Langsung ke konten utama

BERBUKA PUASA MENUNGGU GELAP?

Bismillah,

Dalam Al-Qur'an terdapat ketetapan sederhana mengenai hari, bahwa 1 hari memiliki 2 bagian : 1 bagian malam (ليل) dan 1 bagian siang (نهار).


Allah SWT berfirman:

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَۖ كُلٌّ فِى فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya".
(Al-Anbiya 21:33)


Batas mulai malam adalah batas berakhirnya siang, yaitu terbenam matahari.

Demikian pula batas mulai siang adalah batas berakhirnya malam, yaitu terbit matahari.

Dalam kalender Islam, sesuai Al-Qur'an, ketika matahari terbenam, maka berakhirlah hari itu dan berganti hari baru, tanggal baru.

Ini adalah kaidah yang sederhana, tapi amat penting.

Bisa terjadi kekacauan hukum fiqih, bila tidak memahami kaidah ini.


AWAL BULAN PUASA

Sesuai Al-Qur'an, dimulainya bulan Ramadhan adalah ketika berakhirnya hari terakhir bulan Sya'ban.

Firman Allah:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"...Maka siapa dari kalian yang mendapati (menyaksikan telah masuknya) bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa"....  (Al-Baqarah 2:185)


Ayat tersebut menekankan tentang (batas) sudah masuknya bulan Ramadhan, untuk menunaikan kewajiban berpuasa di dalamnya. Menyaksikan telah masuknya bulan ramadhan adalah dengan menyaksikan bahwa hari terakhir bulan sya'ban terlah berakhir saat matahari terbenam.

Mengapa?, sebab kewajiban berpuasa itu ada pada hitungan hari.


BERPUASA DAN HITUNGAN HARI

Firman Allah SWT:

...أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ..
"(Kewajiban berpuasa itu) pada hitungan hari-hari...".

Siapa yang berhalangan, baik karena sakit atau bepergian, maka kewajiban berpuasa baginya adalah :

...فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ...
"Maka hitungannya (diganti) dengan sebagian hari-hari yang lain...".

Perhatikan bahwa, hitungan hari berakhir setelah terbenam matahari.

Sehingga, ketika matahari terbenam, maka hitungan hari itu telah berakhir, dan kewajiban puasa pada hari itu pun menjadi berakhir. 
Begitu matahari terbenam, dimulaillah hari baru (tanggal) berikutnya

Inilah sebabnya, mengapa Nabi SAW memerintahkan untuk menyegerakan berbuka.

Sebab, jika seseorang sengaja memperpanjang berpuasa setelah matahari terbenam, maka ia sengaja berpuasa pada hitungan hari berikutnya.

Hukumnya bisa makruh bahkan bisa haram.

Apabila seorang, dengan sengaja memperpanjang puasa setelah berakhirnya hitungan hari terakhir Ramadhan, maka ia telah sengaja untuk berpuasa pada sebagian hari 1 Syawal.

Sedangkan berpuasa pada 1 Syawal hukumnya haram.


IMSAK

Mengapa para ulama menetapkan waktu imsak, yaitu sekedar waktu (sekitar 10 menit) sebelum subuh, yaitu mulai tampaknya fajar pertama yang merupakan batas dimulainya berpuasa?

Hal ini ditujukan untuk kehati-hatian, menghindari seorang masih tersisa makan dan minum pada batas mulai puasa, karena hal ini dapat membatalkan puasa.

Pertanyaannya, mengapa masa seperti imsak ini tidak ada pada saat berbuka?

Sebab imsak ada dalam hitungan hari yang bersangkutan, sehingga tambahan berpuasa pada sekedar waktu tersebut tidak membatalkan puasa.

Sedangkan setelah tenggelam matahari, maka hitungan hari tersebut berakhir. Justru kehati-hatian berpuasa terletak pada menyegerakan berbuka, setelah berakhirnya hitungan hari.


PENDAPAT BERPUASA HINGGA GELAP

Sebagian kaum muslimin ada berpendapat, bahwa masa berpuasa itu hingga gelap, hal ini mereka pahami dari firman Allah SWT:

...ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ..
"Maka sempurnakanlah berpuasa hingga (sampai) malam.."

Mereka beranggapan bahwa malam itu bermula dari gelap.

Ini adalah sebuah pendapat, maka kita hormati saja pendapat tersebut.

Namun, bagi jumhur ulama, sesuai praktik kaum shalihin, berpendapat sesuai praktik dan ucapan Nabi SAW. Di mana, yang dimaksud batas malam adalah terbenam matahari, bukan gelap.

Terang dan gelap adalah akibat / efek posisi matahari dari siang dan malam, bukan sebaliknya.

Gelap bukan menjadi sebab malam. Demikian pula, terang bukan menjadi sebab siang.

Bisa saja pada suatu pagi atau sore (waktu siang), terjadi kondisi tertentu, sehingga hari menjadi gelap. Apakah saat itu dinamakan malam? Tentu tidak!

Demikian pula, bisa jadi, dalam kondisi tertentu, pada waktu maghrib atau menjelang matahari terbit, keadaan menjadi terang, seperti umum di wilayah yang dekat dengan kutub bumi.

Apakah saat itu dinamakan siang? Juga tidak!

Jadi sekali lagi, memahami kaidah hitungan hari, meskipun sederhana tapi amat penting.


Pengertian "lalu sempurnakanlah puasa hingga malam (إِلَى اللَّيْلِ)" dalam ayat di atas adalah sampai batas malam, yaitu terbenam matahari, yang merupakan batas antara hari tersebut dengan hari berikutnya, bukan membicarakan gelap atau terang.

Perhatikan juga, Al-Qur'an menggunakan kata (الى) bukan (حتى), di mana kata "ila
 (الى) berarti sampai pada garis batas. Seperti orang yang telah sampai pada garis finish, yaitu dengan mencapai garis batasnya. 

Sedangkan "hatta"
 (حتى) berarti melampaui garis batas.
Seperti sebuah kalimat dalam bahasa arab (اكلت السمك حتى راسه) aku makan ikan hingga kepalanya. Pengertiannya adalah, bahwa "aku memakan ikan termasuk kepalanya"


Sehingga pengertian logis dan semantik ayat menunjukkan sempurnanya berpuasa pada pada batas hari, yaitu terbenamnya matahari, tanpa menambahkan berpuasa pada sebagian waktu pada hari berikutnya.


Demikian, Wallahu a'lam 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Pujian Rasulullah SAW pada Abu Bakar RA dan Ali RA

 Sabda Nabi SAW: "لا يعرف الفضل لأهل الفضل إلاّ ذوو الفضل" "Tidaklah mengetahui keutamaan yang dimiliki oleh orang yang utama, kecuali dia juga seorang yang memiliki keutamaan ". Kalimat di atas diucapkan oleh Rasulullah SAW pada suatu hari, ditujukan pada dua orang sekaligus. Bagaimana ceritanya? Pada suatu hari, Rasulullah SAW berada di masjid beliau yang penuh sesak oleh para sahabat. Mereka semua berupaya mendekat pada Nabi SAW yang sedang menyampaikan risalah agama. Di samping Rasulullah SAW adalah Abu Bakar Ra . Dalam keadaan demikian, datanglah Ali bin Abu Thalib Kw  memasuki masjid dan berupaya mencari tempat kosong untuk duduk dan bergabung mendengar dari Rasulullah Saw. Melihat itu, Abu Bakar Ra bergeser sedikit demi sedikit menjauhi Nabi, membuat ruang kosong antara beliau dengan Nabi Saw, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Ali Kw, supaya duduk di antara Rasulullah Saw dan dirinya. Melihat itu, Rasulullah tersenyum senang dan mengucapkan ka

Follower

Cari Blog Ini