Langsung ke konten utama

"Makna Istikamah dan Keberuntungan" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-5

 "Makna Istikamah dan Keberuntungan" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-5

Bismillahirahmanirrahim,

Selanjutnya, Allah Swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke-5 sebagai berikut :

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung"

Mari kita telaah bersama-sama, setahap demi setahap.


Kata Tunjuk "ulaika" (اُولٰۤىِٕكَ) Pertama

Sebelumnya, pada ayat ke-2 kita menemui kata tunjuk "dzalika" (ذٰلِكَ) yang digunakan untuk obyek tunggal yang keberadaannya jauh dari jangkauan. 

Sekarang, pada ayat ini kita mendapati kata tunjuk "ulaika", yang digunakan untuk menunjuk obyek yang setidaknya mencakup 2 sifat : berjumlah banyak dan keberadaanya jauh dari jangkauan.

Berjumlah banyak, sebab kata ini digunakan untuk menunjuk sejumlah besar hamba Allah yang bertakwa (al-muttaqin). Lalu bagaimana penjelasan tentang "keberadaan yang jauh dari jangkauan" ? Mari kita gali lebih dalam.

Kata "ulaika" dirangkai dengan frasa "di atas" (عَلٰى), menunjukkan bahwa mereka -para mutaqin- berada di luar jangkauan umum, karena memiliki kedudukan tinggi "berada di atas". Terlebih di atas "hidayah" (هُدًى).Dengan kata lain, mereka berada pada kedudukan derajat yang tinggi.

Penting untuk disampaikan, bahwa kata "ulaika" digunakan Alquran untuk menunjuk sekelompok orang dalam 2 pengertian. Ada kalanya digunakan untuk menunjuk kelompok yang memiliki kualitas yang positif dan ada kalanya untuk kelompok yang bersifat negatif. Pada ayat ini, kata tunjuk "ulaika" digunakan untuk sifat positif, yakni orang-orang yang bertakwa, sehingga menunjukkan kesan "pujian dan penghormatan"

Mereka adalah orang-orang yang disifati dengan 3 kriteria sebagaimana sebelumnya dijelaskan dalam ayat ke-3 ditambah dengan 3 kriteria lagi dalam ayat ke-4. Jadi, 6 kriteria unggul ini disematkan kepada mereka, sehingga -meskipun tidak terdapat kata pujian secara eksplisit- di dalam penggunaan kata tunjuk "ulaika" tersimpan makna pujian dan penghormatan, yang melahirkan rasa kagum bagi yang mendengarnya dan melahirkan pula rasa ingin mengikuti jejak langkah orang-orang yang terpuji itu.


Kata "ala hudan mIn rabbihim" (عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ)

Kata "di atas" (عَلٰى) juga bermakna "saairu ulaaika" (سائر اُولٰۤىِٕكَ) yang berarti "mereka secara keseluruhan". Ini menunjukkan bahwa keseluruhan orang yang demikian banyak itu, semuanya berada di atas hidayah. Atau dengan kata lain, hidayah demikian besar dan luasnya, sehingga menampung keseluruhan mereka. Ini mengingatkan makna "hudan" sebagai "Ash-Shirath Al-Mustaqim", yakni jalan yang lurus lagi luas dan besar, sebagaimana dibahas pada surah Al-Fatihah ayat ke-6.

Tak hanya lurus dan luas, jalan ini juga menuju "ke arah atas" yang mengantarkan para peniti jalan ini menuju ketinggian derajat yang semakin meningkat. Ini dikesankan oleh kata "min rabbihim" yang menunjukkan bahwa jalan hidayah ini "berasal" dari Tuhan, sehingga jika jalan ini dilalui setapak demi setapak, maka akan mengarah menuju Tuhan.

Maka siapa saja yang berada di atasnya dan konsisten berjalan tanpa henti, seakan mereka tengah meniti tangga ketinggian, derajat demi derajat.

Kata "min rabbihim" (مِّنْ رَّبِّهِمْ) juga menegaskan bahwasanya petunjuk itu sumbernya mutlak berasal dari Tuhan. Sehingga siapapun yang mengharapkan hidayah, maka ia mesti mengarahkan seluruh pandangan, orientasi dan arah hidupnya kepada Tuhan. Dengan demikian, ia akan berada di atas jalan yang mengantarkannya menuju tempat yang tinggi : keluhuran martabat dan kemuliaan sebagai manusia, di hadapan Sang Pencipta. 

Sebaliknya, siapa yang berpaling dari-Nya, maka ia akan menjauh dari jalan Tuhan, jalan terbalik yang akan menjerumuskan ia menuju tempat yang rendah : kehinaan dan kehancuran martabatnya sebagai manusia.


Beberapa makna Hidayah (هُدًى)

Sedikitnya terdapat 4 makna hidayah, yaitu :

1. Alquran. 

Amat banyak ayat menyebut Alquran dengan istilah petunjuk / hidayah, contohnya adalah ayat ke-2 surah Al-Baqarah yang lalu : "Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk (huda) bagi orang-orang yang bertakwa" (ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ). 

Sehingga siapa saja yang mempelajari dan mengamalkan Alquran, maka ia tengah berada di atas jalan petunjuk.

2. Nabi Muhammad saw. 

Nabi saw memiliki banyak nama, salah satunya adalah "huda", yakni "Sang Petujuk". Beliau juga disebut "Al-Hadi", yang berarti "Sang Pemberi Petujuk". Maka siapapun yang mengikuti jejak langkah beliau, mengikuti sunah-sunahnya, maka ia tengah berada di atas jalan hidayah menuju keridoan Allah Swt.

3. Agama Islam. 

Dalam surah Al-Imran 73 disebutkan

وَلَا تُؤْمِنُوْٓا اِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِيْنَكُمْ ۗ قُلْ اِنَّ الْهُدٰى هُدَى اللّٰهِ...

"Janganlah kamu percaya selain kepada orang yang mengikuti agamamu.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya petunjuk (yang sempurna) itu hanyalah petunjuk (agama) Allah..."

Maka, siapa yang menjalankan agama islam dengan sepenuh-penuhnya (secara kafah) dengan ikhlas maka iapun tengah berada di atas jalan pentunjuk yang lurus.

4. Kakbah di Kota Mekah. 

Surah Al-Imran ayat ke-96 menyebutkan sebagai berikut :

اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ

"Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk (huda) bagi seluruh alam".

Kakbah adalah simbol dari "rumah Allah". Ia menjadi pusat kiblat salat seluruh dunia.

Pada surah Al-Imran di atas, Kakbah dipastikan adalah bangunan peribadatan pertama dalam sejarah manusia. Selanjutnya, para nabi dan rasul yang tersebar di muka bumi membangun pula tempat-tempat peribadatan, hingga datangnya masa Nabi Muhammad saw, agama Islam kembali kepada Kakbah. Maka Kakbah menjadi simbol peribadatan pertama dan terakhir

Maka siapa saja yang mengikuti petunjuk Allah Swt, Al-Qur'an, petunjuk Nabi saw dan agama islam, ia telah mengikuti agama Allah Swt, yang benar, lurus. Ia bukanlah agama baru, tetapi agama yang sejak mula diridai oleh Tuhan dan dianut oleh para Nabi, semenjak Nabi Adam as hingga Nabi terakhir, Muhammad saw.


Kalimat "wa ulaika hum al-muflihun" (وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ)

Huruf "waw" berarti "dan" berfungsi sebagai "atf" untuk menghubungkan kalimat setelahnya dengan kalimat sebelumnya. "Wa" juga bisa berarti "selanjutnya", sebagaimana kata "fa" (berari "selanjutnya" atau "maka") yang memiliki makna "urutan".

Namun berbeda dengan kata "tsumma" yang juga berarti "selanjutnya", di mana kata "tsumma" menegaskan adanya "jeda waktu", sedangkan "wa" yang bermakna "fa" menunjukkan urutan, namun tanpa jeda atau hanya memiliki sedikit jeda

Makna "wa" sebagai "fa" akan lebih tampak pada pembahasan selanjutya.


Kata Tunjuk "ulaika" (اُولٰۤىِٕكَ) Kedua

Secara umum kata ini serupa dengan kata "ulaika" yang digunakan sebelumnya, yakni berupa "isim isyarah" untuk menunjuk orang-orang yang bertakwa yang disifati dengan 6 deskripsi, sebagaimana telah dibahas.

Namun perlu dicatat tebal, bahwa dalam ilmu tafsir terdapat kaidah, bahwa jika sebuah kata yang sama digunakan dua kali dalam satu ayat, maka kata kedua memiliki cakupan makna yang berbeda dari kata yang pertama.

Lalu apa perbedaan cakupan makna "ulaika" yang kedua ini ? mari kita ikuti pembahasan ini lebih lanjut.

Kata "ala hudan" (عَلٰى هُدًى) memiliki 2 pemaknaan, yakni :

1. Menunjukkan akibat.

Bahwasanya, orang yang bertakwa yang telah mencapai 6 kualitas deskripsi yakni beriman kepada Al-Ghaib, mendirikan salat dan seterusnya hingga tuntas 6 kriteria, maka berakibat ia akan berada di atas jalan petunjuk.

2. Deskripsi ke-7

Namun demikian, berada di atas jalan petunjuk bukanlah "hadiah permanen" yang didapatkan setelah memenuhi 6 kriteria tersebut. Seseorang bisa tergelincir sehingga ia keluar, atau bahkan secara sadar mengeluarkan dirinya dari jalan tersebut. 

Maka, berada di atas jalan petunjuk memerlukan upaya lahir-batin, tekad, kesungguhan dan perjuangan yang tidak ringan, berupa konsistensi mempertahankan diri berada di atasanya. Inilah yang dinamakan "istiqomah". Maka istikamah di atas jalan petunjuk ("ala hudan") ini tidak hanya sekedar akibat, tapi menjadi kriteria tambahan (desrkripsi ke-7).

Sehingga orang-orang yang istikamah inilah yang ditunjuk oleh "ulaika" yang kedua.

Seandainya sebelumnya terdapat -sebut saja- 100 orang yang memenuhi 6 kriteria sehingga mereka berada di jalan petunjuk, maka bisa jadi tidak seluruh mereka tetap konsisten dalam istikamah, sebut misalnya tinggal bersisa 70 atau 60 orang saja. Maka 70 atau 60 sisa orang spesial yang memenuhi 7 kriteria inilah, yang dimaksud  oleh "ulaika" ke-2.

Kata "hum" (هُمُ) berarti "mereka", yakni kata ganti untuk orang ketiga jamak, semakin memberikan diferensiasi kepada kelompok yang spesial ini.


Makna "Al-Muflihun"

"Al-Muflihun" diartikan sebagai "orang-orang yang beruntung". Di dalam Alquran, "beruntung" digambarkan dengan sedikitnya 2 kata kerja, yakni "af-la-ha" dan "ra-bi-ha". "Muflihun" adalah "isim" (kata benda) bentukan dari kata kerja yang pertama.

Makna umum dari beruntung adalah sebagaimana digambarkan oleh Nabi saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, sebagai berikut :

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)

"Barang siapa hari ini (amalnya) lebih baik dari hari kemarin, dia tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dia tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dia tergolong orang yang celaka" HR. Al-Hakim.

Kita dapat tangkap bahwa keberuntungan dimaknai secara sederhana sebagai "memperoleh penambahan kebaikan". Maka, orang yang melalui periode yang sama dengan sebelumnya, tapi tidak memperoleh tambahan kebaikan, ia termasuk kelompok orang yang rugi.

Orang-orang yang istikamah ("ala hudan") digambarkan dalam ayat ini sebagai orang-orang yang beruntung. Para ulama mengartikan "keberkahan" sebagai "ziyadah fil khair" (penambahan kebaikan). Lebih lanjut mereka -para ulama- mengatakan bahwa keberkahan itu terletak pada istikamah

Maka, janganlah kita menduga, seorang yang istikamah dalam amal berarti berupa orang yang "tetap sama", tidak berkurang dan tidak bertambah. Tidak demikian! 

Sebuah amal yang dilakukan oleh orang yang istikamah berbeda nilainya dibandingkan dengan ibadah yang sama, yang dilakukan oleh orang yang tidak istikamah.

Dalam praktik dunia bisnis misalnya, hal demikian juga digunakan. Seorang pelanggan yang loyal diberikan predikat yang bertingkat, seperti pelanggan dengan badge silver, gold, diamond dan lainnya. Mereka akan mendapatkan point setiap kali bertransaksi. Selanjutnya point yang diterima akan berbeda oleh masing-masing predikat badge, meskipun mereka bertransaksi produk yang sama. Mengapa? Sebab penyedia layanan produk sangat menghargai loyalitas pelanggan.

Loyalitas memiliki kemiripan dengan istikamah. Tentu tidak persis benar, namun Allah Swt menggambarkan keberuntungan pada para mustaqim (orang-orang yang istikamah) sebagaimana pelanggan yang loyal dengan berbagai peringkat, yang tentu saja jauh lebih baik dan lebih besar dari itu.  


Al-Muflihun (الْمُفْلِحُوْنَ) dan Petani

Sempat disinggung sebelumnya, bahwa Alquran menggunakan sedikitnya 2 istilah dalam menggambarkan "keberuntungan", namun amat menarik bahwa Alquran jauh lebih sering menggunakan kata dari turunan "af-la-ha" dibanding menggunakan "ra-bi-ha".

Lalu ada rahasia apa di balik kata "af-la-ha"?

Kata "af-la-ha" menggunakan akar kata yang sama dengan "al-fallah" (petani), sehingga menggunakan penggambaran petani untuk mewakili makna keberuntungan.

Untuk memudahkan penggambarannya, mari kita bandingkan antara petani dan peternak.

Masing-masing kedua jenis pekerjaan itu memilki pola kerja yang mirip : tanam - panen. 

Seorang peternak udang misalnya, apabila mengharapkan panen sebanyak 1 juta udang dewasa, maka ia membutuhkan sedikitnya sebanyak 1 juta benih udang. Lalu ia akan memelihara, memberikan makanan, makanan tambahan dan pemeliharaan lain sampai dengan datangnya masa panen. Apabila ia berhasil, ia akan mendapatkan panen maksimal sebanyak 1 juta udang dewasa. 1 juta mendapatkan 1 juta.

Namun, tidak demikian buat petani. Seorang petani mangga, misalnya, ia menanam 1 juta benih, lalu ia memelihara, memberikan pupuk dan pemeliharaan lain hingga datangnya masa panen. Apabila ia berhasil dan mendapatkan panen maksimal, maka, apakah ia mendapatkan 1 juta buah mangga siap panen? Tidak. 

1 benih mangga tidak menghasilkan 1 buah mangga matang, namun menghasilkan 1 pohon mangga dewasa yang setiap pohonnya dapat menghasilkan puluhan, ratusan hingga ribuan buah mangga.

"Penambahan" keuntungan dari 1 menjadi berlipat-lipat itulah agaknya, penggambaran "keberuntungan" yang ingin disampaikan oleh Alquran.

Apabila dalam dunia bisnis, sebuah perusaan dinilai mengalami keuntungan besar bila ia mendapatkan laba 20%-40% dari penjualan, misalnya. Atau sebut lagi memperoleh laba hingga 50% dari jumlah modal yang ditanam. Maka Alquran mempresentasikan hasil panen petani yang mendapatkan panen puluhan, ratusan atau ribuan kali lipat dari benih sebagai konsep keberuntungan yang diterima oleh orang-orang yang bertakwa.

Dalam kitab "Ihya Ulumuddin - Al-Ghazali" disebutkan sebuah riwayat menyatakan"dunia itu adalah ladang (tempat menanam untuk di panen di) akhirat" (الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ).

Lebih jauh, Alquran surah Al-Baqarah 261 menyatakan:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

"Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui"


Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam

Ayat sebelumnya <===         ===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =








Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini