Langsung ke konten utama

"Kelihaian Orang-Orang Munafik" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-8

 

"Kelihaian Orang-Orang Munafik" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-8

Bismillahirahmanirrahim,

Surah Al-Baqarah ayat ke-8 berbunyi sebagai berikut :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ

"Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin."

Setelah didahului 4 ayat berbicara tentang orang-orang Mutaqin dan disusul 2 ayat berbicara tentang orang-orang kafir, selanjutnya Alquran berbicara panjang lebar tentang orang-orang munafik dalam 13 ayat, di mulai dengan ayat ini.

Mari kita belajar bersama-sama.

Ayat di atas dimulai dengan huruf "wa" (وَ) yang oleh para ulama dinamai "waw isti'naf" atau "waw ibtida".

Menurut ilmu nahwu, "waw ibtida" digunakan di awal kalimat, tetapi tidak memilki fungsi dan pengaruh terhadap arti dan hukum kalimat (i'rab), cenderung bersifat untuk pemanis bahasa saja.

Namun, dalam Alquran, tidak ada satu huruf pun yang tidak memiliki fungsi dan makna.

Lalu, apa maknanya?

Pada permulaan Al-Baqarah, Alquran menjelaskan "orang-orang yang bertakwa" (Al-muttaqin) dalam 4 ayat. Dilanjutkan denngan menjelaskan "orang-orang kafir" (Alladzina kafaru) dalam 2 ayat. Selesai menjelaskan keduanya, Alquran hendak menjelaskan kelompok ketiga, yaitu "orang-orang munafik" dalam 13 rentetan ayat. 

Melalui huruf "wa" ini, seolah Alquran mengatakan "selanjutnya", sehingga fungsi "wa" dalam hal ini, untuk bermakna rincian atau kelanjutan rincian.

Frasa "Minan naasi" (مِنَ النَّاسِ)

Frase ini setidaknya mencakup 3 makna, sebagai berikut :

1. Sebagian dari masyarakat yang hidup pada masa Nabi saw. 

Mereka meliputi kaum munafik di Kota Madinah (dahulu bernama Kota Yatsrib), terutama yang berasal dari 3 suku Yahudi Madinah, yakni Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Tentu tidak semua mereka termasuk kaum munafik. Di antara mereka ada yang beriman dan tergolong sahabat Nabi saw, seperti Abdullah bin Salam ra dan para sahabatnya. Namun, sebagian besar mereka memilih untuk menolak dakwah Nabi saw (kafir), dan sebagian sisanya berpura-pura beriman (munafik).

Asal muasal bangsa Yahudi di Kota Madinah

Republika 1) mengutip tulisan Yakhsyallah Mansur dalam bukunya :"As-Shuffah", mengatakan "menurut sumber yang paling kuat, mereka datang dari Syam pada abad pertama dan kedua sebelum Masehi, ketika pasukan Romawi berhasil menguasai Suriah dan Mesir". "Eksodus ini mencapai puncaknya setelah kegagalan bangsa Yahudi memberontak melawan bangsa Romawi dan berhasil dipadamkan oleh Kaisar Titus pada tahun 70 M. 

Lebih jauh dikatakan "Menurut pandangan lain, eksodus bangsa Yahudi ke Yatsrib didorong para pendeta mereka yang mengetahui dari kitab Taurat bahwa akan lahir nabi yang terakhir (messias) di Kota Makkah dan akan berpindah ke negeri yang memiliki kebun kurma yang terletak di antara bebatuan gunung berapi yang hitam. Kemudian mereka meninggalkan Syam mencari tempat tersebut. Ketika mereka sampai di Yatsrib, kota ini memiliki sifat-sifat yang disebutkan di dalam Kitab Taurat, mereka menetap di kota itu".

Tampaknya, tinggal di kota Yatsrib sangat nyaman, sehingga mereka berkembang pesat hingga menjadi komunitas yang cukup besar. Selain 3 suku besar di atas, terdapat suku-suku kecil bangsa Yahudi di sekitar Yatsrib yang jumlahnya mencapai hingga 20 suku.

Ratusan tahun mereka tinggal di sana, menjadikan sebagian besar melupakan tujuan asal mereka memilih Yatsrib, yakni menanti nabi terarkhir untuk bergabung bersamanya kelak. Tatkala nabi terakhir tersebut tiba dan ternyata berasal dari bangsa Arab, sebagian besar mereka menolak kenabian Muhammad saw atau berpura-pura beriman.

Abdullah bin Salam adalah seorang rahib yang sangat dihormati oleh kaum Yahudi. Ia termasuk sedikit dari ulama Yahudi yang masih konsisten dengan ajaran Taurat dan menantikan datangnya nabi akhir zaman. Sewaktu Nabi saw berhijrah ke Madinah, segera, ia bergegas menemui Nabi saw. Setelah berhasil menguji dan mencocokkan ciri-ciri yang ia ketahui dari Taurat dan peninggalan ulama-ulama sebelumnya, dengan yang ada pada diri Nabi saw, ia segera masuk Islam dan beriman bersama dengan segelintir sahabatnya.

2. Semua kaum munafik di setiap tempat dan masa.

Orang-orang semacam ini ada dan akan tetap ada, sejak jaman dahulu hingga hari kiamat kelak. Mereka menolak beriman dan tetap mempercayai keyakinan mereka yang berbeda sejak mula. Namun, mereka berpura-pura beriman dan hidup bersama kaum muslimin karena alasan yang berargam. Bisa jadi mereka lebih nyaman "tercatat" dan diperlakukan sebagai muslim supaya ikut memperoleh manfaat keduniaan. Anehnya, mereka menduga bahwa amaliah dan ibadah yang mereka lakukan dengan kepura-puraan seperti bersyahadat, salat, berupasa dll juga mendatangkan pahala yang bermanfaat di akhirat.

Tentu saja mereka keliru besar, sebab Tuhan tidak membutuhkan amal ibadah dari makhluk. Justru makhluk lah yang memerlukan ibadah dan pahala. Yang mana, ibadah tersebut hanya sah  tidak hanya jika memenuhi syarat dan rukun, tapi juga hanya jika dilaksanakan atas dasar iman dan ikhlas.

3. Bermakna sifat nifaq pada setiap diri manusia.

Kata "minan nas" (مِنَ النَّاسِ) bisa juga menunjukkan bahwa pada diri setiap manusia memiliki "potensi untuk berlaku munafik". Meskipun ini adalah makna yang bersifat lebih umum, sebagaimana sabda Nabi saw :

آية المنافق ثلاث : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف، وإذؤتمن خان. أخرجه البخاري

"Tanda-tanda munafik ada tiga, jika berucap ia dusta, jika ia berjanji ia berkhianat dan jika diberi amanat maka ia khianat. HR Bukhari"

Maka hendaknya, setiap orang mendidik dirinya agar terjauhkan dari sifat-sifat demikian. Tidak terkecuali seorang muslim. Apabila seorang tidak mendidik dirinya dengan baik, maka boleh jadi sifat-sifat demikian berjangkit dan subur pada dirinya. Maka jarak dirinya dengan kemunafikan menjadi sangat dekat, sehingga tidak mustahil ia terlepas dari keimanan yang hakiki, lalu berubah menjadi seorang munafik yang sebenarnya.


Frasa "man yaqulu " (مَنْ يَّقُوْلُ)

Kata "man" (مَنْ) disebut "isim maushul", dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan "yang" atau "orang yang". Kata ini digabung dengn frase sebelumnya (minan naas), setidaknya menunjukkan 2 hal :

a. Menunjukkan kepastian adanya orang-orang yang memiliki sifat / perilaku / perbuatan tersebut.

Ayat ini mendalilkan, bahwa orang-orang yang bersifat munafik ini akan selalu ada di dalam masyarakat, baik dahulu, saat ini bahkan hingga hari kiamat kelak.

b. Tidak diketahui orang-orang tersebut secara pasti.

Meskipun keberadaan orang-orang munafik telah dipastikan oleh nash, namun terlarang bagi kita untuk mengarahkan jari, menunjuk orang tertentu sebagai berpredikat munafik. Memang, kemunafikan memiliki ciri-ciri yang ditampakkan, sebagaimana hadis Nabi saw sebelumnya yang menjelaskan 3 ciri-ciri munafik. 

Namun di sini harus dicatat, bahwa munafik adalah termasuk perbuatan kalbu. Seseorang bisa melihat perbuatan "jawahir" (perbuatan fisik) orang lain di sekitarnya. Bahkan orang tertentu yang memiliki keahlian masih dapat melihat perbuatan akal dari seseorang. Akan tetapi, di dunia ini tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui perbuatan kalbu seseorang, kecuali Allah Swt dan diri orang itu sendiri.

Bahkan Rasulullah saw mengetahui seseorang termasuk orang munafik, karena Allah Swt yang memberitahukan kepada beliau.


Kata "yaquulu" (يَّقُوْلُ) adalah "fi'l mudhari' yang berarti "terus berbicara", yang menggambarkan pekerjaan yang tengah dan terus berlangsung.

Ini mengindikasikan bahwa orang-orang munafik mengandalkan "pengakuan lidahnya" yang dilakukannya secara terus menerus.

Amat berbeda dengan nash Alquran sebelumnya ketika menunjukkan orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman, pada ayat ke-4. Pada ayat tersebut kaum Mutaqin dicirikan dengan menggunakan kata "yu'minumna" (يُؤْمِنُوْنَ) yang bukan menunjukkan "bicara", tapi "berbuat", Yakni terus-menerus melakukan perbuatan keimanan.

Demikian pula orang kafir yang disebut dalam aya ke-6 dengan kata "kafaru" (كَفَرُوْا), berupa kata kerja lampau. Sekali lagi, orang kafir (pada ayat sebelumnya) tidak digambarkan sebagai orang yang "bicara", tetapi yang "telah berbuat" kekafiran.

Kita bisa membuat catatan sementara ini, bahwa : kekuatan orang munafik terletak pada pengakuan lidahnya, bukan perbuatannya.


Sub kalimat "amanna billah wa bil yaumil akhiri" (اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ)

Kalimat tersebut adalah isi dari ucapan, sekedar pengakuan di bibir kaum munafik yang tidak pernah dikerjakan oleh mereka. Kalimat ini demikian sering mereka ucapkan, sebagaimana digambarkan dengan "fi'l mudhari'" "yaqulu" (يَّقُوْلُ) yang telah kita bahas.

Menarik pula untuk dicatat, bahwa orang-oarang munafik ini mengaku beriman dengan menggunakan 2 kata kunci : beriman pada Allah dan hari akhir. 

Apa istimewanya?

Dua kata tersebut, beriman pada "Allah dan hari akhir" -menurut ilmu- mewakili seluruh keimanan yang paripurna. Dalam Alquran dan hadis Nabi, kedua kata ini sering sekali digunakan, sebagai penggambaran "keimanan yang sempurna", seperti pada potongan hadis berikut : 

(مَنْ كَان يُؤمِن بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِم ضَيفَه), yang berarti "..barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya.."

Hadis tersebut menggambarkan, "memuliakan tamu" akan dilakukan oleh orang yang sungguh-sungguh beriman, sehingga mereka yang tidak memuliakan tamunya akan terancam sebagai seorang yang tidak sempurna imannya.

Lalu, apa artinya?

Ini mengindikasikan bahwa orang-orang munafik ini, mereka belajar agama sedemikian rupa, sehingga pengetahuan agamanya tergolong cukup banyak, sehingga mereka mengetahui hal ini dan mempergunakannya di tengah khalayak. 

Dalam keseharian, kadang kala kita menemui seseorang yang mengaku pandai agama, tetapi ternyata ia menggunakan istilah agama yang keliru, atau tidak tepat. Apabila kekeliruan tersebut diulang-ulang, maka orang yang paham agama akan segera tahu, bahwa orang tersebut keliru menggunakan istilah dan dengan sendirinya menilai bahwa pengakuan orang tersebut kurang layak diterima.

Lantas ayat ini menggambarkan sebaliknya, bahwa orang-orang munafik ini menggunakan istilah dengan tepat dalam pengakuannya, sehingga tidak memudahkan kaum muslimun untuk mengenali mereka. Bahkan bisa jadi cenderung untuk percaya mereka sebagai bagian dari orang-orang yang beriman.

Sub kalimat "wa maa hum bi mu'minin" (وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ)

Sub kalimat di atas segera disusul, sebagai penjawab. Allah Swt adalah Sang Pencipta dan memiliki sifat Maha Mengetahui. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, termasuk gerak kalbu setiap makhluk. Maka dengan ilmu-Nya, Allah Swt menegaskan bahwa mereka-orang munafik itu sekali-kali bukanlah orang beriman.

Meskipun pengakuan iman mereka dilakukan terus menerus. Meskipun diucapkan secara tepat. Maka semuanya tidak bernilai sedikitpun dalam catatan di sisi Allah Swt.

Kata "ma" (مَا) dalam ayat tersebut dinamakan "ma nafi" yang berfungsi sebagai negasi. Menunjukkan bahwa "ucapan dan pengakuan mereka" tidak terkait, dan tidak memiliki nilai keimanan. 

"Hum" (هُمْ) adalah kata ganti yang berarti "mereka", untuk menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbicara sebelumnya dan mereka itu bukan orang beriman. Kata "bi" (بِ) sebelum kata "mu'minin" bisa dimaknai "ba'dhiyah", sehingga menunjukkan bahwa mereka itu, "sedikitpun" tidak beriman.

Kalimat ini menjadi dalil, bahwa menurut kaidah ilmu, seandainya seseorang telah diketahui secara qath'i bahwa ia munafik, maka mereka tidak diperlakukan sebagai seorang muslim.

Hal demikian pernah terjadi pada masa Nabi saw, ketika Allah Swt menginformasikan kepada beliau saw tentang orang-orang munafik, maka Nabi pun dilarang untuk menyalati mereka saat mereka wafat. Di mana menyalati jenazah seorang muslim adalah kewajiban bagi kaum muslimin, namun kewajiban ini gugur, ketika secara qath'i diketahui bahwa orang tersebut munafik.

Namun kembali perlu diingat, sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa kemunafikan adalah perbuatan kalbu, sehingga tidak memungkinkan seseorang mengetahui hakikat keimanan seseorang (kecuali Allah Swt dan dirinya sendiri), terkecuali jika dia sendiri yang kemudian hari memberitakannya kepada orang lain, sehingga kemunafikannya menjadi terbuka.

Demikian, semoga bermanfaat.


Ayat sebelumnya <===         ===> Ayat selanjutnya        = Daftar Isi =








Catatan kaki :

1) https://islamdigest.republika.co.id/berita/r9lq4d320/yahudi-di-madinah-adalah-pendatang-sejak-kapan-mereka-bermigrasi. Diakses tgl 15/04/2024, file cetak kami simpan 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini