Langsung ke konten utama

Lebih Dalam Tentang Akhlak dan Adab Makna Utammima dan Makarim al-Akhlak

Lebih Dalam Tentang Akhlak dan Adab; Makna "Utammima" dan "Makarim al-Akhlak"


PENDAHULUAN

Bismillah,

Pada tulisan yang lalu, kita telah sekilas membahas apa perbedaan antara akhlak dan adab. Bagi yang ingin mengetahui, silakan membaca di sini.

Rasulullah Saw bersabda:
...إنما بعثت لأتمٌم مكارم الاخلاق...
"Sesungguhnya, (tujuan) aku diutus, adalah (hanya) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak".
(HR. Bukhari, al-Hakim, Ahmad, dll).

Akhlak tidak dapat dipisahkan dari perbuatan seseorang. Sebab, tidaklah seseorang dapat dinilai akhlaknya, tanpa ia berbuat. Bisa dikatakan perbuatan itu sendiri adalah wujud / buah dari akhlak. Bahkan bisa jadi, seseorang yang tidak berbuat sesuatu, maka ia bisa dinilai sebagai orang yang tidak berakhlak.

Oleh karena itu, sebelum kita bicara lebih jauh tentang akhlak, amat penting kita membahas apa itu perbuatan /amal, terlebih dahulu.

Amal / Perbuatan

Perbuatan adalah penggunaan potensi yang diberikan oleh Allah SWT. 
Merujuk pada penggambaran potensi dan karakteristik manusia oleh Imam Al-Ghazali ¹), perbuatan dapat dibagi menjadi 3 kelompok saja:

1. Perbuatan kalbu, seperti niat dan tekad.
2. Perbuatan akal, seperti berpikir, berimajinasi, mengingat dan persepsi.
3. Perbuatan anggota badan, seperti ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan tangan, kaki dan lainnya. Maka setiap perbuatan merupakan wujud dari salah satunya atau gabungan darinya.

Semua perbuatan di atas akan memiliki konsekuensi pahala, dosa dan pertanggungjawaban. Sebab masing-masing adalah akibat dari penggunaan potensi yang diberikan oleh Tuhan.

Sejatinya, perbuatan kalbu juga memiliki konsekuensi. Niat yang baik dinilai pahala dan niat yang buruk juga dinilai dosa. Hanya saja, Allah SWT yang maha pengampun seringkali memaafkan niat buruk yang tidak berlanjut kepada perbuatan lainnya.

Secara praktis bisa dikatakan akhlak adalah pemenuhan kewajiban manusia yang meliputi 3 aspek pokok, yaitu akhlak kepada :
1. Tuhan.
2. manusia.
3. alam semesta.


Ketiga. aspek di atas meskipun saling berdiri sendiri, namun memiliki kaitan, tidak terpisah satu sama lain. Dari sinilah kita akan menuruni lebih dalam makna hadis nabawi di atas, yakni makna "utammima
(أتمٌم) dan makna "makarim" (مكارم)

Makna "Utammima(أتمٌم)

Kata "utammima" (لأتمٌم) adalah kata kerja transitif dari kata dasar "tamm" (تمّ)  Di mana kata "tamm" memiliki makna : sempurna, penuh dan lengkap. Mari kita bahas makna kata ini.

Kata "utammima" asalnya dari kata kerja bentuk pertama intransitif "tamma - yatimmu" (تمّ - يَتمُّ) yang berarti sempurna - lengkap.

Kata tersebut mengalami perubahan bentuk menjadi kata kerja bentuk kedua (transitif) "tammima - yutammimu" ً(تمِّم ـ يُتَمِّم) yang berarti sempurna - utuh.

Apa bedanya?

Apabila seseorang hanya memiliki 1 atau 2 dari 3 aspek di atas saja, maka tidak dinamakan lengkap. Namun jika ia memiliki ketiga-tiganya, maka baru dinamakan lengkap dan ini baru memenuhi makna pada bentuk pertama saja.

Bagaimana supaya bisa memenuhi makna sesuai bentuk kedua?

Selain harus memiliki (mengumpulkan)  ketiga aspek tersebut bersama-sama, ketiganya harus bergabung secara utuh menjadi satu kesatuan (united). Ini yang dinamakan sempurna dan utuh. Inilah makna "utammima", inilah redaksi yang digunakan oleh Nabi Saw dalam menggambarkan tugas risalahnya, "sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak".

Lalu timbul pertanyaan, apa yang menyatukan ketiganya?
Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, bahwa ketiga aspek akhlak di atas meskipun dapat berdiri sendiri, tapi memiliki kaitan (ikatan).

Di mana, akhlak pada Tuhan adalah aspek inti (core) dan pengikat (binder) dari kedua aspek lainnya. Tidak hanya inti, kedua aspek lainnya (akhlak pada manusia dan akhlak pada alam semesta) mesti bertaut secara kuat pada aspek inti.

Bagaimana penjelasannya?

Apabila seseorang memenuhi kewajiban-kewajibanya terhadap manusia (akhlak pada manusia), tapi itu dilakukannya secara terpisah, tidak punya kaitan dengan akhlak pada Tuhan, maka ia belum sampai pada utuhnya akhlak. Akhlaknya masih parsial.

Sebagaimana sebagian orang yang bekerja sungguh-sungguh dalam kemanusiaan, membantu kaum tertindas, pengentasan kemiskinan, pendidikan, bantuan pada orang-orang tua dan lain-lain, tapi terlepas dari akhlak pada Tuhan.

Demikian pula orang yang terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan, perlindungan flora dan fauna dan seterusnya (akhlak pada alam semesta). Namun itu semua dilakukan bukan karena buah dari akhlak pada Tuhan.
Maka kelompok tersebut belum sesuai dengan yang dimaksud Nabi Saw, belum berakhlak dengan akhlak Islam.

Akan tetapi, jika ia memenuhi akhlak pada manusia, sebagai kesadaran ketuhanan, buah dari akhlaknya pada Tuhan, barulah aspek kedua ini berjalin dan menyatu.

Demikian pula, ketika ia memenuhi akhlaknya pada alam semesta, sebagai buah dari akhlaknya pada Tuhan maka aspek ketiga ini bertaut dan menyatu.

Dan, saat ketiga aspek ini menyatu secara utuh, maka ia dinamakan telah melaksanakan "tatmim" (تتميم) kata benda dari kata kerja bentuk kedua di atas, yaitu "utammima" (أُتمِّم). 

Dan, sempurna-utuh inilah akhlak Islam yang dimaksud Nabi Saw, yaitu: "Akhlak pada Allah SWT yang melahirkan akhlak pada manusia dan akhlak pada alam semesta".


Sekarang kita akan menjawab sebuah pertanyaan, apakah mungkin seseorang berakhlak mulia, namun ia hanya melaksanakan kewajiban semata-mata hanya untuk menggugurkan kewajiban saja?

Untuk itu kita masuk pada bagian kedua, yaitu makna "makarimal akhlak"

Makna Makarimal Akhlak

Kata makarim (مكارم) adalah bentuk jamak (jamak taksir) dari kata tunggal "makram" (مكرم) yan berasal dari kata "karim" (كريم), yang berarti "mulia". 

Kata "makram" tersebut berwazan "maf -al" (مَفعَل) yang berarti tempat yang menampung fi'il tersebut. Jadi "makram" (مكرم) bermakna tempat yang menampung kemuliaan.

Apa maksudnya?

Bila disederhanakan dalam bentuk nilai matematis, maka kemuliaan itu memiliki nilai positif. Semakin mulia, maka semakin tinggi nilai positifnya. Sedikitnya,  setiap bentuk kemuliaan memiliki nilai positif 1 (+1).

Tidaklah sesuatu disebut mulia jika ia tidak bernilai (bernilai 0).

Lawan dari kemuliaan adalah hina (tercela). Secara sederhana bisa pula kita katakan jika sesuatu itu hina maka ia bernilai negatif. Semakin hina / tercela sesuatu, maka semakin besar nilai negatifnya.

Lalu, apa kaitannya dengan "makram" (مكرم) sebagai tempat yang menampung kemuliaan?
"Makram" itu adalah wadah, tempat menampung bobot yang bernilai tersebut.

Sedangkan "makarim" (مكارِم) bentuk jamak dari "makram", berarti wadah-wadah kemuliaan yang bertingkat. 
Bisa juga kita artikan tangga-tangga kemuliaan, dari yang bernilai paling sedikit (+1), lalu meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi (+2, +3,...,+100.. dst), hingga tingkatan amat tinggi yang bernilai tak terhingga.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan akhlak dan perbuatan?

Sebagaimana kami jelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa adab itu adalah cara melaksanakan akhlak dan adab itu bersifat multiplier (faktor pengali) bagi nilai perbuatan.

Maka adab-adab yang baik itu berada pada kisaran anak-anak tangga "makarim", sedang adab yang buruk itu berada pada kisaran tercela dan hina.

Orang yang melaksanakan perbuatan (berakhlak) dengan makarim, maka nilai makarim itu menjadi faktor pengali terhadap nilai perbuatan akhlak.

Dengan demikian, orang yang berbuat satu kebaikan dengan makarim tertentu, akan terpaut jauh nilainya, dengan orang yang berbuat satu kebaikan yang sama, tapi dengan makarim yang lebih tinggi.

Demikian pula, orang yang berbuat satu kebaikan tapi dengan adab yang buruk, maka yang ia peroleh bukanlah kebaikan dan pahala, namun keburukan dan dosa. Mengapa?
Sebab nilai dari adab yang buruk (tercela) adalah negatif.

Maka nilai negatif itu menjadi faktor pengali dari nilai perbuatan, sehingga nilai hasil yang ia dapatkan adalah nilai yang negatif, yaitu berupa keburukan dan dosa.

Apa contohnya? 
Contohnya seperti orang yang menunaikan sedekah pada fakir miskin, tapi dilakukan dengan mengumpat dan mencela penerimanya.

Sekarang, kita bisa jawab pertanyaan sebelumnya, bisakah seseorang melaksanakan akhlak, tapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban?

Bisa saja, tapi perbuatan itu seperti perbuatan baik namun tiada bernilai. 
Tanpa adab yang baik tak ada nilainya. Nilainya 0, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh kebaikan apapun. 

Namun, apabila yang dimaksudh adalah, bisakah seseorang berakhlak mulia, jika ia hanya bermaksud menggugurkan kewajiban saja? 
Maka jawabannya adalah : tidak. 
Sebab mulia itu tidak kosong nilai, namun harus memiliki nilai.


Kembali pada hadits Nabi Saw, "sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak"

Bahwa makna yang dimaksud beliau Saw adalah kesatuan dari:
1. Melaksanakan semua kewajiban dari aspek akhlak pada Tuhan, manusia dan alam semesta secara utuh dan menyeluruh.

2. Dilaksanakan hanya dengan adab-adab yang tinggi dan utama.

Maka tidaklah mencakup apa yang dimaksud beliau Saw, bagi seseorang yang : 

1. Melaksanakan kewajiban, namun hanya memenuhi salah satu aspek akhlak saja.
2. Tidak pula orang yang melaksanakan keseluruhan aspek akhlak, namun secara parsial dan terpisah.
3. Tidak pula orang yang melaksanakan kewajibannya, namun tidak dilaksanakan dengan adab yang baik.

Akan tetapi, yang beliau Saw maksud adalah pelaksanaan kewajiban semua aspek akhlak secara utuh-menyeluruh, sebagai buah dari akhlak pada Allah SWT, dan, dilaksanakan dengan adab yang utama.

Subhanallah, amat sederhana dan singkat ucapan Nabi Saw, namun amat dalam, komprehensif dan membumi maknanya.

Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a'lam 🙏



Catatan Kaki :
¹) Al-Ghazali (W. 1111 M) dalam kitabnya, Kimia Assa'adah, menjelaskan bahwa unsur manusia ada 2 macam, yaitu unsur ruhani dan jasmani. 

Ruhani manusia merupakan kolaborasi antara ruh dan nafs, oleh beliau dalam kitab tersebut disebut "Qalb" (kalbu). Kalbu ini adalah esensi subyek manusia.

Kalbu memiliki bala tentara (personil), yang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Kelompok Zahir, berupa daya syahwat dan daya amarah. Disebut zahir sebab mereka mengendalikan mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
2. Kelompok Batin. Disebut batin sebab mereka bertempat di dalam akal, yaitu berupa daya pikir, daya khayal, daya ingat dan persepsi.

Lebih jauh beliau membuat perumpamaan manusia sebagai sebuah negara. Maka, kalbu dan seluruh personelnya adalah unsur-unsur dari negara dan pemerintahannya.

Di mana kepala, mata, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh adalah wilayah kekuasaan negara. Daya syahwat serupa dengan personil ASN  dari tingkatan desa hingga pusat. Dari lurah, camat, gubernur, hingga pejabat eselon.

Daya amarah adalah personil keamanan dan pengamanan, serupa dengan kesatuan tentara dan kepolisian.

Akal adalah para menteri dan penasehat. Yaitu para personil khusus yang bertugas di sekitar kepala pemerintah yang bertugas memberikan data, pertimbangan untuk pengambilan keputusan Kepala Pemerintah.


Dan, terakhir Kalbu, adalah kepala pemerintahan yang bertanggung jawab pada keseluruhan negara. Kalbu memimpin dan memberi perintah, hanya setelah mendapat pertimbangan matang dan data-data yang lengkap yang diberikan oleh para penasehatnya (akal).



Komentar

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini