Langsung ke konten utama

"Hukuman Bagi Orang yang Kafir" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-7

 "Hukuman Bagi Orang yang Kafir" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-7

Bismillahirahmanirrahim,

Surah Al-Baqarah ayat ke-7 berbunyi sebagai berikut :

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

"Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka terdapat penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat"

Dalam beberapa terjemah ada pula yang menggunakan kata "mengunci mati"!!!

Anda bisa baca sekali lagi terjemah resmi Depag RI di atas, lalu bagaimana pengertian yang muncul di benak Anda?

Bila kita terpaku pada arti terjemahan saja, maka sangat mungkin lahir dari benak Anda beberapa daftar pertanyaan dan pernyataan seperti di bawah ini:

  • Kalau hati telah dikunci oleh Tuhan, maka apakah ini menjadi sebab dari kafirnya seseorang yang disebutkan dalam ayat ke-6? 
  • Bila demikian, apakah kafirnya seseorang itu takdir yang tidak bisa diubah?
  • Apakah Tuhan bersifat semena-mena dengan kekuasaanya? wal iyadzu billah
  • Apabila kalbu dan pendengaran sudah dikunci dan penglihatan ditutup, maka apakah sudah tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk bertobat?
  • Orang yang sudah "ditakdir" menjadi kafir. mengapa harus disiksa pula? apakah Tuhan memiliki sifat kejam dan semena-mena?, wal iyadzubillah

Supaya daftar di atas tidak bertambah panjang, mari kita gali ayat ini lebih dalam setahap demi setahap. Semoga dengan mempelajarinya, kita dapat menjawab serta meluruskan "daftar simpang siur" di atas, insyaallah.


Kata "khatamallahu" (خَتَمَ اللّٰهُ)

Kata "kha-ta-ma" (خَتَمَ) adalah kata kerja bentuk lampau (fi'l madhi), yang disandingkan dengan asma Allah. Kedua kata yang bersanding ini memiliki beberapa makna penting, yakni:

1. Menunjukkan kekuasaan Allah Swt

Bahwa Allah Swt berkuasa untuk melakukan apapun yang Dia kehendaki, termasuk berkuasa untuk berbuat terhadap ciptaan-Nya dan berkuasa pula dilakukan di masa lampau.

Pada ayat sebelumnya, orang-orang kafir digambarkan sebagai melakukan perbuatan kekafiran "di masa lalu", maka pada ayat ini Allah melakukan "show off", menunjukkan sifat "Al-Kibriya" (sifat arogansi 1)) atas orang-orang kafir tersebut. Bahwa ketika orang-orang kafir itu melakukan perbuatan ingkar (mengingkari Tuhan dan petunjuk-Nya) di masa lalu, maka Tuhan pun bisa bahkan lebih bisa untuk berbuat pula di masa lalu.

2. Allah adalah Maha Subyek

Allah Swt ingin menunjukkan bahwa manusia bisa menjadi subyek, tetapi hanya bersifat relatif. Sedangkah Tuhan adalah Maha Subyek. Dia yang menciptakan setiap makhluk, termasuk menciptakan setiap perbuatan mereka. Tidak ada satupun perbuatan makhluk dapat terjadi kecuali dengan perkenan-Nya. Maka dengan perkenan-Nya, makhluk dapat berbuat dan bertanggung jawab atas konsekuensi setiap perbuatan masing-masing mereka, yang bersifat baik maupun buruk.

3. Kekuasaan Allah, yang khusus berada di tangan-Nya

Tuhan yang menciptakan makhluk dan menghidupkannya, maka Ia pula yang berkuasa untuk mematikan kehidupan makhluk. Demikain pula dengan kalbu. Dia yang menciptakan dan menjadikan kalbu itu "dalam keadaan terbuka", maka Dia pun mampu mengubahnya sehingga menjadikannya "dalam keadaan tertutup". 

Di mana, bila diperbandingkan, maka perbuatan Tuhan "kha-ta-ma" memiliki arti yang mirip dengan perbuatan orang-orang kafir "ka-fa-ra", yakni "menutup". Tetapi keduanya memiliki makna yang berbeda yang akan kita pelajari pada bagian berikut ini, insyaallah.

Makna Khatama (خَتَمَ)

Kata ini memiliki makna yang serupa dengan : menutup, segel, lak, cap seperti dalam bahasa inggris "seal". 

Berikut beberapa contoh penggunaanya:

1. Lak surat. Dahulu, ketika Nabi Muhammad saw menulis surat resmi yang dikirimkan kepada pembesar negeri lain, Nabi membubuhkan pada surat beliau berupa lak yang di-cap dengan cincin kenabian beliau yang bertuliskan "Muhammad Rasulullah".

Setelah selesai surat ditulis, surat itu dalam keadaan terbuka, sehingga dapat dibaca. Lalu dengan di-lak, surat tersebut menjadi dalam keadaan tertutup. Perbuatan "me-lak" berarti mengubah keadaan yang semula terbuka menjadi tertutup.

Maka lak / stempel (khatam) juga menjadi bukti otentisitas, bahwa surat itu betul berasal dari Nabi saw dan dalam keadaan tertutup hingga diserahkan dan nantinya dibuka oleh si penerima.

Sekaligus makna ini menunjukkan bahwa : benda yang di-lak / disegel (ditututup), maka masih bisa dibuka kembali. Bahkan "diharapkan untuk bisa dibuka" di masa mendatang. Tentunya, dengan upaya tertentu, yang memungkinkan. 

Sebagaimana botol yang disegel, tidak dimaksudkan untuk ditutup selamanya, namun dapat dibuka, dengan alat tertentu dan cara tertentu.

2. Alquran menyebut Nabi saw sebagai "khatam An-Nabiyiin", sebagaimana dalam surah Al-Ahzab 40 :

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ...                         

"Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi"

Untuk sub kalimat " Muhammad saw itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu" kami telah membahas terpisah, bagi yang berminat dapat membacanya di sini

Saat ini, kita fokus pada sub kalimat "melainkan dia saw adalah utusan Allah dan "khatam" para nabi"

Makna Khatam An-Nabiyiin

Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai lak / segel para nabi utusan Tuhan. Segel menunjukkan "keaslian", bahwa ia asli (bukan palsu / tipuan). Bahwa, setiap nabi yang diutus oleh Tuhan kepada setiap umat, maka ia akan menunjukkan "bukti keasliannya (segel)" berupa nubuwah akan datangnya Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir. Jika tidak demikian, maka ia tidak memiliki segel, maka dapat dipastikan bahwa ia palsu dan berdusta.

Nabi Muhammad saw juga "khatam" dalam pengertian, ia "menutup kenabian", bahwa selepas beliau saw maka tidak ada lagi risalah baru, tidak ada lagi "update". Risalah dari langit sudah  utuh dan sempurna. Maka, bila selepas beliau saw ada makhluk lain, -entah manusia atau bukan- yang mengaku membawa risalah baru, penyempurnaan risalah langit, atau semacamnya, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah palsu dan pendusta.

"Khatam" dalam ayat di atas tidak dimaksudkan bahwa tidak ada lagi seorang Nabi yang akan datang. Bahkan beliau menyampaikan nubuwah, kepastian akan datangnya Nabi Isa As pada akhir zaman. Akan tetapi, makna "khatam" bermaksud bahwa tidak ada risalah baru. Sehingga Nabi Isa As akan datang tetap sebagai nabi bagi bani Israil, untuk meluruskan mereka dan mengajak untuk memperbarui (update) risalah bani Israel menjadi agama Allah SWT yang paripurna : Agama Islam.


4. Tuhan bersifat semena-mena?

Pada bagian muka telah dipaparkan bahwa "khatama Allahu" (خَتَمَ اللّٰهُ) menunjukkan sifat kekuasaan Allah dan ke-mahasubyek-an Tuhan secara mutlak. 

Tuhan menciptakan alam semesta termasuk pula menciptakan "mekanisme berjalannya sebab akibat".  Sehingga, setiap makhluk yang melakukan perbuatan "sebab", maka sejatinya bukan diri si makhluk itu yang "menciptakan akibat". Karena tidak ada satu kejadianpun, melainka setiapnya berada dalam mekanisme kekuasaan Tuhan. Dan, tidak ada satu kejadian pun, kecuali ia berada dalam ijin dan kehendak-Nya.

Namun, tidak berarti bahwa Tuhan "menginginkan" (ber-iradah) agar seseorang tertimpa akibat yang buruk. Betul bahwa Tuhan bersifat "maha subyek", namun tetap saja bahwa si makhluk juga diberikan "kuasa relatif" untuk berbuat dan memilih dengan kebebasan dan kehendaknya masing-masing.

Allah SWT bersifat "sari'ul hisab" (maha cepat perhitungannya), Jika Dia Swt berhitung, maka berarti sebelumnya telah ada obyek transaksi bukan? 

Obyek transaksi itulah : perbuatan relatif si makhluk.

Maka perlu kita pahami dengan benar, bahwa "Allah Swt menyegel kalbu" orang kafir, itu akibat si orang kafir itu yang telah terlebih dahulu melakukan perbuatan kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya "inna alladzina kafaru.." (sesungguhnya orang-orang kafir). Di mana kata "kafaru" berupa kata kerja lampau, yang menunjukkan orang tersebut kafir karena mereka telah melakukan perbuatan kekafiran.


Kalimat "ala qulubihim wa ala sam'ihim" (عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ)

Kata "ala" adalah preposisi yang memiliki arti serupa, namun makna berbeda dengan "fauqa". Di mana, kata "fauqa" berarti berada di atas "tanpa menempel", sedangkan kata "ala" berarti berada di atas dan menempel.

Kata "qulub" (kalbu) berbentuk jamak / plural, sedangkan kata "sam'i" (pendengaran) berbentuk tunggal. Ini mengindikasikan bahwa kalbu manusia berupa susunan bagian-bagian. Di dalam kajian tasawuf dijelaskan bahwa kalbu manusia berlapis / bertingkat. Maka, lapisan paling atas itulah yang mengalami "penyegelan".

Kata "sam'un" berarti "kemampuan mendengar" Ayat di atas menggunakan bentuk tunggal, mengindikasikan bahwa manusia memiliki "satu" kemampuan mendengar. Meskipun "berjumlah satu", bisa jadi kemampuan tersebut dapat diasah-kembangkan sehingga dapat meningkat kemampuannya.

Kalimat "wa ala absharihim ghisyawah" (وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ)

Berbeda dengan "sam'un", kata "abshar" berbentuk jamak / plural, mengindikasikan bahwa manusia memiliki "sejumlah kemampuan melihat", atau bisa jadi  berupa "sejumlah alat penglihatan" yang bertingkat-tingkat. 

Tingkatan paling luar itulah yang terdapat padanya "ghisyawah" (penutup), sehingga ketika terhalang maka ia tidak mampu lagi digunakan dengan baik, atau bahkan tidak dapat berfungsi sama-sekali.

Kalimat "wa lahum adzabun adzim" (وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ)

Tiga huruf "waw" (وَ) sebelum kata "ala sam'ihim", sebelum kata "ala absharihim" dan sebelum kata "lahum adzabun adzim" diartikan "dan" bisa bermakna menggabung 4 hal. 

Maksudnya, orang yang kafir akan memperoleh 4 buah akibat sekaligus : disegel kalbu, disegel pula pendengaran, penglihatannya terdapat penutup dan memperoleh siksa yang berat.

Bisa pula bermakna urutan / bertingkat. Bahwa orang yang kafir maka berakibat disegelnya kalbu. Jika berlanjut, maka pendengaranpun disegel. Jika masih juga tidak berhenti, maka akan ditambah dengan ditutupnya kemampuan melihat mereka. Dan, jika orang kafir tersebut tidak bertobat sehingga masih melanjutkan kekafirannya, maka ia akan mendapatkan siksa yang besar. 

Tidak disebutkannya tempat siksa, menunjukkan bahwa siksaan yang berat tersebut akan menimpa orang kafir tersebut, baik di dunia terlebih di akhirat kelak.

Kata "lahum" (لَهُمْ) menggambarkan bahwa siksa yang berat itu diperoleh orang kafir sebagai hadiah. Seperti seorang yang mengikuti perlombaan, ia berusaha lalu berhasil, maka ia memperoleh hadiah.

Penggunaan kata tersebut selain bernuansa "mengolok" (istihza') juga menunjukkan bahwa siksa tersebut didapatkan oleh orang kafir, setelah yang bersangkutan berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.

Bisa jadi, si orang kafir tersebut bermaksud menantang dengan kekafirannya, apakah benar jika ia kafir maka akan mendapatkan siksa. Maka pada bagian ini, Alqur'an membalas dengan "mengolok" mereka, seolah mengatakan : "Ini hadiah yang kamu cari dan kamu harapkan dahulu".


Kesimpulan

Setelah kita pelajari bersama, berikut beberapa kesimpulan yang dapat kita petik:

1. Kata "kha-ta-ma" (خَتَمَ) memiliki arti dasar yang mirip dengan "ka-fa-ra", yakni menutup. Sehingga penggunaan ini menunjukkan "pembalasan" (akibat) dari perbuatan "kafara" (ingkar / kafir).

2. Kata "kha-ta-ma" cenderung untuk tidak memiliki makna permanen. Ia menunjukkan makna berubah. Kalbu dan pendengaran yang sedianya dalam "keadaan terbuka" maka berubah menjadi dalam "keadaan tertutup", tetapi masih memungkinkan untuk bisa "dibuka kembali"

3. Penggunaan kata tersebut menunjukkan sifat kekuasaan Tuhan yang amat besar dan tak terbatas, namun sekaligus menghilangkan unsur "semena-mena", sebab, Tuhan menutup hati orang yang ingkar adalah akibat (respon) dari perbuatan ingkar yang intens dari orang tersebut.

4. Kalbu dan penglihatan (kemampuan melihat) yang ada pada diri manusia berlapis-lapis, berbeda dengam pendengaran. Namun demikian, pendengaran juga dapat ditingkatkan kemampuannya.

5. Siksa yang besar didapat oleh orang yang kafir / ingkar, akibat upaya sungguh-sungguh mereka dalam keingkaran / kekafiran. Siksa ini demikian beratnya, sehingga akan ditanggung baik di dunia, terlebih di akhirat kelak.


Wallahu a'lam, semoga bermafaat.


Ayat sebelumnya <===         ===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =



Catatan kaki :

1) Arogansi atau kesombongan bersifat negatif bila dilekatkan pada diri makhluk. Namun tidak demikian jika dilekatkan pada Tuhan. Sebab, bagi makhluk, semua yang ada padanya, seperti ilmu, kekuatan, keindahan dan lain sebagainya, tidak berasal dari dirinya, melaikan berasal dari Tuhan. Maka tidak layak seseorang menyombongkan hal yang bukan miliknya. Sedangkan bagi Tuhan tidak demikian. Semua sifat mulia, keagungan dan kebesaran memang milik-Nya secara mutlak. Sehingga penisbatan sifat "al-Kibriya' (arogansi dan kesombongan) bagi Tuhan adalah pada tempatnya dan tidak bersifat negatif.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini