Langsung ke konten utama

"Orang-orang Yang Tidak Mempan Dakwah" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-6

"Orang-orang Yang Tidak Mempan Dakwah" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-6

Bismillahirahmanirrahim,

Surah Al-Baqarah ayat ke-6 berbunyi sebagai berikut :

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Ayat ini, terjemahannya secara tekstual demikian :

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman".

Coba Anda baca sekali lagi terjemah di atas. 

Terjemah di atas tidak salah, namun bila dibaca tanpa memahami makna ayatnya, maka akan keluar dari konteks ayat bahkan bisa melahirkan risiko besar berupa kesalahan interpretasi yang sangat fatal dan berbahaya.

Membaca terjemah di atas, bisa jadi menimbulkan dalam benak seseorang, pernyataan dan pertanyaan semacam di bawah ini :

1. Orang kafir itu diberi peringatan atau tidak, tidak ada gunanya. Jadi dakwah kepada mereka itu tidak perlu bahkan sia-sia?

2. Apakah Nabi saw berdakwah pada orang kafir? Jika tidak, maka apakah Nabi saw pilah-pilih dalam berdakwah? jika ya, maka apakah berarti Nabi saw melakukan perbuatan yang sia-sia?

3. Apakah Nabi saw tidak mampu menyampaikan dakwah yang "pas" kepada orang kafir, sehingga dakwah menjadi tidak berpengaruh buat mereka? Jika Nabi saw saja tidak mampu, apalagi orang biasa? Maka berarti tidak boleh berdakwah kepada orang kafir?

4. Apakah ayat itu bermaksud menegur Nabi saw?

Jika dibiarkan, daftar pernyataan dan pertanyaan semacam di atas bahkan bisa semakin berentet dan bergulir menjauh dari maksud ayat.

Oleh karena pentingnya, melalui pembahasan kali ini, kita akan bersama-sama mendalami makna demi makna, sehingga bisa menjawab dan meluruskan simpang siur di atas, insyaallah.

Ayat di atas, secara sederhana terdiri dari 4 pokok bagian, yaitu :

1.  "Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu" (اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا)

2. "Sama saja bagi mereka" (سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ)

3. "Engkau beri peringatan atau tidak" (ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ)

4. "Mereka tidak akan beriman" (لَا يُؤْمِنُوْنَ)

Mari kita lihat satu per satu.


Pokok Bagian Pertama "Sesungguhnya Orang-orang kafir itu"

Kata "sesungguhnya" (اِنَّ

Kata ini disebut "harf taukid", yaitu kata yang berfungsi untuk menegaskan, diartikan "sesungguhnya".

Dalam percakapan sehari-hari, kita kerap mendengar kata serupa, yang diucapkan untuk menegaskan kalimat sebagai bersifat benar, dan pasti. Mereka menggunakan kata itu untuk membedakan dengan kalimat-kalimat lain yang umum. Di mana kalimat selainnya yang umum banyak mengandung ketidakbenaran juga ketidakpastian.

Dalam konteks seperti itu, maka buat apa Alquran menggunakan kata "sesungguhnya"? Bukankah seluruh ayat Alquran berisi kebenaran dan kepastian ?

Maka perlu dicatat, bahwa "harf taukid" tidak dimaksudkan untuk menekankan "muatan kebenaran atau kepastian" ayat. Informasi yang disampaikan Alquran seluruhnya bersifat pasti dan benar, sehingga tidak ada keperluan untuk menambah muatan / nilai tersebut.

Kata "sesungguhnya" di dalam wahyu, juga bukan ditujukan kepada penerima wahyu (Nabi saw). Sebab Nabi saw tidak pernah dalam keadaan ragu akan kebenaran dan kepastian ayat-ayat Alqur'an, sehingga beliau saw sama sekali tidak perlu diyakinkan. 

Lalu, untuk siapa penekanan tersebut?

Harf taukid ada kalanya ditujukan kepada pendengar langsung dan tidak langsung, baik kaum mukminin maupun selainnya, atau kepada kelompok yang sedang dibicarakan.

Pada masa turunnya Alquran, baik ketika Nabi saw berdomisili di kota Mekah maupun Madinah, hampir setiap kelompok masyarakat senantiasa menunggu-nunggu ayat yang akan turun. Bagi kaum mukmin, setiap ayat yang turun mereka rasakan seperti sapaan dari Tuhan yang meredakan buncah rindu mereka akan petunjuk dan rahmat-Nya. 

Kaum kafir juga menunggu turunnya ayat untuk menjawab rasa ingin tahu mereka, yang nantinya akan mereka pakai untuk menyusun strategi guna menghambat dakwah Nabi saw sekaligus menghancurkannya. 

Maka bagi kedua kelompok ini, setiap ayat yang turun dengan berbagai intonasi dan penekanan akan turut mempengaruhi jiwa dan perilaku mereka.

Untuk mengetahui pengaruh kata "inna(اِنَّ) kita akan melangkah pada pembahasan berikutnya terlebih dahulu.

Kata "orang-orang kafir" (الَّذِيْنَ كَفَرُوْا)

Terkait kata ini, setidaknya terdapat 3 poin penting.

1. Kata Benda atau Kata Kerja?

Coba Anda perhatikan, frasa "orang-orang kafir" digambarkan bukan dalam bentuk "kata benda" tetapi dengan kata kerja lampau "ka-fa-ra".  Alquran ingin menunjukkan dengan penggunaan itu, bahwa orang-orang yang pada saat ayat ini disampaikan, mereka dalam keadaan kafir bukannya tanpa sebab. Mereka kafir karena mereka telah melakukan perbuatan kekafiran pada masa sebelumnya. Kafir adalah akibat, sebagaimana keimanan juga adalah akibat bagi orang-orang yang melakukan upaya, berupa perbuatan ketakwaan.

2. Makna ka-fa-ra

Kata "ka-fa-ra" setidaknya mencakup 3 makna, yaitu:

a. Berarti menutup diri dari petunjuk.

Alquran kerap kali menggambarkan petunjuk sebagai cahaya, sedangkan "kegelapan" (dzulumat) mewakili kekafiran. Orang yang kafir dalam pengertian ini, ia menutupi dirinya dari petunjuk, sebagaimana seseorang yang menyangkal terangnya cahaya di siang hari dengan cara mengenakan kacamata hitam pekat sambil memejamkan mata.

b. Berarti menutupi petunjuk.

Jika pengertian sebelumnya adalah ia menutupi dirinya dari petunjuk, maka pengertian kedua ini, ia justru menutupi petunjuk dengan berbagai penghalang, sehingga petunjuk itu diharapkan tidak sampai kepada dirinya dan orang lain. Sebagaimana setan dan balatentaranya berupaya menyimpangkan petunjuk dari manusia, mereka berupaya menutupi keberadaan petunjuk dengan berbagai tirai muslihat. Pada masa Nabi saw, kaum kafir melekatkan predikat kepada diri Nabi dengan berbagai stigma semacam tukang sihir, pembohong, orang gila dan lain sebagainya. Mereka melakukan itu sebagai upaya untuk menutupi sifat asli Nabi saw sebagai seorang yang suci, jujur dan terpercaya. Berbagai predikat buruk itu mereka jadikan sebagai penghalang kebenaran petunjuk yang dibawa oleh Nabi saw, dari pandangan masyarakat

c. Berarti berdusta.

Pengertian ketiga dari kafir / ingkar adalah berdusta, atau mendustakan petunjuk. Di dalam Alquran amat banyak penggambaran dengan makna ini, seperti dalam surah Al-An'am 27:

وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ وُقِفُوْا عَلَى النَّارِ فَقَالُوْا يٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِاٰيٰتِ رَبِّنَا وَنَكُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Seandainya engkau (Nabi Muhammad) melihat ketika mereka (orang-orang kafir) dihadapkan ke neraka, mereka berkata, “Seandainya kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan lagi mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, dan kami akan menjadi orang-orang mukmin.”"

Ketika mereka tidak mampu menutup diri dari petunjuk, karena sifatnya yang amat terang dan terbuka, serta tidak pula mereka mampu menutupinya, maka mereka mendustakannya. Seperti halnya mereka berdusta dengan mengatakan bahwa yang diucapkan Nabi saw adalah syair, padahal mereka tahu bahwa itu pasti bukan syair. Maka sesungguhnya, mereka mendustai diri sendiri.

3. Kafir itu Perbuatan Apa ?

Kita bisa lihat bahwa seluruh makna di atas terkait perbuatan dalam domain fisik dan akal. Menutupi diri, menutup petunjuk dan berdusta termasuk perbuatan pikiran dan perbuatan anggota badan. Akan tetapi kita tahu, bahwa sebagaimana iman adalah perbuatan kalbu, maka kekafiran itu juga sejatinya adalah perbuatan kalbu.

Di sini, kita dapat pahami dengan semakin jelas, bahwa pada gilirannya, setiap perbuatan fisik dan perbuatan akal akan memberi pengaruh pada kalbu. Sehingga dapat dikatakan bahwa: setiap perbuatan fisik dan akal sudah pasti merupakan perbuatan kalbu secara tidak langsung.


Pokok Bagian Kedua "sawa'un alaihim(سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ)

Kata sawa' (سَوَاۤءٌ) memilii ragam makna yang serupa dengan "sama level", "sama bobot", "ekuivalen", "seimbang", "proporsi", "rata" dan sebagainya.

Mari perhatikan contoh dalam surah Al-Kahfi 96 sebagai berikut :

اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًاۙ قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا

"Berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga ketika (potongan besi) itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulqarnain) berkata, “Tiuplah (api itu).” Ketika (besi) itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).”"

Kata "saawaa" (سَاوٰى) dalam ayat di atas terambil dari makna yang sama dengan "sawa'un", menunjukkan bahwa Zulqarnain memerintahkan untuk menuang potong-potongan besi terus-menerus tanpa henti, hingga ia sama tinggi atau sama level dengan kedua puncak (titik tertinggi) dari 2 bukit di sana.

Kita dapat pahami di sini, bahwa kata "sawa'un" menunjukkan keadaan yang sama / serupa / ekuivalen, antara 2 kondisi yang berbeda, yang mana  dalam ayat yang kita bahas ini berupa : "diberi peringatan" atau "tidak diberi peringatan".

Lalu kata berikutnya menjadi kata kunci, yaitu "bagi mereka / alaihim" (عَلَيْهِمْ). Bahwa kondisi yang sama atau hampir sama, antara 2 : diberi peringatan atau tidak, itu berlaku bagi mereka, bukan bagi Nabi saw. Alquran tidak mengatakan "sawa'un alaika" (sama saja bagimu). 

Sehingga jelas, bahwa Bagi Nabi saw antara beliau saw berdakwah kepada mereka atau tidak, maka keadaanya tidak sama. Maka menjadilah tidak laku tuduhan keliru yang mengatakan bahwa berdakwah kepada orang kafir itu tidak berguna.

Kita bisa katakan pada poin di sini, bahwa "pasti berguna bagi pendakwah". 

Lalu, apakah tidak memberi pengaruh sama sekali terhadap orang-orang kafir sebagai obyek dakwah? Kita akan lihat ini pada pembahasan selanjutnya.


Pokok Bagian Keempat "Mereka tidak akan beriman" (لَا يُؤْمِنُوْنَ)

Untuk memudahkan pembahasan kami melompat pada pembahasan keempat sebelum ketiga.

Kata "la  yu'minun" berarti "mereka tidak beriman", yang menggunakan "fi'l mudhari'", yakni kata kerja yang digunakan untuk saat ini dan yang akan datang.

Setidaknya, bentuk ini mengandung 2 makna utama:

1. Makna Konsistensi

Di awal kalimat, "orang-orang kafir" digambarkan dengan bentuk kata kerja lampau "kafaru" (كَفَرُوْا) yang menunjukkan bahwa mereka pada masa lampau melakukan perbuatan kekafiran. Lalu pada akhir kalimat, kembali digunakan kata kerja, namun menggunakan bentuk saat ini dan akan datang, sehingga menggambarkan keberlangsungan dan konsistensi perbuatan. Bahwa mereka konsisten tetap melakukan pekerjaan kekafiran tersebut sejak masa lampau hingga saat ini.

Sedikit mengingatkan, apabila ayat sebelumnya (Al-Baqarah ayat 5) menggambarkan orang-orang yang bertakwa memperoleh keberuntungan melalui konsistensi (istikamah) dalam perbuatan takwa, maka dalam ayat ini digambarkan adanya kelompok orang-orang kafir tetap dalam kekekafiran, juga karena konsistensi (istikamah) dalam perbuatan kekafiran.

2. Makna Tekad.

Perbuatan kekafiran sejatinya adalah perbuatan di dalam domain kalbu, menunjukkan bahwa mereka telah bertekad di dalam hatinya sejak masa sebelumnya, untuk tetap melakukan pekerjaan kekafiran. Dengan tekad tersebut membalut kalbu mereka tetap dalam kondisi kekafiran hingga saat ini, bahkan hingga masa yang akan datang.

Maka menjadi jelaslah, bahwa tekad dan konsistensi itu yang menyebabkan mereka tidak terpengaruh oleh dakwah Nabi saw. Dengan kata lain, bukan dakwah Nabi yang tidak memberi pengaruh, namun justru tekad dan konsistensi itu yang menghalangi petunjuk. Tekad dan konistensi adalah kesengajaan, yaitu upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus.

Melalui ayat ini, Allah Swt sedang "membuka rahasia" : hukum sebab akibat. Bahwa Allah Swt membekali dakwah Nabi dan menghibur beliau, supaya tidak merasa bersalah dan bersedih, seandainya terdapat sekelompok umat manusia yang "tidak mempan" petunjuk, maka itu bukanlah salah Nabi saw, tetapi itu adalah kemauan mereka itu sendiri.

Jadi jelaslah, bahwa ayat ini bukan sedang menyalahkan dakwah Nabi saw, tetapi justru menghibur beliau agar beliau terhindar dari rasa bersalah yang tidak perlu.

Bahwa : akan ada orang-orang yang karena kemauan mereka, mereka bertahan, bertekad dalam kekafiran dengan terus menerus berbuat kekafiran. Mereka inilah yang tidak mempan dakwah, Sehingga bagi mereka sama saja, apakah Nabi memberi peringatan atau tidak memberi peringatan.


Pokok Bagian Ketiga "Engkau beri peringatan atau tidak" (ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ)

Di atas sudah disebutkan bahwa ada sekelompok manusia yang tidak mempan dakwah. Mereka keadaannya sama saja meskipun berada dalam 2 kondisi berbeda:

- Kondisi 1 - diberi peringatan

- Kondisi 2 - tidak diberi peringatan

Mari kita lihat satu demi satu.

Kondisi 1: "a-andzartahum" (ءَاَنْذَرْتَهُمْ)

Huruf depan "hamzah" (ءَ) disebut "hamzah istifham" yang memberi arti serupa dengan "hal" (هل), yaitu berupa pertanyaan yang diartikan sebagai "apakah". Namun dalam penggunaannya, dua bentuk kata tanya tersebut berbeda. 

"Hal" (هل) hanya digunakan untuk pertanyaan "mutsbat", di mana peluang terjadinya sama  besar, antara jawaban "ya" atau "tidak". 

Sedangkan "hamzah" (ءَ) dapat digunakan baik untuk pertanyaan "mutsbat" maupun "nafi"

Dalam kasus ini lebih menunjukkan penggunaan "nafi" (menafikan).

Menarik untuk diperhatikan bahwa kata kerja yang digunakan untuk bertanya adalah (ءَاَنْذَرْتَهُمْ) berbentuk lampau (an-dza-ra), yang sebangun dengan kata sebelumnya "inna alladzina kafaru" (ka-fa-ra) yang juga berbentuk lampau. 

Sehingga pertanyaan kondisi 1 yang berbunyi "apakah engkau beri peringatan" (ءَاَنْذَرْتَهُمْ) mengandung pengertian : Engkau wahai Nabi belum pernah memberikan peringatan kepada orang kafir itu pada masa lalu, ketika saat itu mereka melakukan perbuatan kekafiran.

Mengapa pada masa lalu Nabi saw belum memberikan peringatan? Tentu saja karena saat itu Nabi saw belum menerima tugas tersebut. Penggunaan kata sebelumnya "innalladzina kafaru" (اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) menunjukkan bahwa orang-orang kafir tersebut melakukan perbuatan kekafiran sebelum turun perintah kepada Nabi saw untuk berdakwah secara terbuka

Kondisi 2: "am lam tundzirhum" (اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ)

Pada kondisi 2 ini, "lam tundzirhum" menggunakan kata kerja fi'l mudhari' yang menunjuk waktu saat ini (saat turun ayat tersebut). Kata ini berarti pengandaian: "atau Engkau (Nabi saw) tidak memberi peringatan pada mereka (saat ini)". 

Berbeda dengan kondisi 1 sebelumnya, pada kondisi 2, karena Ayat ini turun setelah perintah dakwah secara terbuka, maka dapat dipastikan bahwa Nabi pada saat tersebut memang telah dan sedang menunaikan dakwah kepada umat manusia, termasuk orang-orang kafir tersebut.

Lalu...

Apakah Ayat Ini Bermaksud Menyalahkan Nabi saw?

Secara sederhana, ayat ini memberitakan bahwa ada sekolompok orang-orang kafir yang tidak mempan dakwah dengan pengandaian, meskipun memenuhi kondisi 1 atau kondisi 2. 

Kondisi 1 adalah pengandaian dengan bunyi "kiranya dahulu engkau mendakwahi mereka". Kondisi ini tidak terpenuhi, sebab pada masa lalu tersebut Nabi tidak mendakwahi mereka lantaran belum turun perintah dakwah. Karena tidak terpenuhi, maka tidak berdakwahnya nabi kepada mereka pada masa lalu bukan menjadi sebab kekafiran kaum tersebut. Sehingga pada kondisi 1 ini tidak membuka ruang untuk mengaitkan Nabi saw dengan kafirnya mereka

Karena kondisi 1 tidak terpenuhi, maka tertolaklah dugaan sementara orang yang menganggap ayat ini menyalahkan Nabi saw.

Sekarang, mari kita lihat untuk kondisi 2.

Kondisi 2 adalah pengandaian dengan bunyi "kiranya saat ini engkau tidak mendakwahi mereka". Kondisi ini jelas tidak terpenuhi, sebab saat tersebut justru Nabi tengah berdakwah. Karena tidak terpenuhi, maka kekafiran kaum tersebut juga tidak memiliki hubung-kait dengan dakwah Nabi. Sehingga, kembali menegaskan ayat ini tidak membuka ruang sedikitpun untuk menyalahkan Nabi saw.

Dengan tidak terpenuhinya kedua kondisi di atas dengan dakwah Nabi, maka ayat ini justru bersifat menghibur Nabi, agar tidak merasa bersalah, sebab kekafiran mereka murni berasal dari diri mereka sendiri dan tidak terkait dengan Nabi saw yang sangat bersungguh-sungguh dalam menyampaikan dakwah.


Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita bisa tarik beberapa kesimpulan penting, antara lain:

1. Nabi tidak pernah dalam kondisi ragu atas hidayah Allah Swt, sehingga harf taukid di dalam Alquran tidak diarahkan kepada beliau saw.

2. Dakwah melekat pada subyek, bukan pada obyek. Dan, berhasil tidaknya dakwah tidak berada di tangan pendakwah.

3. Dakwah berguna bagi obyek yang didakwahi. Ini terbukti dari begitu banyaknya manusia yang berubah menjadi beriman pada masa Nabi saw, setelah sebelumnya mereka ingkar bahkan sangat memusuhi Islam.

4. Dakwah tidak mempan bagi kelompok yang atas kemauannya sendiri memilih kafir disertai tekad dan konsistensi dalam perbuatan kekafiran.

5. Sebagaimana iman adalah perbuatan kalbu, maka kafir juga adalah perbuatan kalbu. Namun, meskipun "kafir" termasuk perbuatan kalbu, ia juga dipengaruhi oleh perbuatan akal dan jasmani.

6. Ayat ini bermaksud membekali Nabi saw dan menghibur beliau, supaya tidak merasa sedih atas kafirnya kaum tersebut. Ayat ini juga memuji Nabi yang tetap gigih, tanpa putus asa, terus menerus berdakwah kepada umatnya, termasuk kepada mereka-mereka yang gigih dalam kekafiran.

7. Ayat ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya mempelajari ilmu tafsir, untuk menghindarkan, atau setidaknya meminimalkan risiko kekeliruan dalam memahami ayat, dibanding hanya membaca dari terjemah.


Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a'lam

Ayat sebelumnya <===         ===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =









Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini