar, dan tetap dalam hijrahnya", dalam riwayat Ma'mar berbunyi "maka Fathimah meninggalkannya dan tidak lagi membicarakannya hingga beliau wafat".
Telah jelas apa yang disampaikan oleh Umar bin Syabbah, juga dari Ma'mar pada riwayat lainnya dengan redaksi "maka ia (Fathimah) tidak lagi membicarakan harta itu". Demikian juga Imam Al-Tumudzi menukil dari guru-gurunya, bahwa makna dan maksud ucapan Fathimah Ra kepada Abu Bakar dan Umar Ra adalah tidak lagi berbicara kepada keduanya, khusus berkaitan dengan perkara waris tersebut -.

Maksudnya, Ibn Hajar menjelaskan makna hadis, bahwa Bukanlah Fathimah Ra bertekad untuk tidak mau lagi bicara dengan Abu Bakar Ra, tetapi bertekad untuk tidak lagi membicarakan tentang "perkara waris tersebut".

Redaksi Makna "Hijrah" Fathimah Ra


وَتَعَقَّبَهُ الشَّاشِيُّ بِأَنَّ قَرِينَةَ قَوْلِهِ " غَضِبَتْ " تَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا امْتَنَعَتْ مِنَ الْكَلَامِ جُمْلَةً وَهَذَا صَرِيحُ الْهَجْرِ

- Al-Syasyi juga mengikuti pendapat tersebut dan argumentasi beliau bahwa maksud (qarinah) teks "kesal" adalah bahwasanya beliau (Fathimah Ra) melarang dirinya (menahan diri) dari pembicaraan tersebut. Dan, hal demikian adalah hijrah yang dibenarkan (tidak terlarang secara hukum Islam) -.

وَأَمَّا مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ مِنْ طَرِيقِ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ : " أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ : أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ ؟ قَالَ : لَا بَلْ أَهْلُهُ ، قَالَتْ : فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :  إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهَا لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ  ، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ قَالَتْ : فَأَنْتَ وَمَا سَمِعْتَهُ " فَلَا يُعَارِضُ مَا فِي الصَّحِيحِ مِنْ صَرِيحِ الْهُجْرَانِ ، وَلَا يَدُلُّ عَلَى الرِّضَا بِذَلِكَ

- Adapun redaksi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari jalur Abu Thufail yakni "Fathimah Ra mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar Ra, lalu bertanya pada Abu Bakar Ra, "Engkau yang (berhak) mewarisi Rasulullah Saw atau keluarganya?" Abu Bakar menjawab, "keluarganya". Maka utusan itu berkata, "lalu mana bagian (saham) Rasulullah Saw (dari sebagian peninggalan beliau)?" Abu Bakar Ra menjawab, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda": "ketika Allah SWT memberikan (sumber pencaharian) untuk penghidupan pada seorang nabi, lalu kemudian Allah mewafatkannya, maka Dia jadikan (aturan/hukum) bahwa yang mengelolanya adalah orang (pemimpin) yang menggantikan setelahnya. Maka aku berpendapat untuk melakukan hal yang sama, dan memberikan (kepemilikannya) pada kaum muslimin. Maka utusan itu menjawab, "maka itu urusanmu dan apa yang kamu dengar".

Maka, redaksi dan makna dari riwayat tersebut tidak menyalahi riwayat dari kitab Sahih Bukhari, tentang hijrah yang dibenarkan, serta tidak pula menunjukkan tentang ke-tidak ridho-an Fathimah Ra -
.

ثُمَّ مَعَ ذَلِكَ فَفِيهِ لَفْظَةٌ مُنْكَرَةٌ ، وَهِيَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ " بَلْ أَهْلُهُ " فَإِنَّهُ مُعَارِضٌ لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ " أَنَّ النَّبِيَّ لَا يُورَثُ "

- Selain itu dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud di atas, terdapat pula lafadz yang munkar (tidak dikenal / menyelisihi hadis-hadis sahih), yaitu redaksi perkataan Abu Bakar Ra "(yang mewarisi) adalah keluarganya". Maka lafadz tersebut berselisih dari lafadz yang berasal dari hadits yang sahih, yakni Abu Bakar Ra mengatakan "bahwa seorang nabi tidak memperoleh harta (semasa tugas kenabian) sebagai waris"-.

Fathimah Ra tidak ridho atau ridho dengan Abu Bakar Ra?


نَعَمْ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيقِ الشَّعْبِيِّ " أَنَّ أَبَا بَكْرٍ عَادَ فَاطِمَةَ ، فَقَالَ لَهَا عَلِيٌّ : هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْكِ قَالَتْ : أَتُحِبُّ أَنْ آذَنَ لَهُ قَالَ : نَعَمْ ، فَأَذِنَتْ لَهُ ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا فَتَرَضَّاهَا حَتَّى رَضِيَتْ " وَهُوَ وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا فَإِسْنَادُهُ إِلَى الشَّعْبِيِّ صَحِيحٌ ، وَبِهِ يَزُولُ الْإِشْكَالُ فِي جَوَازِ تَمَادِي فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ عَلَى هَجْرِ أَبِي بَكْرٍ

- Benar demikian, Al-Baihaqi meriwayatkan dari jalur al-Sya'bi:
"Sesungguhnya Abu Bakar Ra mendatangi Fathimah Ra, maka Ali Ra berkata pada istrinya, (wahai istriku), "ini ada Abu Bakar datang, meminta izin untuk menemuimu". Fathimah Ra menjawab, "apakah engkau senang, jika ia diberi izin?", Ali Ra menjawab, "benar", maka Fathimah Ra mengizinkan Abu Bakar menemuinya, lalu Abu Bakar Ra meminta ke-ridho-an Fathimah Ra untuk dirinya, hingga Fathimah Ra ridho padanya" -.

- Hadis ini meskipun hanya sampai pada derajat mursal, namun rantai sanadnya sahih semua hingga pada Al-Sya'bi (sehingga sah menjadi sandaran). Adanya hadis ini menyelesaikan persoalan kiranya dianggap terdapat persoalan terkait hijrahnya Fathimah alaihassalam dari Abu Bakar Ra -
.

وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ : إِنَّمَا كَانَتْ هِجْرَتُهَا انْقِبَاضًا عَنْ لِقَائِهِ وَالِاجْتِمَاعِ بِهِ ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنَ الْهُجْرَانِ الْمُحَرَّمِ ; لِأَنَّ شَرْطَهُ أَنْ يَلْتَقِيَا فَيُعْرِضُ هَذَا وَهَذَا ، وَكَأَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ لَمَّا خَرَجَتْ غَضْبَى مِنْ عِنْدِ أَبِي بَكْرٍ تَمَادَتْ فِي اشْتِغَالِهَا بِحُزْنِهَا ، ثُمَّ بِمَرَضِهَا


- Berkata sebagian para Imam, persoalan hijrahnya Fathimah Ra selesai dengan bertemu dan berkumpul (keduanya sebagaimana hadits tersebut). Dan, hijrah yang seperti itu (bukan hijrah yang melarang / mencegah bertemu) maka tidak tergolong hijrah yang terlarang. Sebab syarat sahnya (hijrah yang terlarang) adalah ketika terdapat kesempatan bertemu, lalu terjadi menolak satu dari yang lain. Sedangkan yang terjadi pada Fathimah Ra, tatkala beliau kesal lalu keluar dari sisi Abu Bakar Ra, ia berjarak dengan Abu Bakar (bukan lantaran tidak mau bertemu, namun) karena kesibukannya (sebagai istri dan ibu), karena kesedihannya (karena wafat ayahnya Saw), lalu berlanjut pada keadaan beliau yang sakit (yang berat, yang menghalanginya untuk keluar dari kediamannya) -.

Sebab Kekesalan Fathimah Ra

وَأَمَّا سَبَبُ غَضَبِهَا مَعَ احْتِجَاجِ أَبِي بَكْرٍ بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فَلِاعْتِقَادِهَا تَأْوِيلَ الْحَدِيثِ عَلَى خِلَافِ مَا تَمَسَّكَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ ، وَكَأَنَّهَا اعْتَقَدَتْ تَخْصِيصَ الْعُمُومِ فِي قَوْلِهِ " لَا نُورَثُ " وَرَأَتْ أَنَّ مَنَافِعَ مَا خَلَّفَهُ مِنْ أَرْضٍ وَعَقَارٍ لَا يَمْتَنِعُ أَنْ تُورَثَ عَنْهُ ، وَتَمَسَّكَ أَبُو بَكْرٍ بِالْعُمُومِ ، وَاخْتَلَفَا فِي أَمْرٍ مُحْتَمِلٍ لِلتَّأْوِيلِ

- Adapun (obyek ikhtilaf) yang menjadi sebab kesalnya Fathimah Ra atas penolakan Abu Bakar sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas adalah soal takwil hadis Nabi Saw. Di mana beliau (Fathimah As) berpendapat pada makna takwil khusus. Sedangkan Abu Bakar Ra berpendapat pada takwil umum
Fathimah Ra berpendapat bahwa, manfaat (hasil) dari lahan tidak terlarang untuk diwariskan. 
Sedangkan Abu Bakar Ra berpegang pada takwil umum, bahwa jika lahan dan tanah tidak diwariskan, demikian pula manfaat dari lahan dan tanah juga tidak boleh dijadikan sebagai waris. 
Sehingga keduanya berselisih pada obyek yang diperbolehkan di dalamnya terjadi perbedaan takwil -.

فَلَمَّا صَمَّمَ عَلَى ذَلِكَ انْقَطَعَتْ عَنْ الِاجْتِمَاعِ بِهِ لِذَلِكَ ، فَإِنْ ثَبَتَ حَدِيثُ الشَّعْبِيِّ أَزَالَ الْإِشْكَالَ ، 
- Tatkala Abu Bakar berkeras hati pada pendiriannya, maka berselisihlah keduanya (pada bab takwil). Apabila dianggap dalam perselisihan tersebut terdapat persoalan di antara keduanya, maka persoalan tersebut telah selesai, dengan adanya hadis al-Sya'bi di atas (hadis Abu Bakar Ra mendatangi Fathimah Ra dan meminta keridhoan beliau) -.

Fathimah Ra Telah Bersikap Benar

وَأَخْلَقُ بِالْأَمْرِ أَنْ يَكُونَ كَذَلِكَ لِمَا عُلِمَ مِنْ وُفُورِ عَقْلِهَا وَدِينِهَا عَلَيْهَا السَّلَامُ ، وَسَيَأْتِي فِي الْفَرَائِضِ زِيَادَةٌ فِي هَذِهِ الْقِصَّةِ ، وَيَأْتِي الْكَلَامُ فِيهَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

- Dan akhlak yang benar dalam menyikapi perkara seperti itu memang benar sebagaimana dicontohkan Fathimah As (yakni, tatkala muncul rasa kesal dalam suatu perselisihan, maka beliau menghindar. Namun di sisi lain, beliau menerima keputusan Abu Bakar Ra, demi menghormati keputusan Abu Bakar Ra sebagai ulil amri). 
Yang demikian itu karena kesempurnaan ilmu, akal dan agama Fathimah alaihassalam. 
Saya (Ibn Hajar) akan menambahkan keterangan terkait kisah ini, pada pembahasan Bab Faraid, insyaallah- .

Obyek yang Dibicarakan Sama

وَقَدْ وَقَعَ فِي حَدِيثِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ " جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَتْ : مَنْ يَرِثُكَ ؟ قَالَ : أَهْلِي وَوَلَدِي ، قَالَتْ فَمَا لِي لَا أَرِثُ أَبِي قَالَ أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَا نُورَثُ وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ " وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ ) هَذَا يُؤَيِّدُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَنَّهَا لَمْ تَطْلُبْ مِنْ جَمِيعِ مَا خَلَّفَ ، وَإِنَّمَا طَلَبَتْ شَيْئًا مَخْصُوصًا

- Telah jelas pula hadits Imam Al-Turmudzi melalui Abu Salamah, dari Abu Hurairah Ra, Fathimah Ra datang pada Abu Bakar Ra, lalu beliau berkata, "siapa yang mewarisi engkau?" Abu Bakar Ra menjawab, "keluargaku dan anakku". Fathimah Ra bertanya, "lalu mengapa aku tidak mewarisi ayahku?" Abu Bakar Ra menjawab, "aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "kami tidak diwarisi", (tidak seperti yang mungkin engkau sangka, bahwa bagian yang biasa diberikan padamu akan terputus) Akan tetapi, aku akan mengelola (tanah-tanah peninggalan tersebut) dengan cara yang sama seperti dahulu Rasulullah Saw mengelolanya" (di mana, bagian yang biasa diberikan Rasulullah Saw kepada ahlulbait tetap akan ditunaikan juga seperti sebelumnya).

Pada saat itu, Fathimah Ra menanyakan bagiannya, yakni sebagian dari peninggalan Rasulullah Saw (bagian dari Fadak, Khaibar dan sedekah Madinah). Hadits ini menguatkan apa yang telah dipaparkan di muka, bahwa beliau (Fathimah Ra) tidak mengatakan keseluruhan peninggalan, tetapi meminta bagian khusus (tertentu) saja -.

Jadi, supaya lebih jelas, bahwa obyek yang dibicarakan keduanya adalah sama, yaitu bagian tertentu dari Fadak, berupa saham (pembagian tertentu) dari hasil Fadak yang biasa diberikan Rasulullah Saw pada Fathimah Ra. Sekali lagi, obyeknya bukan tanah Fadak secara utuh. Di sini, keduanya sepakat.

Perbedaannya adalah, Sayidah Fathimah Ra berpendapat bahwa bagian tersebut adalah waris dari ayahnya, sehingga beliau merasa berhak untuk mengambilnya.

Sedangkan Sayidina Abu Bakar Ra berpendapat bahwa bagian tersebut bukan waris, tapi, alokasi hasil (manfaat) tanah Fadak yang biasa dilakukan Nabi Saw semasa hidupnya. Di mana, beliau Saw membagi-bagikan hasil Fadak kepada sejumlah pihak, salah satunya kepada Fathimah Ra. 
Maka seperti itu pula Abu Bakar Ra bertekad melestarikan cara pelaksanaan tersebut sepanjang pemerintahannya.

Selanjutnya, Ibn Hajar menjelaskan panjang lebar terkait Khaibar dan Fadak yang dahulu dimiliki oleh kaum Yahudi yang menelikung Nabi Saw dan kaum muslimin.

Kami tidak muat dalam tulisan ini, supaya tidak bertele-tele, namun terdapat dalam catatan kaki ²).

Abu Bakar Ra Mengubah Aturan Nabi Tentang Pembagian Saham?

Selanjutnya, beliau mengatakan

قَوْلُهُ : ( لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ ) فِي رِوَايَةِ شُعَيْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ الْآتِيَةِ فِي الْمَنَاقِبِ " وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " وَهَذَا تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ : إِنَّ سَهْمَ النَّبِيِّ يَصْرِفُهُ الْخَلِيفَةُ بَعْدَهُ لِمَنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُهُ لَهُ ، وَمَا بَقِيَ مِنْهُ يُصْرَفُ فِي الْمَصَالِحِ

- Ucapan Abu Bakar Ra, "Aku tidak akan meninggalkan satu perkara pun yang mana dahulu Rasulullah Saw perbuat, melainkan aku juga akan melakukan hal yang sama". Pada riwayat Syu'aib dari Al-Zuhri di dalam kitab manaqib, "Dan, aku, demi Allah, tidak akan mengubah satu perkara pun dari sedekah-sedekah Rasulullah Saw dari tempatnya, yang mana dikerjakan pada masa hidup Rasulullah Saw"

Riwayat ini menolak tegas pendapat yang mengatakan bahwa "pembagian Nabi Saw telah diubah oleh khalifah selepas Nabi Saw". Namun (terbukti) kenyataannya beliau (Abu Bakar Ra) tak menyisakan satu perkara pun kecuali tetap dilaksanakan oleh beliau, tanpa perubahan -.

وَيَشْهَدُ لِصَنِيعِ أَبِي بَكْرٍ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمَرْفُوعُ الْآتِي بَعْدَ بَابٍ بِلَفْظِ  مَا تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِسَائِي وَمَئُونَةِ عَامِلِي فَهُوَ صَدَقَةٌ  فَقَدْ عَمِلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بِتَفْصِيلِ ذَلِكَ بِالدَّلِيلِ الَّذِي قَامَ لَهُمَا ، وَسَيَأْتِي تَمَامُ الْبَحْثِ فِي قَوْلِهِ " لَا نُورَثُ " فِي كِتَابِ الْفَرَائِضِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
قَوْلُهُ : ( فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ إِلَى الْيَوْمِ ) هُوَ كَلَامُ الزُّهْرِيِّ أَيْ : حِينَ حَدَّثَ بِذَلِكَ

- Perawi hadits bersaksi bahwa apa yang diperbuat oleh Abu Bakar Ra, yang dimuat dalam hadits Abu Hurairah Ra setelah ucapan Nabi "apa yang aku tinggalkan (sisa selebihnya) setelah nafkah istri-istriku dan cadangan untuk para pekerja, maka ia adalah menjadi (berupa) sedekah (buat kaum muslimin). Perawi hadis bersaksi bahwa Khalifah Abu Bakar Ra dan Umar Ra keduanya melaksanakan hal yang sama, menjadikan ucapan Nabi tersebut sebagai acuan dalam pengelolaan (tanah-tanah peninggalan Nabi Saw).

Aku (Ibn Hajar) akan melengkapi pembahasan redaksi "kami tidak diwarisi" (la nurits) pada pembahasan mendatang pada bab Faraid, insyaallah.

Redaksi "keduanya (perkara Fadak dan Khaibar) tetap tidak berubah seperti itu hingga hari ini" kalimat ini adalah ucapan  Al-Zuhri (perawi hadits, sebagai saksi hidup) pada saat beliau menyampaikan hadits ini -.

Pembahasan Tambahan Dalam Bab Faraid

Untuk menyempurnakan pembahasan, kami akan kutipkan pula penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, pada bab lain yakni kitab Faraid, sebagaimana beliau sampaikan berulang di atas, sebaagai berikut :

قَوْلُهُ : ( بَابٌ قَوْلُ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - : "  لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ  " ) هُوَ بِالرَّفْعِ أَيِ الْمَتْرُوكُ عَنَّا صَدَقَةٌ ، وَادَّعَى الشِّيعَةُ أَنَّهُ بِالنَّصْبِ عَلَى أَنَّ مَا نَافِيَةٌ ، وَرُدَّ عَلَيْهِمْ بِأَنَّ الرِّوَايَةَ ثَابِتَةٌ بِالرَّفْعِ ، وَعَلَى التَّنَزُّلِ فَيَجُوزُ النَّصْبُ عَلَى تَقْدِيرِ حَذْفٍ تَقْدِيرُهُ مَا تَرَكْنَا مَبْذُولٌ صَدَقَةً ؛ قَالَهُ ابْنُ مَالِكٍ ، وَيَنْبَغِي الْإِضْرَابُ عَنْهُ وَالْوُقُوفُ مَعَ مَا ثَبَتَتْ بِهِ الرِّوَايَةُ . وَذَكَرَ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَحَادِيثَ

- Kalimat "kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan (sisakan) adalah (menjadi) sedekah". Kata "sedekah" berbentuk "marfu'" yakni, yang tersisa dari kami (selebihnya) adalah sedekah. Sekelompok kaum Syiah bersikeras bahwa bentuknya (bukan marfu', tetapi) "manshub" dengan huruf "ma nafi" (bermakna tidak).
Akan tetapi teks riwayat menolak mereka, sebab redaksi riwayat berbentuk "marfu'"-.

- Secara ilmu nahwu, apabila dipaksakan dibaca "manshub", maka masih diperbolehkan, tetapi mesti mengorbankan "taqdir"nya, yaitu kata "ma tarakna". Demikian dikatakan oleh seorang ulama ahli nahwu, Ibn Malik ⁸). Bentuk yang lebih tepat adalah bermakna kata keterangan. Tetapi yang bisa jadi pegangan (yang paling akurat) adalah mengikuti redaksi riwayat yang sahih. Yang mana terdapat 4 riwayat hadits -.

أَحَدُهَا : حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ وَقِصَّتُهُ مَعَ فَاطِمَةَ ، قَدْ مَضَى فِي فَرْضِ الْخُمُسِ مَشْرُوحًا وَسِيَاقُهُ أَتَمُّ مِمَّا هُنَا .
- Hadits pertama adalah kisah Abu Bakar Ra dan Fathimah Ra sebagaimana telah dijelaskan dengan lebih lengkap pada pembahasan utama -.

Keluarga Nabi Mengambil Seperlunya Atau Hidup Bergantung Dari Harta Ini?

وَقَوْلُهُ فِيهِ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ كَذَا وَقَعَ وَظَاهِرُهُ الْحَصْرُ وَأَيُّهُمْ لَا يَأْكُلُونَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مُرَادًا وَإِنَّمَا الْمُرَادُ الْعَكْسُ وَتَوْجِيهُهُ أَنَّ مِنْ لِلتَّبْعِيضِ ، وَالتَّقْدِيرُ : إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ بَعْضَ هَذَا الْمَالِ ، يَعْنِي بِقَدْرِ حَاجَتِهِمْ وَبَقِيَّتُهُ لِلْمَصَالِحِ

- Pada hadits kedua⁹), di dalamnya terdapat redaksi "sesungguhnya keluarga Nabi Muhammad Saw makan dari harta ini", secara dhohir bermakna "hashr" (makna membatasi), seolah-olah berarti "semua anggota keluarga Nabi Saw tidak makan kecuali dari harta ini" tapi bukan seperti itu maksudnya. Maksud fungsi "hashr" (innama) dalam redaksi tersebut bermakna "tab'idh" (sebagian) dan "taqdir (sekedar), sehingga bermakna : "sesungguhnya keluarga Nabi Saw turut makan dari sebagian harta tersebut". Yakni, sekedar kebutuhannya dan selebihnya diserahkan semua untuk kemaslahatan umat (inilah yang dimaksud Nabi Saw "apa yang aku sisakan adalah sedekah").


ثَالِثُهَا : حَدِيثُ عُمَرَ فِي قِصَّةِ عَلِيٍّ وَالْعَبَّاسِ مَعَ عُمَرَ فِي مُنَازَعَتِهِمَا فِي صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَفِيهِ قَوْلُ عُمَرَ لِعُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ : هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ  - ص 9 - رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ :  لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ  يُرِيدُ نَفْسَهُ؟ فَقَالُوا : قَدْ قَالَ ذَلِكَ . وَفِيهِ أَنَّهُ قَالَ مِثْلَهُ لِعَلِيٍّ وَلِلْعَبَّاسِ فَقَالَا كَذَلِكَ الْحَدِيثُ بِطُولِهِ ، وَقَدْ مَضَى مُطَوَّلًا فِي فَرْضِ الْخُمُسِ وَذِكْرُ شَرْحِهِ هُنَاكَ

- Riwayat ketiga adalah hadits Umar dalam kisah Ali Ra dan Abbas Ra, dalam perselisihan keduanya terkait sedekah rutin Nabi Saw dari sebidang tanah di Madinah. Di dalamnya terdapat redaksi ucapan Umar Ra kepada sejumlah sahabat yaitu Utsman bin Affan Ra, Abdurrahman bin Auf Ra, Sa'ad bin Abi Waqash Ra dan Zubair bin Awwam Ra: "apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Saw bersabda "kami tidak diwarisi, yang kami sisakan adalah sedekah"? dan Itu keinginan beliau Saw sendiri, Maka mereka semua menjawab "benar, Nabi Saw telah mengatakan demikian".

Dalam hadits yang panjang tersebut juga ditanyakan pertanyaan yang sama kepada Ali Ra dan Abbas Ra, lalu keduanya menjawab dengan jawaban yang sama. Telah kami sampaikan pula "syarah" (penjelasannya) di pembahasan utama -.
Hadits dan pembahasan panjang terkait hadits ini (Riwayat Ali Ra dan Abbas Ra di hadapan Umar Ra) tidak kami muat dalam tulisan ini supaya tidak bertele-tele, namun hadits tersebut kami cantumkan dalam catatan kaki ¹⁰). 

الرَّاءُ مِنْ قَوْلِهِ : " لَا نُورَثُ " بِالْفَتْحِ فِي الرِّوَايَةِ ، وَلَوْ رُوِيَ بِالْكَسْرِ لَصَحَّ الْمَعْنَى أَيْضًا وَقَوْلُهُ :  فَكَانَتْ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -  كَذَا لِلْأَكْثَرِ

- Huruf "ra" ber-harakah fathah pada kata "la nurats" (bermakna kami tidak diberi waris). Sekiranya diriwayatkan dengan "kasrah" (bermakna kami tidak mewarisi), maka maknanya juga sama benar. Yang mana (hukum tersebut) berlaku khusus bagi Nabi Saw. Demikian pendapat sebagian besar ulama -.

وَفِي رِوَايَةِ أَبِي ذَرٍّ عَنِ الْمُسْتَمْلِي والْكُشْمِيهَنِيِّ خَاصَّةً ، وَقَوْلُهُ : " لَقَدْ أَعْطَاكُمُوهُ " أَيِ الْمَالَ ، فِي رِوَايَةِ الْكُشْمِيهَنِيِّ " أَعْطَاكُمُوهَا " أَيِ الْخَالِصَةَ لَهُ ، وَقَوْلُهُ :  فَوَاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ  فِي رِوَايَةِ الْكُشْمِيهَنِيِّ بِحَذْفِ الْجَلَالَةِ

- Dan (yang keempat) adalah riwayat Abu Dzar dari Al-Mustamliy dan Al-Kusymihani secara khusus. Di dalamnya terdapat redaksi "sesungguhnya (bagian itu) telah diberikan"nya" (هُ) pada kalian (ahlulbait)", yakni bagian harta tersebut. Pada riwayat Al-Kusymihani redaksinya "telah diberikan"nya" (هَا) pada kalian (ahlulbait)", yakni bagian khusus (الْخَالِصَةَ).

Redaksi "demi Allah yang dengan izinNya", pada riwayat Al-Kusymihani sedikit berbeda tanpa sumpah "demi Allah" -
.

Kesimpulan:

Sekarang, mari kita susun kesimpulan dari paparan di atas, sebagai berikut:

1. Sepakat terjadi perselisihan antara dua tokoh besar, yakni Fathimah Ra Putri Nabi Saw dengan Abu Bakar Ra sahabat Nabi, terkait "Fadak".

2. Perselisihan keduanya tergolong perselisihan furu'i, yakni perselisihan yang memang di dalamnya diperkenankan terjadi perbedaan pendapat.

3. Perselisihan Furu'i berisi fadhoiliyyah (keutamaan), yang mana bisa jadi lebih utama pada satu kondisi, namun bisa pula berubah, ketika terjadi kondisi yang berbeda, di mana pilihan kedua menjadi lebih utama.

4. Obyek yang ditanyakan Fathimah Ra kepada Abu Bakar Ra bukan keseluruhan lahan Fadak, tapi bagian tertentu (spesifik), yakni saham / porsi bagian dari pembagian hasil (manfaat) lahan.

5. Obyek perselisihan keduanya adalah mengenai takwil hadits Nabi Saw "kami tidak menerima waris (yang diperoleh dalam tugas kenabian), semua kelebihan dari yang dipergunakan dari harta tersebut adalah sedekah" (لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ).

6) Fathimah Ra berpendapat pada takwil makna khusus hadits tersebut, yaitu bahwa bagian dari Fadak yang biasa (rutin) diberikan padanya tidak terlarang untuk diwariskan. Sedangkan Abu Bakar berpegang teguh pada takwil umum, ketika (pokok harta) lahan Fadak tidak diwariskan, maka demikian pula manfaat dari lahan tersebut (turunan dari pokok), juga tidak diwariskan.

7) Abu Bakar Ra tidak mengubah cara pembagian Nabi Saw, bahkan menjadikan itu sebagai pedoman dalam pengelolaan lahan Fadak. Sehingga bagian (manfaat lahan Fadak) yang biasa diberikan untuk keluarga Fathimah Ra pada masa hidup Nabi Saw, tetap ia (Abu Bakar Ra) berikan kepada keluarga Fathimah Ra semasa pemerintahannya. Namun status alokasi tersebut bukan diserahkan sebagai status waris.

8) Sikap Fathimah Ra meninggalkana Abu Bakar Ra saat terjadi ikhlitaf sudah benar. Dimana, ketika beliau kesal, beliau memilih untuk meninggalkan pembicaraan tersebut di satu sisi, namun di sisi lain menghormati keputusan Abu Bakar Ra selaku ulil amri.

9) Tidak terjadi (dugaan sementara pihak) adanya persoalan (pertikaian) apalagi berkepanjangan antara keduanya (apalagi hingga wafatnya). Seandainya dugaan tersebut (ketidakrelaan) terjadi, maka persoalan antara keduanya telah selesai dengan adanya riwayat, telah datangnya Abu Bakar Ra mengunjungi Fathimah Ra (sebelum meninggalnya) dan meminta ke-rihdo-an untuk dirinya, hingga beliau (Fathimah As) ridho pada Abu Bakar Ra.

10) Layak ditambahkan, bahwa mengunjungi sesama saudara menjelang kematian dan saling meminta keridhoan adalah praktik yang baik yang telah discontohkan oleh kedua tokoh tersebut, kemudian terus dilestarikan oleh para shalihin sejak dulu hingga sekarang.

Demikian, semoga kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari kisah ini.

Wa ilallah musta'an


Catatan Kaki :
¹) Dalam kitab Fathul Bari, pada Bab Fardh al-khumus, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani (W. 1449) menjelaskan tentang fadak sebagai berikut:
ص 234 - قَوْلُهُ : ( وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ ) هَذَا يُؤَيِّدُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَنَّهَا لَمْ تَطْلُبْ مِنْ جَمِيعِ مَا خَلَّفَ ، وَإِنَّمَا طَلَبَتْ شَيْئًا مَخْصُوصًا ، فَأَمَّا خَيْبَرُ فَفِي رِوَايَةِ مَعْمَرٍ الْمَذْكُورَةِ " وَسَهْمُهُ مِنْ خَيْبَرَ " ، وَقَدْ رَوَى أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إِلَى سَهْلِ بْنِ أَبِي خَيْثَمَةَ قَالَ  " قَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ نِصْفَيْنِ نِصْفُهَا لِنَوَائِبِهِ وَحَاجَتِهِ ، وَنِصْفُهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ : قَسَّمَهَا بَيْنَهُمْ عَلَى ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا "  وَرَوَاهُ بِمَعْنَاهُ مِنْ طُرُقٍ أُخْرَى عَنْ بَشِيرِ بْنِ يَسَارٍ مُرْسَلًا لَيْسَ فِيهِ سَهْلٌ

"Redaksi hadits (Fathimah Ra bertanya pada Abu Bakar Ra mengenai bagian beliau dari sebagian peninggalan Rasulullah Saw dari lahan Khaibar, lahan Fadak dan sedekah beliau Saw dari lahan di Madinah). Redaksi tersebut menegaskan apa yang disampaikan, bahwa Fathimah Ra tidak sedang meminta keseluruhan, tetapi beliau sedang meminta bagian khusus dari peninggalan Rasulullah Saw.
Mengenai Khaibar, berdasar riwayat Ma'mar disebut "bagian sahamnya dari (hasil / manfaat) lahan di Khaibar". Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dengan sanad sahih sampai Sahl bin Abi Khaitsamah, beliau berkata, Rasulullah Saw membagi hasil Khaibar menjadi 2 bagian. 1 bagian untuk keperluan keluarganya dan dirinya sedangkan 1 bagian sisanya untuk keperluan kaum muslimin yang beliau bagi menjadi 19 saham. Riwayat lain juga punya makna yang sama, dari jalur Basyir bin Yasar, mursal tanpa melalui Sahl.


²) Ibid,
بَلَدٌ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ ثَلَاثُ مَرَاحِلَ ، وَكَانَ مِنْ شَأْنِهَا مَا ذَكَرَ أَصْحَابُ الْمَغَازِي قَاطِبَةً أَنَّ أَهْلَ فَدَكَ كَانُوا مِنْ يَهُودَ ، فَلَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ أَرْسَلَ أَهْلُ فَدَكَ يَطْلُبُونَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَمَانَ عَلَى أَنْ يَتْرُكُوا الْبَلَدَ وَيَرْحَلُوا ، وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ مِنْ طَرِيقِ ابْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَغَيْرِهِ قَالُوا " بَقِيَتْ بَقِيَّةٌ مِنْ خَيْبَرَ تَحَصَّنُوا ، فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْقِنَ دِمَاءَهُمْ وَيُسَيِّرَهُمْ فَفَعَلَ ، فَسَمِعَ بِذَلِكَ أَهْلُ فَدَكَ فَنَزَلُوا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ

"Suatu kawasan yang jaraknya 3 marhalah (sekitar  72 mil) dari Madinah. Sebagian kisahnya seperti yang telah disampaikan oleh para pencatat sejarah, bahwasanya penduduk Fadak adalah termasuk kaum Yahudi. Tatkala Khaibar berhasil dikalahkan oleh Rasulullah Saw, penduduk Fadak menyampaikan utusan pada beliau Saw untuk diberikan jaminan keamanan, supaya mereka dapat pergi meninggalkan Fadak, lalu pindah keluar ke tempat lain (lalu meninggalkan tanah dan lahan yang selanjutnya sesuai hukum dikuasai oleh Rasulullah Saw).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur Ibn Ishaq dari Al-Zuhri, bahwasanya penduduk yang tinggal di sekitar Khaibar (setelah Khaibar berhasil dikalahkan), mereka mengajukan pada Nabi Saw, permintaan jaminan keamanan untuk membiarkan mereka pergi meninggalkan tanahnya, lalu Nabi mengabulkannya. Kemudian berita itu sampai pada penduduk Fadak, dan mereka melakukan hal yang sama".

³) kbbi.kemdikbud.go.id/entri/selisih

⁴) Umar bin Abdul Aziz (Wafat 5 Februari 720 M), dalam sejarah disebut juga Umar II, berkuasa hanya selama 2-3 tahun, tapi berhasil melakukan banyak perombakan. Beliau memerintah dengan adil. Pada masanya, beliau meyerahkan penguasaan tanah Fadak kepada ahlulbait Nabi Saw.
Beliau Cucu dari Marwan bin Hakam. Ibunya bernama Laila binti Asim, cucu dari Umar bin Khattab Ra.

⁵) Shohih Bukhari, Kitab Fardh Al-Khumus, Bab Ada'ul khumus min Al-Din, hadits No. 2926
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ  أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ قَالَتْ وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتَهُ بِالْمَدِينَةِ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَقَالَ لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ فَأَمَّا صَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ فَدَفَعَهَا عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ وَأَمَّا خَيْبَرُ وَفَدَكٌ فَأَمْسَكَهَا عُمَرُ وَقَالَ هُمَا صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتَا لِحُقُوقِهِ الَّتِي تَعْرُوهُ وَنَوَائِبِهِ وَأَمْرُهُمَا إِلَى مَنْ وَلِيَ الْأَمْرَ قَالَ فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ إِلَى الْيَوْمِ  قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ اعْتَرَاكَ افْتَعَلْتَ مِنْ عَرَوْتُهُ فَأَصَبْتُهُ وَمِنْهُ يَعْرُوهُ وَاعْتَرَانِي

"Menyampaikan kami Abdul Aziz bin Abdullah, menyampaikan kami Ibrahim bin Sa'ad dari Shalih dari Ibn Syihab, beliau berkata, mengabarkan padaku Urwah bin Zubair bahwasanya Ummul Mukminin Aisyah mengabarkan padanya, bahwasanya Fathimah alaihassalam putri Rasulullah Saw bertanya pada Abu Bakar As-Shidiq, setelah wafatnya Rasulullah Saw tentang membagikan waris dari peninggalan Rasulullah Saw dari fa'i yang dianugerahkan Allah pada Nabi Saw.
Abu Bakar berkata padanya, bahwasanya Rasulullah dahulu berkata, "kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan (sisa dari penggunaan manfaat) adalah menjadi sedekah". Fathimah putri Rasulullah kesal lalu meninggalkan Abu Bakar hingga saat beliau wafat. Beliau hidup selama 6 bulan setelah meninggalnya  Rasulullah. Berkata (Aisyah), saat itu Fathimah menanyakan bagiannya dari bagian yang ditinggalkan Rasulullah dari Khaibar, Fadak dan sedekah di Madinah, maka Abu Bakar menolak dan mengatakan, Aku tidak akan meninggalkan satu hal pun yang dahulu dilakukan Rasulullah, kecuali akan aku kerjakan pula, sebab aku takut jika ada yang aku lewatkan maka aku akan menyimpang. Adapun sedekah beliau (dari hasil tanah) di Madinah, maka diserahkan pada masa Umar, oleh beliau kepada Ali dan Abbas. Adapun lahan Khaibar dan Fadak maka Umar Ra tetap memegang urusannya dengan mengatakan keduanya adalah sedekah Rasulullah Saw atas nama beliau. Keduanya juga untuk memenuhi kebutuhan beliau Saw sebagai yang mengurusnya dan kebutuhan para walinya. Dan pengurusnya diserahkan pada waliulamri (ululamri). Dia (Perawi hadits) berkata keadaan keduanya (khaibar dan fadak) tetap seperti itu sampai hari ini (masa perawi hadis)"
.

⁶) Bernama lengkap Syihabuddin Abu Al-Fadhl Ahmad ibn Nur Al-Din Ali ibn Muhammad ibn Hajar Al-Asqalani. Lahir di Kairo Th. 773 H (18 Februari 1372 M). Ayahnya bernama Nur Al-Din Ali, seorang ulama dan penyair terkenal, yang pindah dari Alexandria, Mesir ke Ashkelon, Palestina. Karena itu maka beliau dikenal dengan Al-Asqalani. Beliau seorang ulama besar polimatik, yang menguasai banyak bidang ilmu yang sangat luas. Meninggal di Kairo, 8 Dzul Hijjah 852 H (2 Februari 1449 M). Karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab dan karya yang paling monumental adalah Fathul Bari, yang diselesaikan dalam kurun 25 tahun.

⁷) Fathul Bari, Syarah hadits 2926, Shohih Bukhari, kitab Fardh Al-Khumus, Bab  Ada'ul khumus min Al-Din

⁸) Ibn Malik (600 H - 672 H / 1204 M - 1274 M). Seorang ulama pakar di bidang tata bahasa. Dilahirkan di Spanyol Karyanya sangat banyak, termasuk yang sangat terkenal adalah kitab Alfiyah Ibn Malik, yang digunakan secara luas di pengajaran pesantren dan sekolah-sekolah di seluruh dunia.

⁹) Fathul Bari, Shahih Bukhari, Kitab Ghazwah bab qishah bani Nadhir hadits no. 3730
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا هِشَامٌ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام وَالْعَبَّاسَ أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

¹⁰) Shahib Bukhari, Kitab Fardh Al-Khumus, Hadits no. 2863
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ جُبَيْرٍ ذَكَرَ لِي ذِكْرًا مِنْ حَدِيثِهِ ذَلِكَ فَانْطَلَقْتُ حَتَّى أَدْخُلَ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ الْحَدِيثِ فَقَالَ مَالِكٌ
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ فِي أَهْلِي حِينَ مَتَعَ النَّهَارُ إِذَا رَسُولُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَأْتِينِي فَقَالَ أَجِبْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى أَدْخُلَ عَلَى عُمَرَ فَإِذَا هُوَ جَالِسٌ عَلَى رِمَالِ سَرِيرٍ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فِرَاشٌ مُتَّكِئٌ عَلَى وِسَادَةٍ مِنْ أَدَمٍ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ جَلَسْتُ فَقَالَ يَا مَالِ إِنَّهُ قَدِمَ عَلَيْنَا مِنْ قَوْمِكَ أَهْلُ أَبْيَاتٍ وَقَدْ أَمَرْتُ فِيهِمْ بِرَضْخٍ فَاقْبِضْهُ فَاقْسِمْهُ بَيْنَهُمْ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ أَمَرْتَ بِهِ غَيْرِي قَالَ اقْبِضْهُ أَيُّهَا الْمَرْءُ فَبَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَهُ أَتَاهُ حَاجِبُهُ يَرْفَا فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ يَسْتَأْذِنُونَ قَالَ نَعَمْ فَأَذِنَ لَهُمْ فَدَخَلُوا فَسَلَّمُوا وَجَلَسُوا ثُمَّ جَلَسَ يَرْفَا يَسِيرًا ثُمَّ قَالَ هَلْ لَكَ فِي عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ قَالَ نَعَمْ فَأَذِنَ لَهُمَا فَدَخَلَا فَسَلَّمَا فَجَلَسَا فَقَالَ عَبَّاسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنِي وَبَيْنَ هَذَا وَهُمَا يَخْتَصِمَانِ فِيمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَالِ بَنِي النَّضِيرِ فَقَالَ الرَّهْطُ عُثْمَانُ وَأَصْحَابُهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنَهُمَا وَأَرِحْ أَحَدَهُمَا مِنْ الْآخَرِ قَالَ عُمَرُ تَيْدَكُمْ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسَهُ قَالَ الرَّهْطُ قَدْ قَالَ ذَلِكَ فَأَقْبَلَ عُمَرُ عَلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا اللَّهَ أَتَعْلَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ ذَلِكَ قَالَا قَدْ قَالَ ذَلِكَ قَالَ عُمَرُ فَإِنِّي أُحَدِّثُكُمْ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ خَصَّ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْفَيْءِ بِشَيْءٍ لَمْ يُعْطِهِ أَحَدًا غَيْرَهُ ثُمَّ قَرَأَ
{ وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ إِلَى قَوْلِهِ قَدِيرٌ }
فَكَانَتْ هَذِهِ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا احْتَازَهَا دُونَكُمْ وَلَا اسْتَأْثَرَ بِهَا عَلَيْكُمْ قَدْ أَعْطَاكُمُوهَا وَبَثَّهَا فِيكُمْ حَتَّى بَقِيَ مِنْهَا هَذَا الْمَالُ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِمْ مِنْ هَذَا الْمَالِ ثُمَّ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ فَيَجْعَلُهُ مَجْعَلَ مَالِ اللَّهِ فَعَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ حَيَاتَهُ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُونَ ذَلِكَ قَالُوا نَعَمْ ثُمَّ قَالَ لِعَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمَانِ ذَلِكَ قَالَ عُمَرُ ثُمَّ تَوَفَّى اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَضَهَا أَبُو بَكْرٍ فَعَمِلَ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُ فِيهَا لَصَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ ثُمَّ تَوَفَّى اللَّهُ أَبَا بَكْرٍ فَكُنْتُ أَنَا وَلِيَّ أَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ مِنْ إِمَارَتِي أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا عَمِلَ فِيهَا أَبُو بَكْرٍ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي فِيهَا لَصَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ ثُمَّ جِئْتُمَانِي تُكَلِّمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا وَاحِدَةٌ وَأَمْرُكُمَا وَاحِدٌ جِئْتَنِي يَا عَبَّاسُ تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ وَجَاءَنِي هَذَا يُرِيدُ عَلِيًّا يُرِيدُ نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا فَقُلْتُ لَكُمَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَلَمَّا بَدَا لِي أَنْ أَدْفَعَهُ إِلَيْكُمَا قُلْتُ إِنْ شِئْتُمَا دَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا عَلَى أَنَّ عَلَيْكُمَا عَهْدَ اللَّهِ وَمِيثَاقَهُ لَتَعْمَلَانِ فِيهَا بِمَا عَمِلَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَا عَمِلَ فِيهَا أَبُو بَكْرٍ وَبِمَا عَمِلْتُ فِيهَا مُنْذُ وَلِيتُهَا فَقُلْتُمَا ادْفَعْهَا إِلَيْنَا فَبِذَلِكَ دَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا فَأَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ هَلْ دَفَعْتُهَا إِلَيْهِمَا بِذَلِكَ قَالَ الرَّهْطُ نَعَمْ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ دَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا بِذَلِكَ قَالَا نَعَمْ قَالَ فَتَلْتَمِسَانِ مِنِّي قَضَاءً غَيْرَ ذَلِكَ فَوَاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ لَا أَقْضِي فِيهَا قَضَاءً غَيْرَ ذَلِكَ فَإِنْ عَجَزْتُمَا عَنْهَا فَادْفَعَاهَا إِلَيَّ فَإِنِّي أَكْفِيكُمَاهَا




Komentar

  1. Terima kasih min, sangat jelas dan bermanfaat. Baru di sini dapat penjelasan begini rinci.

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini