Langsung ke konten utama

PERBEDAAN NIAT DAN TUJUAN

NIAT DAN TUJUAN


Dalam terminologi Bahasa Indonesia, dua tema ini seringkali tumpang tindih.

Pembahasannya pun, seringkali bercampur dengan istilah lain yang mirip, seperti: "maksud", "tekad" dan "kehendak".


Kami mencoba untuk menempatkan pengertian masing-masing berdasarkan penggunaan dalam nash, morfologi, serta kaitannya dengan tiga kesadaran manusia.
Semoga bermanfaat, amin.


PENDAHULUAN - Apa yang disepakati para ulama


Secara umum, para ulama menyepakati bahwa dua kata ini (niat dan tujuan) "memiliki spektrum yang berbeda".

Meskipun terdapat cukup banyak variasi pada penjelasan keduanya, umumnya mereka sepakat pula bahwa "niat itu terkait erat dengan kalbu".

Hal lain yang juga disepakati oleh para ulama adalah, bahwa keduanya "terkait erat dengan perbuatan".

Maka, kita akan jadikan "3 hal yang disepakati" ini sebagai pijakan untuk pembahasan ini, insyaallah.


NIAT 

Kata ini berasal dari akar kata (نَوَى - يَنْوِي), yang secara bahasa berarti berniat, berrencana.

 Amat menarik, bahwa menurut "Kamus Alma'any", kata (نَوًى) memiliki makna "keterpencilan", "kejauhan". Menunjukkan makna keberaadaan yang lokasinya jauh dan terpencil.


Alquran QS Al-An'am 6:95 menyebutkan:

إِنَّ ٱللَّهَ فَالِقُ ٱلْحَبِّ وَٱلنَّوَىٰ ۖ يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ ٱلْمَيِّت مِنَ ٱلْحَىِّ...

"Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padi-padian) dan biji (kurma/buah-buahan). Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup... "

Dalam ayat di atas disebut kata (النَّوَىٰ), yang berarti: biji dari buah kurma, atau makna secara umum: biji keras yang berada di dalam buah-buahan lainnya.

Ini berbeda dengan kata (ٱلْحَبّ) yang merujuk pada butir padi-padian, di mana pada beras, misalnya, butir beras tampak terlihat dengan jelas. Kalaupun masih berupa padi, lapisan kulit penutupnya amat tipis, mudah dibuka sehingga mudah diterka bentuk isinya.

Pada "an-nawa", biji yang keras berada "tesimpan" (terpencil/jauh) di dalam buah. Selain berada di dalam, ia tidak terllihat dan tidak bisa diketahui isinya, kecuali jika daging buahnya yang tebal terlebih dahulu dibuka.

Demikianlah makna yang terangkum pada kata "niat". Di mana niat berada tersembunyi, terpencil, jauh di dalam diri manusia. Ia tidak bisa diketahui, kecuali oleh dirinya sendiri dan Tuhan Sang Pencipta.

Sebab: "niat ada di dalam kalbu".


Niat adalah perbuatan kalbu

Manusia memiliki tiga lapis kesadaran: Kesadaran fisik, kesadaran akal dan kesadaran kalbu.

Sebagaimana dua kesadaran lainnya, kesadaran kalbu berbuah perbuatan.
Di antaranya cinta, benci, tekad juga: niat.
Karena perbuatan adalah penggunaan potensi, maka semua perbuatan hati akan mendapat balasan (dari Tuhan). 
Perbuatan kalbu yang bersifat positif akan mendapatkan balasan kebaikan (pahala), demikian pula perbuatan kalbu yang bersifat negatif akan mendapatkan balasan keburukan (dosa).

Sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah 225:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوْبُكُمْۗ

"Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena apa yang diperbuat dengan sengaja oleh hatimu (kalbu). "

Itu sebabnya, bila seseorang berniat baik untuk berbuat kebaikan, maka ia memperoleh pahala, meskipun perbuatan itu belum dilakukan, atau bahkan batal dilakukan.

Ini berbeda dengan niat buruk. Apabila pekerjaannya batal dilakukan, maka niat buruk itu tidak diberikan dosa. Sebenarnya, niat buruk itu sudah tercatat, hanya saja, kasih sayang Allah Swt demikian besar kepada hamba-Nya, sehingga "dosa dari niat buruk" tersebut diampuni.


Pada titik ini, ada beberapa poin yang dapat kita petik, sbb:

1. Sebagaimana biji kurma yang hanya berjumlah 1, maka setiap perbuatan hanya berisi1 niat saja. Menandakan, bahwa perbuatan apapun hanya boleh diisi oleh 1 niat : "Lillahi ta'ala.
Tak boleh ada niat tambahan, apalagi berbeda selain dari niat "mardhatilllah" tersebut. 

Mengapa demikian? Sebab, niat sejatinya adalah: "persembahan perbuatan".
Maka ketika sebuah perbuatan diniatkan (dipersembahkan) untuk "mardhatillah", perbuatan itu berada dalam jalan Allah Swt, bersama Allah Swt dan menuju Allah Swt.
Sebaliknya, ketika sebuah perbuatan berisi niat selain dari mardhatillah (tidak dipersembahkan untuk Allah Swt), maka seketika itu ia keluar dari jalan Allah Swt, bersifat sia-sia dan akan membawa pelakunya kepada jurang kebinasaan.

2. Buah kurma yang bermacam-macam rasa, manfaat dan lain sebagainya, semuanya berawal dari biji kurma.
Jenis biji itulah yang kelak akan menentukan, seperti apa buah yang akan dihasilkan. Perbuatan yang diniatkan "lillahi ta'ala", maka ia akan berbuah manis, dicatat oleh langit sebagai ibadah kesalihan.

3. Biji kurma tersimpan dan tersembunyi di dalam buahnya. Menunjukkan bahwa niat sebagai perbuatan kalbu, ia bersifat tersembunyi. Tiada yang mengetahuinya, kecuali diri sendiri dan Allah Swt


TUJUAN

Kata "tujuan" (الْقَصْدُ) berasal dari kata kerja (قَصَدَ), bermakna "arah", atau "pergi dari satu titik ke arah titik lain".
Dalam Kamus Alma'any ditemukan beberapa makna serupa: maksud, tujuan, cita-cita, sasaran, target.

Perbuatan manusia berupa merumuskan tujuan, menentukan cita-cita, mengincar target dst termasuk dalam "perbuatan akal".
Itu sebabnya, " tujuan dari suatu perbuatan dihasilkan oleh kesadaran akal.

Ibarat suatu perjalanan menuju arah tertentu, maka target/pencapaian yang dilalui oleh perjalanan tersebut dapat mencakup lebih dari satu.
Sebuah perjalanan bisa saja memiliki 1 destinasi. Tetapi mungkin juga memiliki banyak destinasi, sebelum mencapai destinasi final.

Lebih-lebih, titik destinasi itu dapat dicapai, dilalui dengan sempurna, tanpa mengorbankan destinasi lainnya, selama ia berada dalam jalur perbuatan yang sama.

Seperti sebuah keluarga yang mengendarai mobil menuju Kota Solo, mereka dapat singgah di Cirebon, Pekalongan, Semarang dan lainnya, selama berada dalam jalur perjalanan tersebut.

Demikian pula tujuan dari sebuah perbuatan, ia dapat mencakup lebih dari 1 tujuan. 


Perumpamaan Niat dan Tujuan

Sebagian ulama mendeferensiasi keduanya dengan istilah, bahwa Niat adalah "azimatul qalbi ", sedangkan tujuan adalah "qasdhul fi'li ".
Bahwa niat itu berada dalam wilayah kalbu, pada saat/sebelum sebuah perbuatan itu "dicetuskan", sebelum wujudnya.
Sedangkan tujuan dari suatu perbuatan itu mencakup apa-apa yang dicapai oleh "wujud perbuatan".

Ibarat membangun rumah, rumah itu memiliki fungsi-fungsi. Di antaranya: menjadi alamat tempat tinggal, tempat berlindung dari panas dan hujan, untuk keindahan, untuk hadiah dst. Fungsi-fungsi yang bermacam-macam itulah tujuan.
Di mana semua tujuan itu menjadi tidak ada atau tidak sempurna jika rumah tersebut batal dibangun atau dibangun dengan tidak sempurna.

Namun demikian, sebelum seseorang membangun rumah, Ia harus terlebih dahulu menghubungi seorang arsitek, untuk membuat perencanaan dan blue print. Sehingga, meskipun rumah tersebut batal dibangun, ia telah terlebih dahulu memiliki budgeting dan denahnya dengan sempurna.

Itulah niat.


Wallahu a'lam,

Semoga bermanfaat 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan...

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail As saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَا...

"Hukuman Bagi Orang yang Kafir" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-7

  "Hukuman Bagi Orang yang Kafir" : Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat ke-7 Bismillahirahmanirrahim, Surah Al-Baqarah ayat ke-7 berbunyi sebagai berikut : خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ " Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka terdapat penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat " Dalam beberapa terjemah ada pula yang menggunakan kata "mengunci mati"!!! Anda bisa baca sekali lagi terjemah resmi Depag RI di atas, l alu bagaimana pengertian yang muncul di benak Anda? Bila kita terpaku pada arti terjemahan saja, maka sangat mungkin lahir dari benak Anda beberapa daftar pertanyaan dan pernyataan seperti di bawah ini: Kalau hati telah dikunci oleh Tuhan, maka apakah ini menjadi sebab dari kafirnya seseorang yang disebutkan dalam ayat ke-6?  Bila demikian, apakah kafirnya seseorang itu takdir yang tidak bisa diubah? Apakah Tuhan bersi...

Follower

Cari Blog Ini