Langsung ke konten utama

"Perbedaan Iman dan Yakin" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-4

"Perbedaan Iman dan Yakin" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-4


Bismillahirahmanirrahim,

Surah Al-Baqarah ayat 4 berbunyi :

وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ

"dan orang-orang yang beriman pada apa yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad Saw) dan apa yang diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan (adanya hari) akhirat"


Pada ayat sebelumnya "Al-Muttaqin" digambarkan melalui 3 diskripsi, demikian pula pada ayat ini, diberikan 3 diskripsi tambahan, yakni :

a. Beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada engkau (wahai Nabi Saw) (الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ)

b. Beriman kepada apa-apa yang diturunkan sebelum engkau (وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ)

c. Beriman dan yakin kepada akhirat (وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ)


Mari kita lihat lebih dalam, setahap demi setahap.

Fungsi harf waw

Penggunaan huruf waw (وَ) merangkai 3 diskripsi pada ayat ke-3 dengan 3 diskripsi tambahan pada ayat ini, sehingga diskripsi Al-Muttaqin "orang-orang yang bertakwa" menjadi 6 disripsi. 

Penggunaan huruf waw (وَ) tersebut menghilangkan adanya kemungkinan fungsi "takhyir" (memilih), yakni memilih sebagian dari kriteria dan menolak kriteria yang lain. Maka seseorang tidak diperkenankan mengatakan "saya ingin bertakwa, tetapi hanya mau beriman pada Allah Swt dan hari kiamat saja, tetapi saya menolak mendirikan sholat". 

Atau mengatakan "saya ingin bertakwa melalui "beriman pada Allah Swt, kitab-kitab-Nya, juga salat. Tapi saya tidak mau berzakat". 

Di sinilah fungsi "waw" pada ayat tersebut menghilangkan opsi "takhyir".


Fungsi kata "alladzina"

Alladzina (الَّذِيْنَ) adalah isim maushul. Sebagaimana "alladzina" pada ayat ke-3, berfungsi untuk menjelaskan gambaran / kriteria "orang-orang yang bertakwa" - Al-Muttaqin" (الْمُتَّقِيْنَۙ), melalui 3 kriteria tambahan sebagaiman disebutkan di bagian awal tulisan ini.

3 kriteria tambahan pada ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa takwa dapat dicapai oleh setiap kriteria, sebagai sebuah "tahapan". Orang yang telah memenuhi 3 kriteria pada ayat sebelumnya bisa disebut sebagai "bertakwa". Maka orang yang memenuhi 3 tambahan kriteria pada ayat ini tidak hanya disebut sebagai "bertakwa", namun sekaligus berada pada tahapan ketakwaan yang lebih tinggi.

Setiap orang yang beriman dan beramal saleh bisa disebut bertakwa. Maka, setiap peningkatan iman dan amal saleh berarti peningkatan anak tangga ketakwaan, selama tidak dibersamai dengan pengingkaran / penolakan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam bagian "fungsi harf waw".

Tangga-tangga ketakwaan inilah yang digambarkan dalam surah Al-Hujurat 13 :

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

"sesungguhnya (hamba) yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa..."

Maka semakin seseorang beriman dan beramal saleh, ia akan semakin bertakwa. Sekaligus ayat itu menegaskan bahwasanya hamba Allah Swt yang paling mulia di sisi-Nya adalah Nabi Muhammad Saw, sebab beliau adalah hamba Allah Swt yang paling bertakwa.


Kata yu'minuuna (يُؤْمِنُوْنَ)

Makna dasar dari iman adalah "tasdiq", yakni membenarkan. Seseorang disebut beriman pada Tuhan, jika ia membenarkan adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Sebaliknya, setiap pengingkaran terhadap adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, maka akan merusak iman bahkan menghilangkannya. Demikian berlaku pada iman kepada malaikat, para nabi, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi dan lain sebagainya.

Iman Adalah Perbuatan Kalbu

Perbuatan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yakni :

1. Perbuatan jawarih (anggota badan / fisik), seperti perbuatan mata berupa melihat, perbuatan mulut berupa bicara, maupun perbuatan kompleks dari serangkaian anggota badan seperti berlari, bekerja dan lain sebagainya.

2. Perbuatan akal, seperti berpikir, melamun, abstraksi, konsepsi, imajinasi dan lain sebagainya.

3. Perbuatan kalbu, seperti suka, benci, cinta, niat, dan lainnya, termasuk di dalamnya : iman dan ingkar.

Dapat dikatakan bahwa bagi seorang manusia, domain akal lebih dalam daripada domain jawarih (fisik) dan domain kalbu lebih dalam lagi daripada domain akal. Bahkan dapat dikatakan bawa kalbu adalah inti (core) dan esensi manusia.

Manusia dapat dirusak dengan makanan yang tidak sehat yang diinjeksi terus-menerus ke dalam tubuh fisiknya. Namun stres yang terus-menerus jauh lebih besar daya rusaknya, sebab stres berada pada domain yang lebih dalam dari manusia, yaitu akal (pikiran).

Di atas stres, manusia bisa lebih cepat "dirusak" hingga dapat mengakibatkan kematian, dengan injeksi "rasa putus asa" yang terus menerus. Sebab rasa putus asa berada pada domain yang lebih dalam lagi, yaitu kalbu.

Bersifat terbalik dari "daya rusak", maka hal positif yang diinjeksikan ke dalam kalbu manusia secara berkelanjutan akan memiliki "daya positif" yang sangat besar dan pada gilirannya berpengaruh besar pula pada akal dan selanjutnya, pada perbuatan manusia.

Demikian itulah kalbu manusia. Dan di dalam area inilah Al-Qur'an bicara tentang iman.


Bentuk Kata Kerja Yu'minuuna (يُؤْمِنُوْنَ)  

Kata kerja yu'minun berbentuk kata kerja fi'il mudhari', yang dipakai untuk penggunaan pekerjaan yang sedang terjadi dan akan terjadi. Ini menunjukkan bahwa seorang yang menginginkan dirinya berada dalam ketakwaan maka menuntut dirinya untuk beriman secara berkelanjutan, dimulai dari saat ini, saat berikutnya, hingga akhir kehidupannya.


Cakupan makna "apa yang diturunkan kepadamu" (مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ)

Obyek yang mencakup "apa yang diturunkan" kepada Nabi Muhammad saw setidaknya meliputi 3 hal :

1. Alquran.

Seorang yang beriman wajib mengimani dan membenarkan bahwa Alquran adalah kalamullah (firman Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk seluruh umat manusia.

2. Hadis Qudsi

Meskipun tidak termaktub dalam Alquran, seorang yang beriman wajib percaya, bahwa hadis qudsi adalah firman Allah Swt yang disampaikan kepada Nabi saw. Salah satu hadis qudsy  tentang puasa berbunyi :

"Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah Saw., bersabda: "Allah 'Azzawajalla berfirman -dalam hadits qudsi: "Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya".

3. Bimbingan wahyu kepada Nabi saw.

Dalam surah An-Najm ayat 3-4, Allah Swt berfirman :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

"dan tidaklah ia (Nabi Saw) berucap (dalam menyampaikan risalah) berdasarkan hawa nafsunya. (ucapan) itu tidak lain hanyalah wahyu (dari Tuhan) yang diwahyukan kepadanya".

Ketika Nabi menyampaikan risalah kepada umatnya beliau berucap dan bertindak berdasarkan wahyu. Demikian pula ketika seseorang bertanya kepada beliau, maka beliau menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan wahyu, kecuali untuk kasus terbatas di mana beliau menyampaikan bahwa itu adalah pedapat pribadi beliau. Tetapi di luar itu, semuanya adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada beliau saw.

Itu sebabnya amat banyak ayat Alquran mencatat redaksi "yas'aluunaka" (يَسْـَٔلُوْنَكَ) yang berarti "mereka bertanya kepadamu" (wahai Nabi saw), untuk menegaskan bahwasanya setiap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi saw maka beliau menjawabnya berdasarkan wahyu, sebagaimana contoh pada ayat berikut :

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ....

 "mereka bertanya kepadamu (wahai Nabi saw) tentang hilal (bulan sabit), katakanlah (kepada mereka) hilal itu adalah (penunjuk/penentu) waktu-waktu bagi manusia dan untuk (menentukan waktu) ibadah haji..."

Dalam surah Al-Kahfi 110, Allah Swt memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan :

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ...

"katakanlah (wahai Nabi saw), sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sebagaimana kalian (akan tetapi) aku (dikhususkan) memperoleh wahyu..."

Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi saw adalah bukan berjenis malaikat, atau jin atau jenis lainnya yang berbeda. Namun beliau saw adalah berjenis manusia, sama dengan umatnya. Perbedaanya adalah ia memperoleh wahyu. Inilah yang menyebabkan beliau berbeda dari manusia lainnya.

Sebab, dalam penerimaan wahyu terdapat kekhususan yang tidak diberikan pada manusia lain, seperti ishmah (kemaksuman-penjagaan), kesucian, kesempurnaan dan khushusiyah (kekhususan) lainnya yang diperlukan untuk menerima, memelihara dan menyampaian wahyu. Sehingga para ulama menggambarkan beliau sebagai "basyarun la kal basyar" manusia yang tidak sama dengan manusia lainnya.


Bentuk majhul kata unzila (اُنْزِلَ)

Dalam bahasa indonesia kita mengenal kata kerja aktif dan pasif. Di mana, pada kalimat pasif subyek aktifnya masih tampak dalam kalimat, seperti contoh kalimat berikut :

"Buku itu dibaca oleh Budi"

Dalam kalimat di atas subyek aktifnya tampak dalam kalimat, yaitu "Budi". Hal demikian berbeda dengan bahasa arab, di mana dalam kaidah bahasa arab, bentuk pasif (majhul) tidak menampakkan pelaku aktifnya di dalam kalimat.

Demikain pula bunyi ayat yang sedang kita bahas, pada kriteria pertama : "beriman pada apa-apa yang diturunkan kepadamu". Dalam redaksi berbentuk kalimat pasif, maka tidak disebutkan siapa yang menurunkan

Bandingkan dengan redaksi pada ayat lain yang menggunakan bentuk aktif, seperti penggalan dalam surah Al-Baqahah 80 "...mengingkari apa yang Allah turunkan..." (كْفُرُوْا بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ

Maka, apa hikmah dari penggunaan bentuk pasif pada ayat yang kita bahas ini?

"Keimanan". Bahwasanya, orang yang beriman tidak memerlukan penjelasan rinci. Tidak pula memerlukan penjabaran eksplisit tetang siapa yang menurunkan Alquran. Seorang yang beriman, ketika membenarkan Alquran ia sekaligus mengimani dengan pasti bahwa Alquran diturunkan oleh Allah Swt, Sang Pencipta.


Kata Unzila Berarti "Inzal"

Kata "unzila" adalah bentuk majhul dari kata kerja aktif "anzala" yang bermakna "inzal", yaitu menurunkan secara sekaligus. Berbeda dengan "nazzala" yang  bermakna "tanzil", yakni menurunkan sedikit demi sedikit.

Dua bentuk kata tersebut (anzala dan nazzala) sama-sama digunakan dalam Alquran, itu sebabnya para ulama menjelaskan bahwasanya Alquran turun melalui 2 fase, yakni 

1. Turun sekaligus dari sisi Allah Swt ke langit dunia (sama' ad-dunya)

2. Turun bertahap, sedikit demi sedikit, dari langit dunia kepada Nabi saw.

Maka makna inzal pada ayat ini menunjukkan bahwa Alquran diturunkan "secara utuh" dari keadaannya di sisi Allah Swt hingga sampai pada Nabi saw dan umatnya.

Ini menunjukkan bahwa keterjagaan Alquran dimulai sejak sebelum sampai kepada Nabi saw, sehingga isi Alquran yang ada saat ini terjamin keutuhannya, sesuai, tidak memiliki perbedaan versi dengan Alquran yang ada di sisi Allah Swt sebelum diturunkan.

Hal yang demikian tidak sama keadaannya dengan kitab-kitab samawi lainnya, yang mana bahkan saat ini masing-masing kitab-suci selain Alquran bisa memiliki lebih dari 1 versi, sehingga sulit bagi seseorang untuk meyakini apakah kitab tersebut masih otenttik atau tidak. 

Jangankan membandingkan dengan versi yang berada di sisi Tuhan, bahkan sangat sulit memastikan versi saat ini, apakah masih sama pada masa risalah atau tidak.


Penggunaan kata "ilai-ka"

Dhamir (kata ganti) "ka" pada kata "ilaika" adalah untuk mukhatab (orang kedua) tunggal, berarti "kamu" atau "engkau". Di sini terdapat beberapa makna dan hikmah, sebagai berikut :

1. Bukti autentik risalah. Bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi saw, baik secara faktual maupun secara intensional.

Tidak hanya secara fakta bahwa Alquran turun khusus kepada Nabi saw yang terbukti sebagai fakta historis, tapi juga Alquran sejak semula, sejak dari sisi Allah Swt sebelum turun memang secara intensional dipersiapkan, dirancang dan direncanakan untuk diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad saw.

Dengan demikian, ayat ini menjadi dalil yang menolak sebagian kalangan Yahudi, yang mana mereka menduga bahwa kitab akhir zaman akan diturunkan kepada seorang nabi dari kalangan Bani Israel. Namun -dugaan mereka- karena suatu sebab, maka Tuhan memutuskan untuk mengubah rencana, sehingga penerimanya berganti menjadi bangsa Arab, sehingga atas hal itu mereka kecewa dan marah.

Ayat ini juga menolak sekelompok kalangan Syiah Ismailiyah, yang mana mereka meyakini bahwasanya Alquran direncanakan turun kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, namun karena suatu hal, bergeser turun kepada sepupunya, yakni Muhammad saw.

2. Di dalam ayat ini, digunakan kata ganti "engkau", tanpa menyebut nama "Muhammad", untuk memperkuat kata sebelumnya yaitu "beriman". Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa iman tidak memerlukan penjelasan rinci. Iman adalah "membenarkan" dengan kalbu.

3. Kaidah mukhatab. Menjadi kaidah ilmu tafsir, bahwasanya, kecuali dijelaskan secara berbeda, maka setiap kali Alquran menyebut kata ganti orang kedua tunggal, maka itu digunakan untuk Nabi saw.


Kalimat "dan (beriman) pada yang diturunkan sebelum engkau (وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ)

Kata "dan" ("wa") menunjukkan fungsi menggabungkan "atf", sehingga bermakna bahwa beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad saw adalah rangkaian dari iman yang utuh.

Ada yang menarik pada redaksi ayat di atas yang menggunakan kata "dari" "min" (مِنْ). 

Lebih dari 2 kali Alquran menyebut "sebelum engkau" tanpa kata "min", seperti dalam surah Al-Isra 77, sebagai berikut :

سُنَّةَ مَنْ قَدْ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُّسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيْلً

"(Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi (para rasul Kami) yang kami utus sebelum engkau dan tidak akan engkau dapati perubahan atas ketetapan Kami"

Bisa jadi "min" pada ayat tersebut mengandung makna "tab'idh" (sebagian), yang menghilangkah cakupan "kemutlakan masa sebelum". Dari pengertian ini lahir 2 makna, sebagai berikut :

1. Bermakna "masa sebelum dari sebagianmu". 

Makna ini dibahas lebih jauh di dalam ilmu tasawuf. Muhammad saw dilahirkan pada abad ke 7 M, namun nur beliau sudah diciptakan jauh sebelum itu, bahkan pada masa awal penciptaan. 

Kitab-kitab samawi diturunkan sebelum masa kelahiran Nabi Muhammad, tetapi setelah masa penciptaan nur Nabi saw. 

Demikianlah ketelitian redaksi Al-Qur'an yang tidak meninggalkan celah sedikitpun. 

Adapun penggunaan "qoblaka" (tanpa min) pada surah Al-Isra 77 adalah kemutlakan "jabatan rasul", sesuai redaksi ayat (اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُّسُلِنَا), di mana para ulama berpendapat bahwa kerasulan Muhammad saw adalah setelah bi'tsah (saat berusia 40 tahun), sedang sebelum masa kelahiran, beliau telah ditetapkan sebagai nabi, sebagaimana riwayat musnad Ahmad 20596 berikut :

عن ميسرة الفجر، قال: قلت: يا رسول الله، متى كتبت نبيا؟ قال: " وآدم بين الروح والجسد "

"Dari Maisarah Al Fajr berkata, aku berkata, ya Rasulullah, (sejak) kapan engkau ditetapkan sebagai nabi?, Nabi Saw menjawab, saat Adam As masih berupa antara ruh dan jasad"

2. Menghilangkan kemutlakan sebelum, sehingga membuka celah makna "sesudah"

Makna ini dibahas lebih jauh dalam pembahasan eskatologi. Di mana, pada masa yang akan datang, sebelum kiamat, akan turun Nabi Isa as, untuk menyokong Imam Mahdi. Nabi Isa as tidak turun sebagai rasul bagi kaum muslimin, tetapi tetap sebagai rasul bagi Bani Israel, dengan membawa kitab injil yang terjaga. Maka beliau As dan kitab yang beliau bawa akan menjadi hujah untuk mengajak Bani Israel kembali ke jalan yang benar, mengikuti agama Allah Swt (agama Islam) di bawah panji Al-Mahdi.

Kalimat "dan mereka yakin akan (adanya / datangnya) akhirat (وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ)

Orang yang bertakwa haruslah beriman akan adanya hari akhirat. Akhirat berarti lawan dari dunia, yang mencakup alam kubur (barzakh), kiamat, hari berbangkit, alam mahsyar dan hari keputusan, hingga surga dan neraka.

Amat menarik bahwa beriman pada hari akhirat harus disertai dengan "meyakini".

Berbeda dengan iman, yang merupakan pekerjaan hati, yang bisa dilakukan tanpa argumentasi / dalil, maka yakin adalah pekerjaan akal yang memerlukan "burhan", berupa dalil, argumentasi, dasar logis dan seterusnya.

Tidak bisa seseorang mengatakan "saya yakin dengan sesuatu", tanpa memiliki alasan / argumentasi yang kuat atas kebenaran sesuatu itu.

Itu sebabnya, dalam agama, "yakin" dikategorikan dalam 3 tingkatan :

1. Tingkat yakin yang palng rendah adalah : "ilmu al-yaqin". Yakni, yakin yang didasarkan pada pengetahuan akan sesuatu.

2. Lebih tinggi dari itu adalah "ain al-yaqin", yakni, yakin tingkat pertama yang telah dikonfirmasi dengan pengalaman indrawi.

3. Yakin yang paling tinggi adalah "haqq al-yaqin", yakni, yakin tingkat kedua yang telah dikonfirmasi dengan hakehat.

Manusia yang telah mencapai "haqqulyaqin" akan hari akhirat adalah Nabi saw, di mana beliau telah mencapai hakikat akhirat, dengan diundang oleh Allah Swt dalam perjalanan mi'raj hingga "sidratul muntaha". Beliau tidak hanya menyaksikan malaikat, surga, neraka dan penghuninya. Bahkan beliau merasakan buah surga.

Adapun manusia pada umumnya cukup mengetahui ilmu akhirat melalui pengetahuan dari ayat qauliyah (Alquran) dan ayat kauniyah (ciptaan Allah Swt berupa alam semesta), melalui penalaran dunia dan hukum sebab akibat. 

Kita mengetahui akhirat melalui ayat qauliyah, di mana Alquran menjelaskan tentang akhirat, nama, ciri dan apa-apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapinya.

Kita juga bisa meyakini adanya akhirat, melalui penalaran akal. Penalaran menggunakan akal yang bersih tentang hukum sebab akibat akan mengantarkan seseorang meyakini adanya akhirat. Bahwa segala sesuatu berasal dari ketiadaan. Seluruh yang kita saksikan di dunia ini, baik  benda hidup dan benda mati memiliki masa tertentu, maka pada gilirannya akan menemui masa akhir. Itulah penalaran hari akhir.


Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a'lam

Ayat sebelumnya <===         ===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =









Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini