Langsung ke konten utama

BELAJAR MENGENAL TUHAN DARI TIONGKOK

BELAJAR MENGENAL TUHAN DARI TIONGKOK


Tidak ada kata "Tuhan" secara literal dalam kamus China.

Apakah ini benar ?


Di dalam kamus ada kata "Dao" ( 道), tetapi makna harfiahnya adalah jalan atau cara hidup. Kata ini dipakai untuk merujuk ajaran Daoisme (Taoisme).

Ada juga kata "Shen" (神) yang bisa diartikan Dewa. Tapi maknanya cenderung mencakup sifat dongeng dan hayalan.

Yang lain adalah kata "Shangdi" (上帝) yang mirip dengan kata sebelumnya, berarti dewa tertinggi. Namun juga bisa dimakanai sebagai kaisar atau raja.

Kata yg paling mendekati makna tuhan dalam literatur China saat ini adalah kata "Tian" (天), yg secara bahasa berarti surga, langit dan tempat yang tinggi. Kesemuanya menunjukkan makna benda, materialistik, meskipun abstrak, tetapi cenderung kosong dari makna ruhani.

Rasanya hampir-hampir tidak mungkin bagi bangsa sebesar China, tidak mengenal Tuhan meskipun hanya secara leksikal, mengingat lamanya usia-bangsa dan luasnya pergumulan China sepanjang sejarah dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Patut diduga, penyebab utama "hilang dan reduksi" makna Tuhan (transendental) menjadi makna benda (materialistik) adalah paham komunisme di China.

Komunisme di China adalah yang paling berhasil di dunia. Tidak hanya ia bertahan dan digunakan dalam tata negara, bahkan komunis sudah menjadi ajaran dan budaya bangsa China.

Proses tersulit penetrasi komunisme di China adalah berubahnya ia menjadi ajaran.

Sebab, di China sudah terlebih dahulu mengakar sejumlah ajaran budaya, sepanjang ratusan hingga ribuan tahun, baik taoisme, budhisme, terlebih lagi konfusianisme (konghucu).

Maka, saat proses penetrasi komunisme itu dimulai ada 2 opsi yang mungkin dilakukan oleh para konseptor komunisme :

- Bertempur dan menghabisi ajaran lama (terutama konghucu), atau
- Berkompromi dg ajaran lama.

Tampak bahwa, pilihan kedua adalah yang terjadi.

Makna Tuhan secara utuh tidak dapat diterima dalam konsepsi komunisme, yang sepenuhnya bersifat materialistik dan sekuler.

Dengan dukungan kekuasaan dan politik yang penuh, maka patut diduga, diambil titik pertengahan, makna-tengah yang paling bisa diterima oleh komunisme dan konfusianisme sekaligus.

Makna tuhan yang transendental dan spiritual jelas tidak dapat diterima oleh komunisme. Maka makna ini ditolak.

Sedangkan surga, langit dan ketinggian dapat diterima. Langit dan ketinggian, keduanya bersifat indrawi sehingga mudah diterima.

Sedangkan, lebih jauh, surga dipahami sebagai "tempat" atau "akibat" kesuksesan setelah kematian.

Orang-orang yang hidupnya sukses, patuh pada negara serta ajaran komunisme, maka mereka layak menempati surga, sebagai bentuk kesuksesan: hadiah dari hidupnya.

Ini dapat diterima oleh konsep dan ajaran komunisme.

Keberhasilan kompromistik inilah yang -boleh jadi- membuat komunisme berhasil melenggang mulus menjadi ajaran yang pada akhirnya bisa diterima luas di China.

Kembali pada judul, "belajar dari China", pada era orde lama, komunisme telah berhasil diterima oleh banyak kalangan di Indonesia, termasuk dalam lingkar kekuasaan.

Namun ajaran komunisme tumpas, ketika ia memilih bertempur dengan ajaran yang lebih dahulu mengakar di Indonesia yang masyarakatnya agamis.

Bagaimana dengan saat ini?

Patut diduga, opsi kompromisasi ajaran bisa menjadi pilihan yang sangat menarik.

Religiusitas bangsa Indonesia dipatri dalam sila pertama Pancasila: "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Maha Esa sepenuhnya bukan sifat benda atau makhluk. Ia sepenuhnya transendental, sifat Tuhan.

Sebaliknya, "berkebudayaan" sepenuhnya adalah sifat manusia dan sifat masyarakat.

Bila kalimat sakti "Ketuhanan Yang Maha Esa" digeser maknanya menjadi "Ketuhanan Yang Berkebudayaan", maka terjadilah reduksi makna dari ketuhanan yang transenden menjadi profan.

Makna Tuhan segera hilang menjadi sekedar ajaran budaya.

Lalu, akankah Ketuhanan yang Maha Esa akan tetap sakti sebagai jati diri bangsa Indonesia dalam pergolakan sejarah masyarakat dan politik, ataukah tidak?
Akankah kita belajar dan ambil pelajaran dari China?

Waktu yang akan membuktikannya.



Wallahu a'lam



Komentar

Posting Komentar

Silakan mengisi komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN KATA GANTI ANTUNNA MENJADI ANTUM PADA AYAT TATHHIR AL-AHZAB 33:33, LALU, SIAPA SAJA AHLULBAIT?

Bismillahirrahmanirrahim, Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas bahwa ayat Tathhir,  Al-Ahzab 33:33 bukan berisi ketetapan Allah yang bersifat tanpa syarat, namun berisi keinginan Allah SWT ( iradatullah ) yang bersyarat. Bagi yang belum membaca, dapat dibaca di sini . Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perubahan dhamir (kata ganti) " antunna " ( أنتن ) menjadi " antum " ( أنتم ) dalam ayat tersebut. PENDAHULUAN Dalam bahasa Arab, kata ganti " antunna " ( أنتن ) berarti "kamu" atau "kalian", digunakan untuk orang kedua, plural (jamak) dan feminim (wanita). Jamak berarti orang tersebut terdiri dari 3 orang atau lebih. Orang kedua berarti "kamu" atau "kalian", yaitu orang yang diajak bicara ( mukhatab ). Sedangkan kata ganti " antum " ( أنتم ) digunakan untuk orang kedua jamak, yang terdiri dari hanya laki-laki, atau campuran laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an sangat teliti dalam penggunaan

Al-Ahzab 33:40; Apakah Maksudnya Nasab Nabi Muhammad SAW Telah Terputus?

Bismillahirrahmanirrahim, Sebagian kaum muslimin ada yang bertanya-tanya, apakah Nabi Saw tidak memiliki anak keturunan yang bersambung nasab kepada beliau. Dengan kata lain, apakah nasab Nabi Saw telah terputus? Hal ini menurut sebagian dugaan mereka berdasarkan nash, surah Al-Ahzab 33:40. Benarkah demikian? Mari bersama-sama kita lihat surat tersebut. Al-Ahzab 33:40 مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّينَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا "(Nabi) Muhammad bukanlah ayah dari seorang (lelaki) manapun di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" . Pada ayat di atas, penggunaan redaksi "tidak seorang lelaki pun dari kalian" ( مِّن رِّجَالِكُمْ ), menunjukkan penolakan dari Allah SWT, bahwasanya tidak ada seorang lelaki manapun yang merupakan anak yang bersambung nasab kepada Nabi Saw, demikian dugaan tersebut. Benarkah demikian? Mema

Usia Nabi Ismail AS ketika peristiwa penyembelihan

Usia Nabi Ismail Saat Peristiwa Penyembelihan Oleh : Almar Yahya Cukup banyak pendapat yang menyatakan bahwa usia Nabi Ismail saat peristiwa penyembelihan pada kisaran 6-7 tahun. Penuturan kisah ini senantiasa diulang sepanjang masa karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah qurban setiap bulan Dzul Hijjah. Dari kisah ini dapat digali banyak sekali hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia baik aspek pendidikan, kemanusiaan, filsafat, spiritual dan lain sebagainya. Namun, apakah benar kisaran usia tersebut?  Kami berpendapat bahwa ketika itu usia (nabi) Ismail As telah sampai pada usia baligh (mencapai kisaran usia 14-15 tahun) dan masuk pada fase ke-3 masa pendidikan anak ( 15 - 21). Kita akan sedikit menggali dari kisah yang disampaikan Allah SWT dalam Alquran, surat Asshofat. Mari kita perhatikan surat Asshofat ayat 102 sbb : فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَر

Follower

Cari Blog Ini