"Tidak Terjangkau Tetapi Amat Dekat" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-2
Bismillahirahmanirrahim,
Setelah surah Al-Baqarah dibuka dengan ayat yang ajaib (alim lam mim - dapat dibaca di sini), Allah Swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 2 :
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
"Kitab (Aquran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa"
Kita akan bersama-sama membahas makna dan hikmahnya setahap-demi setahap, insyaallah.
Kata Tunjuk "dzalika" (ذٰلِكَ)
Kata "dzalika" disebut isim isyarah, sebagaimana dalam Bahasa Indonesia terdapat kata tunjuk "ini" dan "itu".
Kata tersebut digunakan hanya untuk menunjuk obyek yang posisinya jauh, berada di luar jangkauan pembicara.
Setidaknya, di sini terdapat 3 poin penting, sebagai berikut:
1. Menunjukkan makna tinggi.
"Kitab itu" (ذٰلِكَ الْكِتٰبُ) adalah Alquran yang mulia, yang berasal dari sisi Allah Swt. Alquran adalah "kalamullah", firman Allah Swt yang Mahatinggi. Oleh karenanya, penggunaan kata tunjuk tersebut memaknai Alquran sebagai memiliki kedudukan yang amat tinggi.
2. Menunjukkan makna jauh
Dalam pembahasan ilmu tauhid, disebutkan bahwa Alquran bukan khalik bukan pula makhluk, tetapi kalamullah. Maka Alquran berada jauh dari jangkauan kemampuan manusia. Alquran juga merupakan mukjizat terbesar yang diberikan untuk Nabi Muhammad saw. Di antara sifat mukjizatnya adalah, bahwa tak seorangpun mampu membedah habis Alquran.
Sejak pertama peradaban manusia menerima Alquran, para ulama terus-menerus menggali dan mendapatkan berbagai informasi, ilmu dan petunjuk dari Alquran, mereka mendapatkan amat banyak darinya, namun berbagai informasi, ilmu dan petunjuk itu tak pernah habis sepanjang masa.
Namun menarik untuk disampaikan di sini, bahwa semua ayat yang "menunjuk" kata "Alquran", maka selalu disandingkan dengan kata tunjuk "ini" (هٰذَا). Perhatikan salah satu contohnya dalam surah Al-Isra 9:
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ
"Sesungguhnya Alquran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa bagi mereka ada pahala yang sangat besar"
Ini menunjukkan bahwa sifat jauh tersebut seketika berubah menjadi "amat dekat dan terjangkau" ketika Alquran dibaca dan dipelajari. Sesuai dengan akar kata "Qur'an" dari kata "qa-ra-a" yang berarti membaca. Di mana, ketika Alquran -yang sedianya jauh dan tak terjangkau itu- dibaca dan dipelajari dengan benar, maka Allah Swt mendekatkannya sehingga berada dalam jangkauan pembacanya.
3. Makna Ikhtisar (menyimpulkan).
Kita telah membahas ayat sebelumnya, yakni ayat ke-1. Di mana ayat ajaib tersebut, meskipun hanya berisi 3 huruf terpisah, namun memiliki cakupan makna yang amat luas dan dalam. Di dalamnya ada penegasan bahwa ayat-ayat Allah memilki makna batin, yang mana Allah Swt yang menjadi sumber pengetahuan itu dan Allah Swt adalah pemegang pintu kepahaman manusia.
Ayat itu juga mengandung tantangan, bahwa Allah Swt menjaganya hingga hari kiamat. Ayat tersebut juga menunjukkan keajaiban mewakili seluruh ayat-ayat Alquran lainnya. Bahkan huruf-hurufnya mewakili huruf-huruf yang digunakan oleh peradaban manusia.
Nha, setelah pemaparan tersebut, maka ayat ke-2 dimulai dengan "dzalika", dengan makna ikhtsar : atas keseluruhan sifat tersebut, maka "demikian itulah" Alquran.
Kata "al-kitab" (الْكِتٰبُ)
Setidaknya, kata ini mencakup 3 poin penting, yaitu:
1. Penggunaan isim ma'rifah
Dua huruf "al" di depan kata "kitab" berarti menunjukkan sifat ma'rifat, yakni makna "tertentu". Bahwa kitab yang dimaksud bukan sembarang kitab, bukan pula kitab suci lainnya, melainkan hanya satu pengertian yakni : Alquran.
Di atas sudah dijelaskan, bahwa kitab ini memilki makna "tinggi" dan "jauh" karena sifatnya yang suci dan khusus, berbeda dengan kitab manapun.
2. Makna kesempurnaan
Penggunaan isim ma'rifah juga menunjukkan makna bahwa kitab ini bersifat sempurna. Kitab yang tidak memiliki sedikitpun kekurangan atau cela. Makna ini diperkuat lagi oleh kata berikutnya, yang menyebutkan bahwa kitab ini "tidak ada di dalamnya keraguan", insyaallah akan kita bahas pada paragraf berikutnya.
3. Makna "termaktub"
Kata "kitab" berasal dari kata "ka-ta-ba" yang berarti "menulis". Maka kata "al-kitab" berarti bahwa isinya telah "selesai ditulis dan dihimpun dengan sempurna sejak mula". Kata kerja tersebut bisa pula berarti "menetapkan", sehingga menunjukkan bahwa "al-kitab" ini telah ditetapkan sejak semula, baik waktunya, kapan ia akan diturunkan, siapa penerimanya, termasuk redaksinya, yang sudah selesai ditetapkan sejak semula.
Kata "la raiba fihi" (لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ)
Kata "la" (لَا) adalah huruf nafi, yang berfungsi menafikan kata benda setelahnya. Dengan demikian, kata ini dengan tegas menjelaskan bahwa di dalam Alqur'an tidak akan pernah ditemui segala bentuk "keraguan" (رَيْبَ).
Tentu saja yang dimaksud di sini bukan keraguan yang berasal dari pembaca, sebab keraguan dari pembaca adalah akibat dari "ketidaksempurnaan" pembaca. Entah karena kurangnya ilmu, pemahaman dan lain sebagainya.
Namun, yang ditegaskan di sini adalah kepastian bahwa tidak ada keraguan di dalam (yang berasal dari) kitab ini.
Alquran tidak diragukan bahwa sumbernya berasal dari Allah swt, tak diragukan pula peruntukkannya kepada Nabi Muhammad saw, maka tidak diragukan pula bahwa kitab ini berisi petunjuk yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.
Selain menafikan keraguan sumber, peruntukkan dan fungsinya, Alquran juga menafikan kemungkinan adanya unsur keraguan di dalam kandungannya.
Berbeda dengan karya tulis manusia. Ada kalanya seorang ahli mempelajari teks sebuah manuskrip, lalu mendapati ada sebuah bentuk yang mirip huruf, lalu timbul lah keraguan. Apakah itu coretan sengaja atau tidak sengaja. Jika sengaja, apakah itu berupa huruf atau bukan. Apakah ia sudah ada sejak mula atau susulan. Apakah ia ditambahkan di kemudian hari oleh penulis yang sama atau berbeda. Dan seterusnya.
Hal demikian adalah hal yang wajar ada pada sebuah karya manusia, terlebih naskah historis yang telah berusia lama, puluhan, ratusan atau ribuan tahun. Akan tetapi yang demikian itu tidak akan pernah ada dalam Alquran yang bersifat sempurna ini. Setiap huruf yang menyusun kata dan kalimat di dalam Alquran, seluruhnya bersifat pasti dan benar.
Perbedaan yang muncul di kalangan para ahli adalah terkait variabel di luar teks, seperti perbedaan tafsir, makna, urutan turun, cara baca dan lainnya yang semuanya itu berasal dari pembaca itu sendiri.
Kata "raiba" (رَيْبَ)
Kata "raiba" (رَيْبَ) dapat diartikan "syak" yang dibahas dalam ilmu tauhid, kaidah ushul dan hukum islam secara umum. Kondisi syak (ragu-ragu) adalah saat seseorang tidak dapat memutuskan satu dari dua pilihan (opsi A atau opsi B), karena masing-masing memiliki bobot dugaan yang sama besar. Misalnya kita katakan, masing-masing memilki bobot 50%.
Ketika orang tersebut mendapati "data baru" sehingga salah satu opsi, misalnya opsi A menjadi lebih berat bobotnya, maka pada saat itu ia bisa memutuskan untuk memilh opsi tersebut. Misalnya opsi A menjadi berbobot 60% dan B berbobot 40%.
Pada saat itu, memilih A disebut "dzan", yakni dugaan yang disertai keputusan untuk memilih. Sedangkan pilihan B disebut "wahm" yakni dugaan lemah yang diputuskan untuk tidak dipilih.
Maka kata "raiba" mencakup segala yang memuat sifat tidak yakin dan tidak pasti. Baik dzan (meskipun level keyakinannya di atas 50%, tetapi tidak penuh 100%), syak (yang hanya memiliki level keyakinan 50%), terlebih lagi wahm (yang memiliki level keyakinan di bawah 50%).
Kata "huda" (هُدًى)
Kata "huda" berarti petunjuk atau bimbingan (hidayah). Hidayah mencakup semua hal yang mengarahkan kepada kebenaran. Di dalamnya meliputi bimbingan akal dan bimbingan kalbu.
Namun petunjuk hanya bermanfaat, jika orang yang mendapati / memperoleh bimbingan tersebut mau mengikuti dan melaksanakan bimbingan itu.
Hidayah itu bertingkat-tingkat. Orang yang sebelumnya tidak mengenal Tuhan memerlukan hidayah untuk mengetahui adanya Tuhan. Berlanjut, memerlukan hidayah lagi untuk mengetahui bahwa Tuhan bersifat tunggal, tidak ada yang lainnya selain Tuhan Maha Esa. Berlanjut, memerlukan hidayah lagi untuk mengenal sifat-sifat-Nya, cara mengikuti dan menjalankan petunjuknya melalui agama dan seterusnya termasuk petunjuk hidup di dunia dengan selamat menuju akhirat.
Demikian, seterusnya.
Maka Alquran memproklamirkan dirinya sebagai petunjuk yang utuh bagi seluruh manusia agar menjadi manusia bertakwa yang paripurna, di hadapan Allah Swt.
Kata "Lil Muttaqin" (لِّلْمُتَّقِيْنَۙ)
Huruf "li" dapat bermakna "tamlik", berarti milik, bahwasanya Alquran itu adalah petunjuk yang menjadi hak / milik dari orang-orang yang bertakwa. Bisa pula bermakna peruntukan bahwa Alquran akan menjadi petunjuk "khusus untuk" orang-orang yang bertakwa.
Meskipun pada ayat lain tedapat indikasi bahwa Alquran bisa menjadi petunjuk bagi manusia pada umumnya, namun tetap saja, bahwa manusia pada umumnya tersebut, jika ia senantiasa mengikuti petunjuk Al-Qur'an, maka ia akan mengantarkannya kepada ketakwaan, (menjadi orang yang bertakwa).
Penggunaan bentuk jamak "orang-orang yang bertakwa", mengindikasikan "harapan Alquran" untuk memberikan petunjuk pada "sebanyak-banyaknya" orang. Selain itu memberikan kesan bahwa meskipun petunjuk itu bermanfaat bagi orang-perorang, namun petunjuk itu akan "semakin terang" jika dipelajari dan dijalankan secara "bersama-sama".
Adapun kata "takwa", secara umum, ulama menggambarkan takwa sebagai 2 unsur terkait, yaitu : iman dan amal saleh. Deskripsi ringkas takwa adalah menjalankan perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Demikian, semoga bermafaat, wallahu a'lam.
Ayat sebelumnya <=== ===> Ayat selanjutnya = Daftar Isi =
Komentar
Posting Komentar
Silakan mengisi komentar